LINTANG
Aduh, tubuhku rasanya capek semua.
Padahal kemarin tidak ada pelajaran olahraga yang biasanya membuat tubuhku
remuk seperti ini. Aku menggeliat lalu turun dari tempat tidur.
Ayo Lintang, semangat! Hari ini ada
pelajaran seni rupa, jangan malas kayak gini!
Aku mandi dan siap-siap ke sekolah.
Mobil Kak Bintang sudah diambil dari bengkel kemarin lusa, jadi sudah tidak
perlu numpang Kak Fadli lagi. Sayang juga sebenarnya, Kak Fadli orang yang
lucu, lumayan bisa diajak bercanda daripada Kak Bintang.
Di meja makan sudah ada Papa yang dengan lahap
makan roti bakar dengan selai cokelatnya sementara Mama menuangkan air putih ke
gelas Papa. Aku mengambil roti tawar lalu mengolaskan selai stroberi
kesukaanku.
“Bintang belum bangun, Ma?” tanya
Papa meraih gelas air putihnya.
Mama melihat jam dinding di tembok
dapur, jam setengah tujuh tepat, lalu pergi ke kamar Kak Bintang. “Bintang! Ayo
sarapan!”
“Lintang, kamu sudah mutusin kuliah
mau ngambil jurusan apa nanti?” tanya Papa tiba-tiba.
Pertanyaan itu cukup mengejutkanku.
Kukunyah habis roti yang ada di mulutku sambil melihat Kak Bintang keluar kamar
yang langsung digiring Mama ke meja makan. “Belum sih Pa,” jawabku. “Tapi
Lintang sudah mikirin satu bidang yang Lintang suka.”
Mama sepertinya mendengar kalimatku
barusan, lalu berkata, “Pasti Lintang ingin jadi dokter khan, Sayang?”
Itu bukan sebuah pertanyaan, tapi
pernyataan. Sebuah pernyataan perintah.
Kak Bintang melihat Mama dengan pandangan
aneh lalu duduk di sebelah Papa.
“Bener Lintang mau jadi dokter?”
tanya Papa. Sepertinya beliau ragu. “Papa tidak tahu kalau kamu tertarik di
bidang kedokteran.”
Mama duduk di tempatnya, diantara
Papa dan aku, lalu berkata lagi. “Lintang khan pintar Pa, selalu dapat
peringkat satu. Pasti cocok jadi dokter. Stary saja bisa jadi dokter, Lintang
juga pasti bisa ya khan, Sayang?” Mama mengelus rambutku.
Ih, nyebelin! Kak Stary lagi, Kak
Stary lagi!
Aku tidak menanggapi kalimat Mama
tadi. Mama selalu begitu, suka membandingkan aku dengan Kak Stary lalu
menyuruhku melakukan semua hal yang dulu dilakukan Kak Stary. Ya seperti kata
Mama tadi, Kak Stary kuliah kedokteran
dan Mama ingin aku sama seperti Kak Stary.
“Tapi Lintang nggak mau jadi
dokter, Ma.”
“Tidak mau?” Mama menatapku dengan
pandangan merana. “Mama tidak percaya kamu bicara seperti itu sama Mama.”
“Ma, Lintang cuma bilang kalau dia
tidak mau jadi dokter.” kata Kak Bintang. “Tapi jadi dokter ide bagus juga,
Lintang, bisa dicoba”
Mama masih menatapku. “Padahal
Stary mati-matian ingin jadi dokter agar bisa menyelamatkan banyak orang, tapi
kamu malah ngomong kayak gitu. Apa kamu tidak merasa kalau cita-citanya begitu
mulia? Kenapa kamu tidak mau seperti dia?” Mata Mama memerah.
Karena aku bukan Kak Stary!
“Sudahlah Ma.” Papa menengahi.
“Biarkan Lintang mikir dulu. Nah, Bintang, Lintang, sebaiknya kalian berangkat
sekarang, sudah siang.”
Setelah pamitan, aku dan Kak
Bintang segera berangkat.
“Mama kenapa sih selalu kayak
gitu!” aku protes saat Kak Bintang membelokkan mobilnya keluar kompleks.
“Selalu Kak Stary! Apa-apa Kak Stary! Aku ini khan juga punya cita-cita dan
hidup sendiri!”
“Kamu khan tahu kalau Mama masih
belum bisa menerima kepergian Kak Stary.” Komentar Kak Bintang.
“Iya, tapi kenapa imbasnya ke aku!”
“Mungkin karena sekarang kamu anak
perempuan satu-satunya.”
“Kak Bintang sih enak.”
“Tapi Mama juga jadi parno ke
Kakak.” Kak Bintang menambah kecepatan mobilnya. “Kakak juga tidak suka lihat
kamu jadi seperti ini, tapi Kakak tidak bisa apa-apa. Di mata Mama Kak Stary
adalah anak sempurnanya.”
Tentu saja Kak Bintang tidak bisa
berbuat apapun. Kak Bintang sama saja kayak Mama, masih belum bisa menerima
kenyataan kalau Kak Stary sudah tidak ada.
“Kak, ntar Lintang pulang sendiri
saja.”
“Tidak bisa, kamu nggak boleh
pulang sendiri.” Tolak Kak Bintang.
“Tapi aku bisa pulang sendiri.”
“Mama nggak ngebolehin kamu pulang
sendiri.”
Kak Bintang dan Mama sama saja!
Akhirnya sampai juga di sekolah.
Menyebalkan! Mama belum bisa menerima kepergiannya dan selalu menumpahkan
obsesi Kak Stary padaku. Semua tingkah lakuku harus sama dengannya. Kak Bintang
juga sama, tapi mungkin tidak sadar atau dia tidak mau mengakuinya. Kak Bintang
menyalahkan Mama tapi sebenarnya sikapnya padaku sama saja. Selalu parno. Aku
tidak boleh ke mana-mana sendiri, tidak boleh main ini main itu, pokoknya aku
di kekang banget! Hanya Papa yang sudah
rela ditinggal Kak Stary, bersikap adil padaku, tapi Papa terlalu sibuk kerja
sampa-sampai jarang ada di rumah hingga tak punya cukup waktu untukku.
Kak Stary memang perfect. Semua
orang yang mengenalnya pasti mengakui hal itu. Cantik, pintar, feminin, baik,
ramah, dan semua sifat baik ada padanya. Dia menjadi kebanggaan keluarga,
terutama bagi Mama. Tapi setelah dia pergi, banyak yang tidak bisa menerima
kenyaataan itu. Mereka melihat kesempatan untuk meluapkan ketidakpercayaan itu
padaku. Aku yang jadi tempat pelampiasan dan semua imbasnya. Hanya aku, kenapa
selalu aku?
========
Kekesalanku sedikit teralihkan saat
pelajaran seni rupa yang hari ini dilakukan di ruang seni. Hari ini kami
mendapat tugas menggambar proyeksi dari botol minuman soda. Ini adalah
pelajaran favoritku, jadi aku benar-benar konsentrasi pada tugasku hingga tidak
sadar bel istirahat berteriak kencang. Aku sampai kaget dibuatnya.
“Lin, kamu kenapa sih? Dari tadi
cemberut terus?” tanya Nana saat kami berjalan kembali ke kelas untuk
mengembalikan peralatan gambar kami.
Aku tersenyum sesaat. “Nggak papa
kok Na, cuma capek aja.”
“Apa karena keluarga kamu lagi?”
pertanyaan Nana tepat sekali. Tapi aku tidak mood curhat pada Nana hari ini.
“Bukan kok Na. Aku cuma capek .
Kemarin aku bantu Mama bersihin kebun, lamaaa banget.” kataku bohong. “Jadinya
ya capek banget.”
Sepertinya Nana percaya alasanku
tadi. Sudahlah, yang penting dia tidak bertanya lagi. Begitu sampai di kelas
aku tidak sengaja menemukan kotak kecil dari karton di laci meja. Perasaan tadi
pagi tidak ada deh. Aku buka kotak itu.
“AAAHH!!!”
Spontan, aku teriak sangat keras
dan langsung berlari menjauhi mejaku. Teman-temanku lainnya juga langsung ikut
teriak. Tentu saja, karena isi kotak itu adalah kecoak!
Aku segera naik ke atas kursi yang
paling dekat denganku saat kecoak-kecoak menjijikkan itu berhamburan keluar
dari kotak itu. Teman-temanku juga banyak yang naik ke kursi, bahkan Nana
sampai naik ke atas meja. Kehebohan ini malah menjadi tontonan lucu dan gratis
bagi anak-anak cowok. Mereka tertawa terpingkal-pingkal dan meyoraki kami. Tino
malah mengambil satu kecoak itu dan menakut-nakuti cewek-cewek yang masih histeris.
Sepertinya dia suka melakukannya, tapi aku sama sekali tidak suka! Dia bahkan
menunjukkan kecoak di tangannya itu padaku. Langsung saja aku menjerit sekeras
mungkin.
“Tino! Kamu ngapain sih!” teriakku
karena Tino terus menggoyang-goyangkan makhluk menjijikkan itu di depanku.
“Ini khan punya lo Lin, masa lo
nggak mau?” katanya sambil tertawa.
“Itu bukan punyaku!” aku melempari
Tino dengan buku yang ada di meja dekatku.
“Tapi ini tadi dari kotak lo,
khan?” katanya menunjuk kotak penuh kecoak tadi di atas mejaku.
“Iya bener, buang semua kecoak itu,
Tang!” teriak Rahel dari luar pintu kelas. Dia bersama anak cewek lainnya tidak
berani masuk kelas, hanya bersembunyi di belakang pintu. Ternyata keributan
yang terjadi di kelasku mengundang perhatian anak kelas lain, mereka datang
untuk melihat apa yang terjadi.
“Lin, gimana nih?” tanya Nana lalu
berteriak lagi karena salah satu kecoak tadi berjalan cepat di sepatunya.
“Tino, tolongin dong...” aku
beralih ke Tino yang masih berdiri di depanku.
“Nolongin apa?”
“Tolong beresin semua kecoak ini!”
Tino terlihat memikirkan sesuatu.
“OK! Tapi ntar pas mau ujian matematika, fisika ma kimia lo harus mau ngajarin
gue. Yah, belajar bareng gitu. Gimana?” tawar Tino. Mukanya menyiratkan
kemengan mutlak.
Aduh, permintaannya kok gitu sih?!
Apa dia tidak bisa belajar sendiri?!
“Gimana, mau nggak?” tanyanya.
“Kalo tidak mau ya udah,” Tino mulai menyerang Rahel dan yang lain yang ada di
pintu.
“Lin, kecoaknya banyak banget nih!”
pinta Nana. Wajahnya sampai pucat karena ketakutan. “Cepet bilang iya!
AAH...!!”
“Tino! Tino!!” panggilku, lalu Tino
mendekatiku lagi. “OK! Ok, aku mau!” Tino tersenyum lebar. “Tapi, CEPETAN!!”
Setelah selesai dan semua kembali
tenang, aku bertanya pada Tino. Menurutnya, kecoak tadi ada banyak, mungkin
sekitar lima belasan. Ya ampun, banyak banget! Siapa lagi yang usil ke aku
sampai kayak gini? Perasaan aku tidak pernah berbuat iseng sama orang lain. Aku
juga tidak punya musuh, kecuali Faya tentunya, di kelas bahkan sekolah ini.
Kenapa ada yang tega kayak gitu sih?
“Na, kamu nggak papa, khan?”
tanyaku ketika pelajaran berikutnya dimulai. Nana paling benci kecoak, tadi dia
sampai pucat.
“Nggak papa.” Nana menggelengkan
kepala lemah.
Tidak lama setelah pelajaran kimia
dimulai, aku merasakan ada gerakan aneh di belakangku. Tapi bukannya di
belakangku hanya ada tas punggung saja. Aku kembali mengalihkan perhatianku
pada pelajaran.
Aneh, semakin lama gerakan aneh itu
semakin terasa. Karena penasaran, akhirnya aku buka tasku, dan sekali lagi aku
teriak keras sekali.
“AAHH!!”
Ada katak besar di dalam
tasku! KATAK!! OH MY GOD....!!!
Aku langsung menjauh lagi dari
kursiku, semua temanku, termasuk Pak Sabar guru kimia kami, melihatku
keheranan. Bahkan Nana memandangku penuh tanda tanya.
“Ada apa, Lintang?” tanya Pak Sabar
mendekatiku.
“Itu,” aku menunjuk tasku yang
masih bergerak-gerak. Nana yang melihatnya segera menjauh. Mungkin dia takut
itu kecoak lagi. “Ada katak di tas saya, Pak.”
Semua langsung ribut. Aduh, hari
ini hari apa sih? Bukan April Mop, khan?? Kok aku dikerjai terus?
Sekarang aku bersama Nana sedang
berjalan pelan menuju toilet untuk sedikit menyegarkan jiwa kami yang terkoyak
dua kali dalam waktu bersamaan karena ulah orang iseng tadi. Katak yang ada di
tasku tadi dikeluarin Tino. Aku dibantu Tino dua kali hari ini. Itu berarti
hutang budiku padanya tambah banyak.
Untungnya lagi Pak Sabar memang
orang yang sabar, tidak memberiku hukuman ataupun memarahiku karena telah
mengganggu pelajarannya.
“Si Tino itu naksir kamu Lin.” kata
Nana.
“Ah, masa sih?” aku kaget
mendengarnya. Masa dia naksir aku?
“Kamu tuh nggak sadar ya? Padahal
sudah sejak kelas dua lho.” kata Nana lagi semangat. “Makanya dia tadi seneng
banget pas kamu bilang mau belajar bareng dia. Kalau aku jadi dia, aku pasti
minta kamu jadi pacarku dari dulu.” aku dan Nana sekarang berjalan keluar
toilet. ”Padahal dia udah lama naksir kamu, tapi nggak cepetan nembak.”
Tino naksir aku? Kok kayaknya tidak
mungkin, soalnya mulai kelas dua, ketika kami mulai satu kelas, dia tidak
pernah kelihatan naksir aku.
“Tapi, siapa yang iseng ke aku ya?”
aku mengalihkan pembicaraan.
Nana mengangkat bahu. “Nggak tahu.”
“Apa mungkin Faya?”
“Nggak mungkin.” Kata Nana. “Apa
dia Nggak takut sama makhluk-makhluk menjijikkan itu? Nggak mungkin dia berani
megang-megang kecoak, apalagi sebanyak tadi.” Nana bergidik ketakutan mengingat
insiden kecoak tadi.
“Sapa tau.” ujarku pelan.
Kalau bukan dia, lalu siapa? Tapi
tetap saja perasaanku mengatakan kalau orang itu pasti Faya. Kenapa lagi dia?
Apa lagi yang kulakukan sampai dia seperti itu?
Kami melewati kelas Faya saat
kembali dari toilet. Tak sengaja kulihat Faya di dalam kelas melihatku, dia
tersenyum. Senyum kemenangan mengembang lebar di muka jahatnya. Menyebalkan!
Kesabaranku langsung hilang. Tanpa pikir panjang aku masuk ke dalam kelasnya
dan menggebrak mejanya. Semua langsung melihat ke arah kami.
“Kamu khan yang naruh kotak kecoak
dan katak itu di bangkuku?!”
Faya pura-pura tidak bersalah, dia
hanya bengong.
“Lo ngomong apaan sih?” tanyanya
cuek sambil memakai kacamata yang tadi ada di meja.
“Lin, ayo balik.” Nana menarik
tanganku. Tapi aku tidak akan pergi. Aku yakin Faya yang jadi dalang semua
kejadian tadi. Aku tidak akan memaafkannya. Dia sudah sangat kurang ajar!
“Nggak usah pura-pura bego gitu
deh! Cepetan ngaku!”
“Ngaku apa?” Faya melipat tangannya
dan bersandar santai di kursinya.
“Ada apa ini?” tiba-tiba Andi,
mantan ketua OSIS datang dan berdiri diantara kami.
“Ayo cepetan ngaku! Kamu khan yang naruh kotak
penuh kecoak dan katak di tasku!”
“Kecoak dan katak?” tanya Andi.
“Kamu itu kenapa sih selalu
ngerjain aku?!” kataku kesal.
“Jangan asal nuduh orang.” kata
Faya tajam. “Lo nggak punya bukti.”
Aku kalah telak, memang aku tidak
punya bukti tapi aku yakin dia orangnya!
“Sapa tahu kodok itu pangeranmu,”
kata Faya mengejek. “Lo pernah denger cerita pangeran kodok, khan? Lo cium aja
tuh kodok, sapa tahu ntar dia jadi pangeran lo.”
“Udah deh, nggak usah mungkir gitu!
Ayo cepat ngaku dan minta maaf! Perbuatanmu tadi bikin banyak orang susah tau!”
Faya berdiri dan menatapku tajam.
“Asal lo tau aja, itu bukan gue. Dan kalaupun itu gue, gue nggak bakal ngaku
ataupun minta maaf ke lo.” Dia menekan pundakku dengan jari telunjuknya lalu
pergi meninggalkanku dan semua orang yang ada di kelas ini.
FAYA, AKU BENCI KAMU!!
========
“Kak, Lintang mau ke Rumah Awan
dulu, nanti pulang sendiri.” Kataku pada Kak Bintang di telepon. Sekarang aku
sedang diantar jemputan Nana ke sana. Meski tadi pagi sudah bilang ke Kak
Bintang kalau ingin pulang sendiri, rasanya tidak enak kalau tidak minta ijin
lagi.
“Lintang, kamu nggak takut ketahuan
Mama? Mama pasti nggak suka tahu kamu di sana. Lebih baik kamu pulang saja,
Kakak jemput ya.” Kata Kak Bintang.
“Bilang aja ke Mama kalau aku lagi
di rumahnya Nana dan nanti pulang diantar sopirnya.” Kupencet tombol reject
lalu kumatiin Hpku dan kutaruh di tas. Kak Bintang hari ini kenapa sih kok menyebalkan? Padahal biasanya dia diam saja
kalau tahu aku main ke Rumah Awan.
“Lin, udah sampai.” kata Nana.
“Makasih Na, sampai ketemu besok.”
Aku keluar dari mobil, Nana tersenyum melambaikan tangannya. Setelah Nana
pergi aku masuk ke Rumah Awan.
Hari ini Rumah Awan tidak terlalu
ramai. Hanya ada beberapa orang, keliatannya sekitar enam orang saja. Aku
segera melangkahkan kaki ke tempat Mbak Ayu yang duduk di meja kerjanya di
dekat Awan.
“Mbak Ayu,” sapaku lalu duduk di
depannya. Mbak Ayu sedang membaca kertas yang penuh tulisan tangan. “Lagi sibuk
ya?”
Mbak Ayu tersenyum. “Siang Lintang.
Mbak tidak sibuk kok.” Mbak Ayu meletakkan kertas yang tadi dibacanya.
“Kamu kenapa? Sepertinya kok sedang
kesal gitu?” tanya Mbak Ayu langsung.
Mbak Ayu tahu saja aku lagi bete.
Aku tersenyum kecut.
“Lintang lagi bete Mbak, dari pagi
tadi ada saja yang bikin Lintang marah. Rasanya sampai pingin nangis.” Jelasku
jujur. “Sepertinya semua yang Lintang lakuin salah terus. Lintang bingung harus
gimana.”
Mbak Ayu tetap diam mendengar
curhatku. “Coba kamu lihat, wajahmu agak pucat. Mungkin hari ini kondisi
tubuhmu sedang tidak fit Lintang, jangan lupa kondisi seperti itu dapat
mempengaruhi pikiran dan daya tangkap kita. Siapa tahu maksud sebenarnya tidak
seperti itu tapi karena kamu sedang tidak fit makanya kamu mikirnya jadi lain.”
Mbak Ayu mencoba menghibur.
Aku sering curhat ke Mbak Ayu dan
biasanya solusi yang diberikannya sangat membantu, tapi hari ini rasanya Mbak
Ayu juga sama saja seperti yang lain. Mbak Ayu tidak benar-benar paham
masalahku. Aku tidak menyalahkannya karena memang dia tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Mbak Ayu tidak tahu seperti apa Kak Stary di mataku, aku
tidak pernah cerita. Mbak Ayu itu juga kenal Kak Stary dan Kak Bintang, tapi
aku jarang curhat tentang mereka.
“Atau kamu sedang PMS?”
Apa iya aku PMS?
“Lintang mau ngelukis aja Mbak,”
kataku. “Mumpung lagi sepi.”
Mbak Ayu senyum lagi. “Iya, siapa
tahu bisa membuat kamu lebih tenang.” Kalau ini aku setuju.
Aku segera pergi ke toilet yang ada
di bagian samping Rumah Awan, ganti seragam dengan kaos lucu warna putih
bergambar Winnie the Pooh kesukaanku. Lalu aku segera mempersiapkan semua
peralatan melukisku, kanvas, cat minyak, palet dan kuas. Tidak lupa air putih
untuk minum kalau-kalau aku haus nantinya.
Hari ini aku ingin melukis di bawah
pohon bunga kamboja putih yang bunganya sudah menguncup di ujung Rumah Awan,
agak jauh dari tempat Mbak Ayu yang sekarang keliatannya sedang bicara lewat
Hp. Beberapa hari lagi pasti mekar. Rasanya sangat menyenangkan bisa melukis di
tempat yang sejuk seperti ini. Aku sudah tidak peduli kalau nanti Mama ngomel
atau marah-marah, yang penting sekarang
aku senang. Dalam sehari ini aku tidak merasakan rasa senang sama sekali, jadi
sekarang saatnya bersenang-senang. Lupakan semua hal yang menyebalkan.
Sebenarnya aku sendiri tidak tahu
apa yang ingin kulukis hari ini. Meski aku bertekad untuk have fun dan
melupakan semua kejadian tadi, nyatanya pikiranku belum bisa jernih. Sekarang
dikanvas yang ada di depanku hanya ada beberapa coretan dari cat warna biru dan
merah. Keningku berkerut. Apa yang ada di kepalaku saat menyapukan kuasku tadi?
Sepertinya tadi aku sedang melamun.
Setelah menenangkan diri dan
konsentrasi, aku mulai melukis dengan sungguh-sungguh. Tanganku terus
menyapukan cat di atas kanvas dengan lincah.
Oiya, cat wana hijauku habis. Minta
Mbak Ayu dulu saja. Siapa tahu setelah jalan kaki sebentar aku bisa mendapat
inspirasi.
Aku meninggalkan lukisanku dan
berjalan membawa paletku. Saat lewat dekat gapura depan Rumah Awan, aku kaget
karena tiba-tiba ada orang yang dengan terburu-buru masuk sampai menabrakku,
tepat di depanku. Kejadian itu sangat cepat hingga aku tidak sadar aku hampir
saja jatuh. Aku mengaduh keras. Dia,
orang yang menbrakku, juga mengaduh keras.
Aku tidak tahu apa orang itu jatuh
atau tidak, aku hanya sadar, sisa tinta yang ada di paletku tadi menempel di
kaosku! Mulutku terbuka lebar melihat kaosku terkena cat minyak. Tidak terlalu
banyak tapi kotor cukup parah. Hei, ini kaos kesukaanku!
“Sori, nggak sengaja.” kata orang
tadi padaku dengan nafas ngos-ngosan.
Kudongakkan kepalaku. Ternyata
seorang cowok yang memakai kaos hitam dengan wajah penuh peluh.
“Lo nggak papa, khan?” tanyanya
sambil sesekali melihat ke arah luar.
Cowok ini minta maaf tapi di
mukanya sama sekali tidak kelihatan merasa bersalah. Dia malah terus melihat ke
luar.
“Lihat ini!” tunjukku pada kaosku
yang kotor.
Dia melihat kaosku. “Oh, sorry.”
dia minta maaf dengan santai. Sama sekali tidak ada rasa penyesalan.
“Ini kaos kesukaanku tahu!”
bentakku. Dia membuka mulutnya, terlihat ingin mengucapkan sesuatu. “Kamu udah
bikin rusak kaosku!”
Dia terlihat melotot sebentar.
“Tapi gue khan udah minta maaf.” katanya sedikit keras sambil melangkahkan
kakinya keluar gapura, sepertinya akan pergi.
Aku hanya memandang kaosku dengan
hampa. Ini kaos kesukaanku, hadiah dari Papa waktu aku kelas dua SMP, kembaran
sama Kak Stary. Aku tidak pernah bilang ke siapapun kalau aku suka Pooh, tapi
Papa tahu itu. Yang semua orang tahu hanya Spongebob kesukaan Kak Stary. Tapi
waktu Papa memberikan kaos ini, aku senang sekali. Ternyata meskipun Papa sibuk
masih tetap ingat padaku. Kak Stary juga terlihat senang dan ternyata Kak Stary
juga tahu aku suka Pooh. Sesuatu yang membuatku kaget tapi juga membuatku
tambah sayang padanya meskipun sebelumnya aku lebih banyak merasa iri padanya.
Tapi itu semua tidak berlangsung lama
karena satu tahun kemudian Kak Stary pergi untuk selamanya.
Tidak ada yang tahu apa yang
sebenarnya ada dalam pikiranku. Dari dulu aku benci Kak Stary karena dia selalu
jadi anak emas dan aku selalu terlupakan. Papa selalu sibuk kerja sedangkan
Mama dan Kak Bintang selalu menomorsatukan kepentingan Kak Stary dan aku akan
selalu dicari paling akhir. Aku benci sekali Kak Stary, dia sudah buat aku
tidak bahagia. Saat dia meninggal karena kecelakaan aku senang sekali, jahat
memang, karena kupikir semua orang akan sayang padaku. Tapi ternyata aku salah.
Mama belum bisa nerima kepergiannya
hingga Papa tambah sibuk menenangkan Mama dan tidak punya banyak waktu untukku
lagi sedangkan Kak Bintang jadi sangat over protective padaku. Semua orang
berusaha membuatku seperfect Kak Stary, membuatku menjadi Stary dan membuang
Lintang. Kenapa setelah dia pergipun hidupku tetap seperti ini? Kenapa malah
tambah sakit rasanya?
Belum lagi usahaku untuk punya
banyak teman dihalangi Faya yang memusuhiku. Kak Stary tidak pernah punya musuh
dan Mama kecewa sekali tahu aku punya musuh di sekolah. Sebenarnya apa mau
semua orang? Mereka ingin aku seperti Kak Stary, mereka juga selalu
membanding-bandingkan aku dengannya, selalu membuatku merasa ada di bawahnya.
Semua orang hanya membuatku bingung.
Dan hari ini, salah satu harta
terbaikku ternoda. Ya Tuhan, kenapa hari ini aku sial banget?
Tanpa kusadari air mataku menetes
mengingat semua kepedihanku. Palet yang tadinya masih di tanganku terjatuh.
Rupanya hal itu membuat cowok tadi menoleh padaku.
“Lho, kok lo nangis?” dia mendekat
padaku.
Aku sudah tidak peduli lagi
sekarang. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Tangisku langsung pecah.
“Gue khan udah minta maaf, jangan
nangis dong?” suara cowok itu terdengar cemas. Mungkin dia takut aku menangis
karenanya.
Aku bukan nangis karena kamu tabrak
tadi saja! Banyak yang bikin aku pingin nangis!
Kututup mukaku dengan kedua
tanganku, berlari ke tempatku meelukis tadi. Tidak kusangka ternyata cowok tadi
mengikutiku sambil terus membujukku agar berhenti nangis. Tapi air mata ini
sudah kupendam sejak dulu, sejak semua hal menyudutkanku.
Aku duduk di tanah. Aku tidak
peduli seragamku kotor. Aku tidak peduli Mama akan tambah marah padaku.
“Hei, udah dong nangisnya?” cowok
itu tetap berdiri dan keliatan bingung sendiri. Dia mondar mandir hingga tidak
sengaja menyenggol lukisanku dan jatuh. Lukisanku yang sudah setengah jadi juga
rusak sekarang! Ya ampun! Padahal aku tadi ngelukis itu dengan penuh perasaan!
Tangisku tambah keras saat melihat
lukisanku rusak.
“Aah!! Bisa berhenti nangis nggak
sih lo!” teriaknya padaku.
Tidak bisa, air mata ini tidak mau
berhenti....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar