Jumat, 12 September 2014

Rumah Awan : 9 - Lintang



LINTANG

Aduh, tubuhku rasanya capek semua. Padahal kemarin tidak ada pelajaran olahraga yang biasanya membuat tubuhku remuk seperti ini. Aku menggeliat lalu turun dari tempat tidur.
Ayo Lintang, semangat! Hari ini ada pelajaran seni rupa, jangan malas kayak gini!
Aku mandi dan siap-siap ke sekolah. Mobil Kak Bintang sudah diambil dari bengkel kemarin lusa, jadi sudah tidak perlu numpang Kak Fadli lagi. Sayang juga sebenarnya, Kak Fadli orang yang lucu, lumayan bisa diajak bercanda daripada Kak Bintang.
 Di meja makan sudah ada Papa yang dengan lahap makan roti bakar dengan selai cokelatnya sementara Mama menuangkan air putih ke gelas Papa. Aku mengambil roti tawar lalu mengolaskan selai stroberi kesukaanku.
“Bintang belum bangun, Ma?” tanya Papa meraih gelas  air putihnya.
Mama melihat jam dinding di tembok dapur, jam setengah tujuh tepat, lalu pergi ke kamar Kak Bintang. “Bintang! Ayo sarapan!” 
“Lintang, kamu sudah mutusin kuliah mau ngambil jurusan apa nanti?” tanya Papa tiba-tiba.
Pertanyaan itu cukup mengejutkanku. Kukunyah habis roti yang ada di mulutku sambil melihat Kak Bintang keluar kamar yang langsung digiring Mama ke meja makan. “Belum sih Pa,” jawabku. “Tapi Lintang sudah mikirin satu bidang yang Lintang suka.”
Mama sepertinya mendengar kalimatku barusan, lalu berkata, “Pasti Lintang ingin jadi dokter khan, Sayang?”
Itu bukan sebuah pertanyaan, tapi pernyataan. Sebuah pernyataan perintah.
Kak Bintang melihat Mama dengan pandangan aneh lalu duduk di sebelah Papa.
“Bener Lintang mau jadi dokter?” tanya Papa. Sepertinya beliau ragu. “Papa tidak tahu kalau kamu tertarik di bidang kedokteran.”
Mama duduk di tempatnya, diantara Papa dan aku, lalu berkata lagi. “Lintang khan pintar Pa, selalu dapat peringkat satu. Pasti cocok jadi dokter. Stary saja bisa jadi dokter, Lintang juga pasti bisa ya khan, Sayang?” Mama mengelus rambutku.
Ih, nyebelin! Kak Stary lagi, Kak Stary lagi!
Aku tidak menanggapi kalimat Mama tadi. Mama selalu begitu, suka membandingkan aku dengan Kak Stary lalu menyuruhku melakukan semua hal yang dulu dilakukan Kak Stary. Ya seperti kata Mama tadi, Kak Stary kuliah  kedokteran dan Mama ingin aku sama seperti Kak Stary.
“Tapi Lintang nggak mau jadi dokter, Ma.”
“Tidak mau?” Mama menatapku dengan pandangan merana. “Mama tidak percaya kamu bicara seperti itu sama Mama.”
“Ma, Lintang cuma bilang kalau dia tidak mau jadi dokter.” kata Kak Bintang. “Tapi jadi dokter ide bagus juga, Lintang, bisa dicoba”
Mama masih menatapku. “Padahal Stary mati-matian ingin jadi dokter agar bisa menyelamatkan banyak orang, tapi kamu malah ngomong kayak gitu. Apa kamu tidak merasa kalau cita-citanya begitu mulia? Kenapa kamu tidak mau seperti dia?” Mata Mama memerah.
Karena aku bukan Kak Stary!
“Sudahlah Ma.” Papa menengahi. “Biarkan Lintang mikir dulu. Nah, Bintang, Lintang, sebaiknya kalian berangkat sekarang, sudah siang.”
Setelah pamitan, aku dan Kak Bintang segera berangkat.
“Mama kenapa sih selalu kayak gitu!” aku protes saat Kak Bintang membelokkan mobilnya keluar kompleks. “Selalu Kak Stary! Apa-apa Kak Stary! Aku ini khan juga punya cita-cita dan hidup sendiri!”
“Kamu khan tahu kalau Mama masih belum bisa menerima kepergian Kak Stary.” Komentar Kak Bintang.
“Iya, tapi kenapa imbasnya ke aku!”
“Mungkin karena sekarang kamu anak perempuan satu-satunya.”
“Kak Bintang sih enak.” 
“Tapi Mama juga jadi parno ke Kakak.” Kak Bintang menambah kecepatan mobilnya. “Kakak juga tidak suka lihat kamu jadi seperti ini, tapi Kakak tidak bisa apa-apa. Di mata Mama Kak Stary adalah anak sempurnanya.”
Tentu saja Kak Bintang tidak bisa berbuat apapun. Kak Bintang sama saja kayak Mama, masih belum bisa menerima kenyataan kalau Kak Stary sudah tidak ada.
“Kak, ntar Lintang pulang sendiri saja.”
“Tidak bisa, kamu nggak boleh pulang sendiri.” Tolak Kak Bintang.
“Tapi aku bisa pulang sendiri.”
“Mama nggak ngebolehin kamu pulang sendiri.”
Kak Bintang dan Mama sama saja!
Akhirnya sampai juga di sekolah. Menyebalkan! Mama belum bisa menerima kepergiannya dan selalu menumpahkan obsesi Kak Stary padaku. Semua tingkah lakuku harus sama dengannya. Kak Bintang juga sama, tapi mungkin tidak sadar atau dia tidak mau mengakuinya. Kak Bintang menyalahkan Mama tapi sebenarnya sikapnya padaku sama saja. Selalu parno. Aku tidak boleh ke mana-mana sendiri, tidak boleh main ini main itu, pokoknya aku di kekang banget! Hanya Papa yang  sudah rela ditinggal Kak Stary, bersikap adil padaku, tapi Papa terlalu sibuk kerja sampa-sampai jarang ada di rumah hingga tak punya cukup waktu untukku.
Kak Stary memang perfect. Semua orang yang mengenalnya pasti mengakui hal itu. Cantik, pintar, feminin, baik, ramah, dan semua sifat baik ada padanya. Dia menjadi kebanggaan keluarga, terutama bagi Mama. Tapi setelah dia pergi, banyak yang tidak bisa menerima kenyaataan itu. Mereka melihat kesempatan untuk meluapkan ketidakpercayaan itu padaku. Aku yang jadi tempat pelampiasan dan semua imbasnya. Hanya aku, kenapa selalu aku?
========
Kekesalanku sedikit teralihkan saat pelajaran seni rupa yang hari ini dilakukan di ruang seni. Hari ini kami mendapat tugas menggambar proyeksi dari botol minuman soda. Ini adalah pelajaran favoritku, jadi aku benar-benar konsentrasi pada tugasku hingga tidak sadar bel istirahat berteriak kencang. Aku sampai kaget dibuatnya.
“Lin, kamu kenapa sih? Dari tadi cemberut terus?” tanya Nana saat kami berjalan kembali ke kelas untuk mengembalikan peralatan gambar kami.
Aku tersenyum sesaat. “Nggak papa kok Na, cuma capek aja.”
“Apa karena keluarga kamu lagi?” pertanyaan Nana tepat sekali. Tapi aku tidak mood curhat pada Nana hari ini.
“Bukan kok Na. Aku cuma capek . Kemarin aku bantu Mama bersihin kebun, lamaaa banget.” kataku bohong. “Jadinya ya capek banget.”
Sepertinya Nana percaya alasanku tadi. Sudahlah, yang penting dia tidak bertanya lagi. Begitu sampai di kelas aku tidak sengaja menemukan kotak kecil dari karton di laci meja. Perasaan tadi pagi tidak ada deh. Aku buka kotak itu.
“AAAHH!!!”
Spontan, aku teriak sangat keras dan langsung berlari menjauhi mejaku. Teman-temanku lainnya juga langsung ikut teriak. Tentu saja, karena isi kotak itu adalah kecoak!
Aku segera naik ke atas kursi yang paling dekat denganku saat kecoak-kecoak menjijikkan itu berhamburan keluar dari kotak itu. Teman-temanku juga banyak yang naik ke kursi, bahkan Nana sampai naik ke atas meja. Kehebohan ini malah menjadi tontonan lucu dan gratis bagi anak-anak cowok. Mereka tertawa terpingkal-pingkal dan meyoraki kami. Tino malah mengambil satu kecoak itu dan menakut-nakuti cewek-cewek yang masih histeris. Sepertinya dia suka melakukannya, tapi aku sama sekali tidak suka! Dia bahkan menunjukkan kecoak di tangannya itu padaku. Langsung saja aku menjerit sekeras mungkin.
“Tino! Kamu ngapain sih!” teriakku karena Tino terus menggoyang-goyangkan makhluk menjijikkan itu di depanku.
“Ini khan punya lo Lin, masa lo nggak mau?” katanya sambil tertawa.
“Itu bukan punyaku!” aku melempari Tino dengan buku yang ada di meja dekatku.
“Tapi ini tadi dari kotak lo, khan?” katanya menunjuk kotak penuh kecoak tadi di atas mejaku.
“Iya bener, buang semua kecoak itu, Tang!” teriak Rahel dari luar pintu kelas. Dia bersama anak cewek lainnya tidak berani masuk kelas, hanya bersembunyi di belakang pintu. Ternyata keributan yang terjadi di kelasku mengundang perhatian anak kelas lain, mereka datang untuk melihat apa yang terjadi.
“Lin, gimana nih?” tanya Nana lalu berteriak lagi karena salah satu kecoak tadi berjalan cepat di sepatunya.
“Tino, tolongin dong...” aku beralih ke Tino yang masih berdiri di depanku.
“Nolongin apa?”
“Tolong beresin semua kecoak ini!”
Tino terlihat memikirkan sesuatu. “OK! Tapi ntar pas mau ujian matematika, fisika ma kimia lo harus mau ngajarin gue. Yah, belajar bareng gitu. Gimana?” tawar Tino. Mukanya menyiratkan kemengan mutlak.
Aduh, permintaannya kok gitu sih?! Apa dia tidak bisa belajar sendiri?!
“Gimana, mau nggak?” tanyanya. “Kalo tidak mau ya udah,” Tino mulai menyerang Rahel dan yang lain yang ada di pintu.
“Lin, kecoaknya banyak banget nih!” pinta Nana. Wajahnya sampai pucat karena ketakutan. “Cepet bilang iya! AAH...!!”
“Tino! Tino!!” panggilku, lalu Tino mendekatiku lagi. “OK! Ok, aku mau!” Tino tersenyum lebar. “Tapi, CEPETAN!!”
Setelah selesai dan semua kembali tenang, aku bertanya pada Tino. Menurutnya, kecoak tadi ada banyak, mungkin sekitar lima belasan. Ya ampun, banyak banget! Siapa lagi yang usil ke aku sampai kayak gini? Perasaan aku tidak pernah berbuat iseng sama orang lain. Aku juga tidak punya musuh, kecuali Faya tentunya, di kelas bahkan sekolah ini. Kenapa ada yang tega kayak gitu sih?
“Na, kamu nggak papa, khan?” tanyaku ketika pelajaran berikutnya dimulai. Nana paling benci kecoak, tadi dia sampai pucat.
“Nggak papa.” Nana menggelengkan kepala lemah.
Tidak lama setelah pelajaran kimia dimulai, aku merasakan ada gerakan aneh di belakangku. Tapi bukannya di belakangku hanya ada tas punggung saja. Aku kembali mengalihkan perhatianku pada pelajaran.
Aneh, semakin lama gerakan aneh itu semakin terasa. Karena penasaran, akhirnya aku buka tasku, dan sekali lagi aku teriak keras sekali.
“AAHH!!”
Ada katak besar di dalam tasku!  KATAK!! OH MY GOD....!!!
Aku langsung menjauh lagi dari kursiku, semua temanku, termasuk Pak Sabar guru kimia kami, melihatku keheranan. Bahkan Nana memandangku penuh tanda tanya.
“Ada apa, Lintang?” tanya Pak Sabar mendekatiku.
“Itu,” aku menunjuk tasku yang masih bergerak-gerak. Nana yang melihatnya segera menjauh. Mungkin dia takut itu kecoak lagi. “Ada katak di tas saya, Pak.”
Semua langsung ribut. Aduh, hari ini hari apa sih? Bukan April Mop, khan?? Kok aku dikerjai terus?
Sekarang aku bersama Nana sedang berjalan pelan menuju toilet untuk sedikit menyegarkan jiwa kami yang terkoyak dua kali dalam waktu bersamaan karena ulah orang iseng tadi. Katak yang ada di tasku tadi dikeluarin Tino. Aku dibantu Tino dua kali hari ini. Itu berarti hutang budiku padanya tambah banyak.
Untungnya lagi Pak Sabar memang orang yang sabar, tidak memberiku hukuman ataupun memarahiku karena telah mengganggu pelajarannya.
“Si Tino itu naksir kamu Lin.” kata Nana.
“Ah, masa sih?” aku kaget mendengarnya. Masa dia naksir aku?
“Kamu tuh nggak sadar ya? Padahal sudah sejak kelas dua lho.” kata Nana lagi semangat. “Makanya dia tadi seneng banget pas kamu bilang mau belajar bareng dia. Kalau aku jadi dia, aku pasti minta kamu jadi pacarku dari dulu.” aku dan Nana sekarang berjalan keluar toilet. ”Padahal dia udah lama naksir kamu, tapi nggak cepetan nembak.”
Tino naksir aku? Kok kayaknya tidak mungkin, soalnya mulai kelas dua, ketika kami mulai satu kelas, dia tidak pernah kelihatan naksir aku.
“Tapi, siapa yang iseng ke aku ya?” aku mengalihkan pembicaraan.
Nana mengangkat bahu. “Nggak tahu.”
“Apa mungkin Faya?”
“Nggak mungkin.” Kata Nana. “Apa dia Nggak takut sama makhluk-makhluk menjijikkan itu? Nggak mungkin dia berani megang-megang kecoak, apalagi sebanyak tadi.” Nana bergidik ketakutan mengingat insiden kecoak tadi.
“Sapa tau.” ujarku pelan.
Kalau bukan dia, lalu siapa? Tapi tetap saja perasaanku mengatakan kalau orang itu pasti Faya. Kenapa lagi dia? Apa lagi yang kulakukan sampai dia seperti itu?
Kami melewati kelas Faya saat kembali dari toilet. Tak sengaja kulihat Faya di dalam kelas melihatku, dia tersenyum. Senyum kemenangan mengembang lebar di muka jahatnya. Menyebalkan! Kesabaranku langsung hilang. Tanpa pikir panjang aku masuk ke dalam kelasnya dan menggebrak mejanya. Semua langsung melihat ke arah kami.
“Kamu khan yang naruh kotak kecoak dan katak itu di bangkuku?!”
Faya pura-pura tidak bersalah, dia hanya bengong.
“Lo ngomong apaan sih?” tanyanya cuek sambil memakai kacamata yang tadi ada di meja.
“Lin, ayo balik.” Nana menarik tanganku. Tapi aku tidak akan pergi. Aku yakin Faya yang jadi dalang semua kejadian tadi. Aku tidak akan memaafkannya. Dia sudah sangat kurang ajar!
“Nggak usah pura-pura bego gitu deh! Cepetan ngaku!”
“Ngaku apa?” Faya melipat tangannya dan bersandar santai di kursinya.
“Ada apa ini?” tiba-tiba Andi, mantan ketua OSIS datang dan berdiri diantara kami.
 “Ayo cepetan ngaku! Kamu khan yang naruh kotak penuh kecoak dan katak di tasku!”
“Kecoak dan katak?” tanya Andi.
“Kamu itu kenapa sih selalu ngerjain aku?!” kataku kesal.
“Jangan asal nuduh orang.” kata Faya tajam. “Lo nggak punya bukti.”
Aku kalah telak, memang aku tidak punya bukti tapi aku yakin dia orangnya!
“Sapa tahu kodok itu pangeranmu,” kata Faya mengejek. “Lo pernah denger cerita pangeran kodok, khan? Lo cium aja tuh kodok, sapa tahu ntar dia jadi pangeran lo.”
“Udah deh, nggak usah mungkir gitu! Ayo cepat ngaku dan minta maaf! Perbuatanmu tadi bikin banyak orang susah tau!”
Faya berdiri dan menatapku tajam. “Asal lo tau aja, itu bukan gue. Dan kalaupun itu gue, gue nggak bakal ngaku ataupun minta maaf ke lo.” Dia menekan pundakku dengan jari telunjuknya lalu pergi meninggalkanku dan semua orang yang ada di kelas ini.
FAYA, AKU BENCI KAMU!!
========
“Kak, Lintang mau ke Rumah Awan dulu, nanti pulang sendiri.” Kataku pada Kak Bintang di telepon. Sekarang aku sedang diantar jemputan Nana ke sana. Meski tadi pagi sudah bilang ke Kak Bintang kalau ingin pulang sendiri, rasanya tidak enak kalau tidak minta ijin lagi.
“Lintang, kamu nggak takut ketahuan Mama? Mama pasti nggak suka tahu kamu di sana. Lebih baik kamu pulang saja, Kakak jemput ya.” Kata Kak Bintang.
“Bilang aja ke Mama kalau aku lagi di rumahnya Nana dan nanti pulang diantar sopirnya.” Kupencet tombol reject lalu kumatiin Hpku dan kutaruh di tas. Kak Bintang hari ini kenapa sih kok  menyebalkan? Padahal biasanya dia diam saja kalau tahu aku main ke Rumah Awan.
“Lin, udah sampai.” kata Nana.
“Makasih Na, sampai ketemu besok.” Aku keluar dari mobil, Nana tersenyum melambaikan tangannya. Setelah Nana pergi  aku masuk ke Rumah Awan.
Hari ini Rumah Awan tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang, keliatannya sekitar enam orang saja. Aku segera melangkahkan kaki ke tempat Mbak Ayu yang duduk di meja kerjanya di dekat  Awan.
“Mbak Ayu,” sapaku lalu duduk di depannya. Mbak Ayu sedang membaca kertas yang penuh tulisan tangan. “Lagi sibuk ya?”
Mbak Ayu tersenyum. “Siang Lintang. Mbak tidak sibuk kok.” Mbak Ayu meletakkan kertas yang tadi dibacanya.
“Kamu kenapa? Sepertinya kok sedang kesal gitu?” tanya Mbak Ayu langsung.
Mbak Ayu tahu saja aku lagi bete. Aku tersenyum kecut.
“Lintang lagi bete Mbak, dari pagi tadi ada saja yang bikin Lintang marah. Rasanya sampai pingin nangis.” Jelasku jujur. “Sepertinya semua yang Lintang lakuin salah terus. Lintang bingung harus gimana.”
Mbak Ayu tetap diam mendengar curhatku. “Coba kamu lihat, wajahmu agak pucat. Mungkin hari ini kondisi tubuhmu sedang tidak fit Lintang, jangan lupa kondisi seperti itu dapat mempengaruhi pikiran dan daya tangkap kita. Siapa tahu maksud sebenarnya tidak seperti itu tapi karena kamu sedang tidak fit makanya kamu mikirnya jadi lain.” Mbak Ayu mencoba menghibur.
Aku sering curhat ke Mbak Ayu dan biasanya solusi yang diberikannya sangat membantu, tapi hari ini rasanya Mbak Ayu juga sama saja seperti yang lain. Mbak Ayu tidak benar-benar paham masalahku. Aku tidak menyalahkannya karena memang dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mbak Ayu tidak tahu seperti apa Kak Stary di mataku, aku tidak pernah cerita. Mbak Ayu itu juga kenal Kak Stary dan Kak Bintang, tapi aku jarang curhat  tentang mereka.
“Atau kamu sedang PMS?”
Apa iya aku PMS?
“Lintang mau ngelukis aja Mbak,” kataku. “Mumpung lagi sepi.”
Mbak Ayu senyum lagi. “Iya, siapa tahu bisa membuat kamu lebih tenang.” Kalau ini aku setuju.
Aku segera pergi ke toilet yang ada di bagian samping Rumah Awan, ganti seragam dengan kaos lucu warna putih bergambar Winnie the Pooh kesukaanku. Lalu aku segera mempersiapkan semua peralatan melukisku, kanvas, cat minyak, palet dan kuas. Tidak lupa air putih untuk minum kalau-kalau aku haus nantinya.
Hari ini aku ingin melukis di bawah pohon bunga kamboja putih yang bunganya sudah menguncup di ujung Rumah Awan, agak jauh dari tempat Mbak Ayu yang sekarang keliatannya sedang bicara lewat Hp. Beberapa hari lagi pasti mekar. Rasanya sangat menyenangkan bisa melukis di tempat yang sejuk seperti ini. Aku sudah tidak peduli kalau nanti Mama ngomel atau marah-marah, yang penting  sekarang aku senang. Dalam sehari ini aku tidak merasakan rasa senang sama sekali, jadi sekarang saatnya bersenang-senang. Lupakan semua hal yang menyebalkan.
Sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa yang ingin kulukis hari ini. Meski aku bertekad untuk have fun dan melupakan semua kejadian tadi, nyatanya pikiranku belum bisa jernih. Sekarang dikanvas yang ada di depanku hanya ada beberapa coretan dari cat warna biru dan merah. Keningku berkerut. Apa yang ada di kepalaku saat menyapukan kuasku tadi? Sepertinya tadi aku sedang melamun.
Setelah menenangkan diri dan konsentrasi, aku mulai melukis dengan sungguh-sungguh. Tanganku terus menyapukan cat di atas kanvas dengan lincah.
Oiya, cat wana hijauku habis. Minta Mbak Ayu dulu saja. Siapa tahu setelah jalan kaki sebentar aku bisa mendapat inspirasi.
Aku meninggalkan lukisanku dan berjalan membawa paletku. Saat lewat dekat gapura depan Rumah Awan, aku kaget karena tiba-tiba ada orang yang dengan terburu-buru masuk sampai menabrakku, tepat di depanku. Kejadian itu sangat cepat hingga aku tidak sadar aku hampir saja jatuh.  Aku mengaduh keras. Dia, orang yang menbrakku, juga mengaduh keras.
Aku tidak tahu apa orang itu jatuh atau tidak, aku hanya sadar, sisa tinta yang ada di paletku tadi menempel di kaosku! Mulutku terbuka lebar melihat kaosku terkena cat minyak. Tidak terlalu banyak tapi kotor cukup parah. Hei, ini kaos kesukaanku!
“Sori, nggak sengaja.” kata orang tadi padaku dengan nafas ngos-ngosan.
Kudongakkan kepalaku. Ternyata seorang cowok yang memakai kaos hitam dengan wajah penuh peluh.
“Lo nggak papa, khan?” tanyanya sambil sesekali melihat ke arah luar.
Cowok ini minta maaf tapi di mukanya sama sekali tidak kelihatan merasa bersalah. Dia malah terus melihat ke luar.
“Lihat ini!” tunjukku pada kaosku yang kotor.
Dia melihat kaosku. “Oh, sorry.” dia minta maaf dengan santai. Sama sekali tidak ada rasa penyesalan.
“Ini kaos kesukaanku tahu!” bentakku. Dia membuka mulutnya, terlihat ingin mengucapkan sesuatu. “Kamu udah bikin rusak kaosku!”
Dia terlihat melotot sebentar. “Tapi gue khan udah minta maaf.” katanya sedikit keras sambil melangkahkan kakinya keluar gapura, sepertinya akan pergi.
Aku hanya memandang kaosku dengan hampa. Ini kaos kesukaanku, hadiah dari Papa waktu aku kelas dua SMP, kembaran sama Kak Stary. Aku tidak pernah bilang ke siapapun kalau aku suka Pooh, tapi Papa tahu itu. Yang semua orang tahu hanya Spongebob kesukaan Kak Stary. Tapi waktu Papa memberikan kaos ini, aku senang sekali. Ternyata meskipun Papa sibuk masih tetap ingat padaku. Kak Stary juga terlihat senang dan ternyata Kak Stary juga tahu aku suka Pooh. Sesuatu yang membuatku kaget tapi juga membuatku tambah sayang padanya meskipun sebelumnya aku lebih banyak merasa iri padanya. Tapi  itu semua tidak berlangsung lama karena satu tahun kemudian Kak Stary pergi untuk selamanya.
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiranku. Dari dulu aku benci Kak Stary karena dia selalu jadi anak emas dan aku selalu terlupakan. Papa selalu sibuk kerja sedangkan Mama dan Kak Bintang selalu menomorsatukan kepentingan Kak Stary dan aku akan selalu dicari paling akhir. Aku benci sekali Kak Stary, dia sudah buat aku tidak bahagia. Saat dia meninggal karena kecelakaan aku senang sekali, jahat memang, karena kupikir semua orang akan sayang padaku. Tapi ternyata aku salah.
Mama belum bisa nerima kepergiannya hingga Papa tambah sibuk menenangkan Mama dan tidak punya banyak waktu untukku lagi sedangkan Kak Bintang jadi sangat over protective padaku. Semua orang berusaha membuatku seperfect Kak Stary, membuatku menjadi Stary dan membuang Lintang. Kenapa setelah dia pergipun hidupku tetap seperti ini? Kenapa malah tambah sakit rasanya?
Belum lagi usahaku untuk punya banyak teman dihalangi Faya yang memusuhiku. Kak Stary tidak pernah punya musuh dan Mama kecewa sekali tahu aku punya musuh di sekolah. Sebenarnya apa mau semua orang? Mereka ingin aku seperti Kak Stary, mereka juga selalu membanding-bandingkan aku dengannya, selalu membuatku merasa ada di bawahnya. Semua orang hanya membuatku bingung.
Dan hari ini, salah satu harta terbaikku ternoda. Ya Tuhan, kenapa hari ini aku sial banget?
Tanpa kusadari air mataku menetes mengingat semua kepedihanku. Palet yang tadinya masih di tanganku terjatuh. Rupanya hal itu membuat cowok tadi menoleh padaku.
“Lho, kok lo nangis?” dia mendekat padaku.
Aku sudah tidak peduli lagi sekarang. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Tangisku langsung pecah.
“Gue khan udah minta maaf, jangan nangis dong?” suara cowok itu terdengar cemas. Mungkin dia takut aku menangis karenanya.
Aku bukan nangis karena kamu tabrak tadi saja! Banyak yang bikin aku pingin nangis!
Kututup mukaku dengan kedua tanganku, berlari ke tempatku meelukis tadi. Tidak kusangka ternyata cowok tadi mengikutiku sambil terus membujukku agar berhenti nangis. Tapi air mata ini sudah kupendam sejak dulu, sejak semua hal menyudutkanku.
Aku duduk di tanah. Aku tidak peduli seragamku kotor. Aku tidak peduli Mama akan tambah marah padaku.
“Hei, udah dong nangisnya?” cowok itu tetap berdiri dan keliatan bingung sendiri. Dia mondar mandir hingga tidak sengaja menyenggol lukisanku dan jatuh. Lukisanku yang sudah setengah jadi juga rusak sekarang! Ya ampun! Padahal aku tadi ngelukis itu dengan penuh perasaan!
Tangisku tambah keras saat melihat lukisanku rusak.
“Aah!! Bisa berhenti nangis nggak sih lo!” teriaknya padaku.
Tidak bisa, air mata ini tidak mau berhenti....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar