MBAK AYU
Hari ini Rumah Awan lumayan sepi.
Memang jarang sekali ramai, tapi
hari ini sepi sekali. Dani juga tidak datang hari ini. Katanya dia ada kuis,
jadi tidak bisa datang. Tapi untung saja tetap ada yang datang.
Lintang datang hari ini. Saat dia
datang menemui saya wajahnya terlihat sangat kusut. Entah apa lagi yang
membuatnya seperti itu. Mungkin juga karena temannya yang bernama Faya yang
sering diceritakannya. Tapi saya kaget karena tiba-tiba dia cerita tentang
kekecewaannya. Dia merasa semua yang dilakukannya salah menurut orang lain.
Saya tidak tahu siapa orang lain yang dimaksudnya, tapi sepertinya bukan Faya
karena kalau itu menyangkut Faya, Lintang tidak sungkan menyebut namanya.
Sekarang dia sedang melukis di
bawah pohon di pojok. Saya tidak tahu apa yang dilukisnya karena memang tidak
kelihatan dari sini.
Kertas yang tadi saya baca ketika
Lintang datang kembali saya cermati. Ini adalah surat Ibu yang ditemukan Pak
Agung di kampung halaman Ibu yang diberikan pada saya tadi pagi. Ibu itu buta
huruf. Menurut Pak Agung ini adalah tulisan dari salah satu keluarga saya di
Bali yang dimintai tolong Ibu. Setelah saya baca ternyata benar.
Bapak,
Mbok gimana kabarnya?
Sri
sudah sampai di rumah tuan Made dan sudah mulai kerja. Suasana di sini mirip
sama rumah, tapi di sini orang-orangnya bicaranya aneh. Aku nggak ngerti.
Bingung.
Surat
ini ditulisin anak Tuan Made yang ngerti bahasa jawa, Sri minta tolong sama
anak Tuna Made itu. Sri manggilnya Mbak Putu, karena Sri nggak tahu bahasa
Bali.
Minggu
depan Sri bareng anak kembar perempuan cucunya tuan Made akan pergi. Katanya
mau misahin anak kembar biar selamat sampai tua, sama seperti tradisi di rumah
ya? Katanya memang gitu. Istri tuan Made itu orang jawa Mbok, Pak.
Mbok,
Pak, mohon doanya agar selamet.
Sri
Surat yang singkat tapi cukup
membantu. Ini adalah isi hati Ibu ketika kerja di rumah. Kelihatannya Ibu suka
kerja di sana. Kata Pak Agung, surat ini ditemukan di rumah adiknya Ibu. Pak
Agung tidak menemukan amplop surat yang kemungkinan ada alamat rumah keluarga
saya di Bali. Beliau hanya menemukan suratnya. Kemungkinan amplop itu ada di
rumah orang tua Ibu dan saat ini Pak Agung sedang mencarinya ke sana. Semoga
saja bisa ketemu.
Telepon di meja berdering dan
langsung saya angkat.
“Ayu?” tanya satu suara. Ternyata
Bintang.
“Iya ini Ayu, ada apa?”
“Ini Bintang, Yu,” katanya. Saya
tahu itu kamu, Bintang. “Lintang ada di sana?”
Saya menoleh tempat Lintang melukis
tadi, hanya untuk memastikan dia masih ada di sini. “Iya, itu sedang melukis di
pojok. Mau bicara?”
“Tidak, aku hanya tanya saja. Sudah
lama dia di sana?”
“Habis pulang sekolah langsung ke
sini. Apa ada masalah?”
“Dari tadi pagi dia ngambek terus.
Aku jemput tidak mau. Sekarang Hpnya malah dimatiin.”
Saya kembali mengamati lembaran
kertas di meja. Saya ambil kertas berisi daftar pengeluaran bulan ini. “Dia
tadi waktu datang memang terlihat sedang kesal. Saya tidak tahu kalau dia ada
masalah.”
“Dia tidak cerita penyebabnya?”
“Tidak, dia hanya bilang kalau hari
ini dia ingin melukis.” Jawab saya bohong. Lintang sudah percaya pada saya
untuk menjaga rahasianya, jadi tidak akan saya beritahukan pada siapapun.
Bintang diam. Entah karena apa.
Apakah dia tahu saya bohong?
“Ayu, maaf waktu itu aku ninggalin kamu,” ujarnya.
“Waktu kamu masih mandi,”
“Tidak apa-apa, saya hanya kaget
tiba-tiba kamu tidak ada di sana.” Kata saya. Waktu itu saya memang kaget
begitu tahu dia tidak ada. “Kamu kenapa pergi tiba-tiba kayak gitu?”
“Ada sedikit keributan. Anak geng
timur ngeroyok anak geng barat.”
“Oh..” saya tahu masalah geng itu.
“Tapi kamu tidak kenapa-kenapa, khan? Tidak terluka?” kalimat yang menyiratkan
kecemasan itu keluar begitu saja dengan cepat.
Bintang tertawa pelan mendengarnya.
“Kenapa? Kamu cemas ya?”
Saya tidak mau jawab.
“Tenang saja,” Bintang berdehem.
“Lintang masih ada di situ, khan? Aku mau jemput dia.”
Saya lihat lagi, sekarang Lintang
berdiri berhadapan dengan seorang anak cowok. Mungkin teman sekolahnya.
”Bagaimana kalau hari ini kamu biarin dia pulang sendiri,” usul saya.
“Tidak bisa. Dia tidak boleh pulang
sendirian, nanti ada apa-apa.” Katanya tegas. Saya tahu dia masih trauma karena
kakaknya Stary meninggal akibat tabrak lari.
“Sekali saja Bintang, Lintang pasti
baik-baik saja.”
“Mama nanti pasti cemas sekali.”
Bantah Bintang.
“Mama kamu atau kamu yang cemas?”
Bintang tidak menanggapi. “Mama kamu tidak akan tahu Lintang pulang sendiri
kalau kamu tidak memberitahu,”
“Iya, tapi sekali ini saja.”
Bintang menyerah.
“Terimakasih Bintang.”
“Kok kamu yang terimakasih?”
Saya tersenyum. Bintang pasti tidak
bisa melihatnya lalu saya tutup teleponnya. Saya jadi ingat kata Pak Agung tadi
pagi, bahwa mungkin masa pencarian keluarga masih cukup lama. Dari bukti-bukti
yang ada, sebentar lagi pencarian itu akan terjadi di Bali. Mendengar itu saya
putuskan untuk ikut Pak Agung ke sana atau kalau memungkinkan saya akan mencari
keluarga saya sendiri. Itu berarti tidak akan lama lagi saya harus pergi ke
Bali. Saya harus meninggalkan tempat ini dan semua orang di sini.
Sebelum saya pergi, saya ingin
membuat Bintang lepas dari traumanya dan bisa menjaga Lintang lebih baik. Saya
juga ingin membuat Lintang bahagia dengan pilihan hidupnya.
Tidak lama kemudian Lintang datang
untuk mengembalikan alat lukis yang tadi dipinjamnya, di sanggar ini memang
disediakan alat yang bisa dipinjam siapa saja yang membutuhkan, tanpa hasil
lukisan yang tadi dilukisnya. Apa mungkin dibawanya pulang? Lintang selalu
menitipkan lukisannya di sini. Mata dan hidungnya merah seperti habis menangis.
Baju yang dipakainya juga terlihat kotor sekali.
“Lintang, kamu kenapa? Habis nangis
ya?”
Lintang hanya menggeleng lalu
mengusapkan tangan kanannya ke kedua pipinya. Tangannya yang kotor menyisakan
noda hitam di pipi kirinya.
“Lintang pulang dulu, Mbak,”
pamitnya lalu pergi.
Setelah Lintang pergi saya mengecek
laporan pengeluaran bulan ini. Sebenarnya laporan ini sudah saya cek semalam,
tapi karena tidak ada kerjaan jadi saya cek lagi.
“Mbak, makasih bukunya,” Lia, salah
satu murid Rumah Awan menyerahkan sebuah majalah.
“Sudah selesai bacanya?” saya
menerima majalah itu.
“Iya. Isinya bagus banget!”
komentarnya tersenyum. “Lia pulang dulu,Mbak,”
“Hati-hati ya!” ujar saya setengah
teriak karena Lia lari cepat. Sepertinya dia buru-buru.
Saya langsung membuka majalah itu
di halaman lima. Majalah ini adalah majalah yang membahas dunia seni. Saya
selalu beli majalah yang terbit setiap satu bulan sekali ini. Di halaman lima
tersebut, terdapat profil pelukis wanita Indonesia yang saya kagumi, Kartika
Affandi. Saya sudah sering membaca artikel ini, tapi saya selalu tidak bosan
membacanya hingga saya hafal semua tentang Kartika Affandi yang ditulis di
majalah itu.
Kartika Affandi seorang pelukis
wanita Indonesia yang merupakan anak seorang maestro seni lukis Indonesia,
Affandi. Kartika Affandi lahir di Jakarta, 27 November 1934. Kartika Affandi adalah pelukis yang dikenal dengan
gaya yang sama dengan ayahnya, ekspresionisme. Bukan itu saja, teknik melukis
khas Affandi dengan cara langsung menorehkan cat dari tube-nya juga dilakukan
oleh Kartika Affandi. Lukisannya ada yang berupa wanita tanpa busana sampai
wajah yang teralingi kawat berduri dan juga ‘potret diri’ berupa tanaman bunga
matahari lengkap dengan kembangnya yang mekar. Lukisan tersebut merekam suasana
kejiwaan dan perjalanan hidupnya.
Menurut Kartika, rekaman kehidupan
seperti itu memiliki nilai yang tinggi dan mungkin tidak ada kesempatan kedua
untuk menangkapnya. Melukis bagi Kartika merupakan cermin jiwa yang tidak akan
terpuaskan dengan apa yang telah dipelajarinya. Kartika mencoba menapak selangkah
demi selangkah dalam perjalanan kehidupan dan mencari kejujuran yang akan
mengekspresikan kebenaran.
Ada satu kesamaan antara saya dan
Kartika, kami sama-sama suka bunga matahari dan saya sangat suka kalimatnya
yang satu ini:
"Itu
memang saya. Saya senang bunga matahari karena batangnya bisa sangat besar,
tetap tegak walau agak doyong, dan bunganya selalu menantang, menghadap
matahari," kata Kartika.
Saat ini saya hanyalah manusia
lemah yang sering menangis sendiri mengingat perjalanan hidup yang sepi. Saya
ingin suatu saat saya bisa tegar seperti bunga matahari. Tegar seperti Ibu.
Karena saya sudah hafal, saya tidak
jadi membacanya dan saya langsung menyimpanya di laci meja. Tak lama kemudian
Bintang datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar