Sabtu, 13 September 2014

Rumah Awan : 10 - Mbak Ayu



MBAK AYU

Hari ini Rumah Awan lumayan sepi.
Memang jarang sekali ramai, tapi hari ini sepi sekali. Dani juga tidak datang hari ini. Katanya dia ada kuis, jadi tidak bisa datang. Tapi untung saja tetap ada yang datang.
Lintang datang hari ini. Saat dia datang menemui saya wajahnya terlihat sangat kusut. Entah apa lagi yang membuatnya seperti itu. Mungkin juga karena temannya yang bernama Faya yang sering diceritakannya. Tapi saya kaget karena tiba-tiba dia cerita tentang kekecewaannya. Dia merasa semua yang dilakukannya salah menurut orang lain. Saya tidak tahu siapa orang lain yang dimaksudnya, tapi sepertinya bukan Faya karena kalau itu menyangkut Faya, Lintang tidak sungkan menyebut namanya.
Sekarang dia sedang melukis di bawah pohon di pojok. Saya tidak tahu apa yang dilukisnya karena memang tidak kelihatan dari sini.
Kertas yang tadi saya baca ketika Lintang datang kembali saya cermati. Ini adalah surat Ibu yang ditemukan Pak Agung di kampung halaman Ibu yang diberikan pada saya tadi pagi. Ibu itu buta huruf. Menurut Pak Agung ini adalah tulisan dari salah satu keluarga saya di Bali yang dimintai tolong Ibu. Setelah saya baca ternyata benar.
Bapak, Mbok gimana kabarnya?
Sri sudah sampai di rumah tuan Made dan sudah mulai kerja. Suasana di sini mirip sama rumah, tapi di sini orang-orangnya bicaranya aneh. Aku nggak ngerti. Bingung.
Surat ini ditulisin anak Tuan Made yang ngerti bahasa jawa, Sri minta tolong sama anak Tuna Made itu. Sri manggilnya Mbak Putu, karena Sri nggak tahu bahasa Bali.
Minggu depan Sri bareng anak kembar perempuan cucunya tuan Made akan pergi. Katanya mau misahin anak kembar biar selamat sampai tua, sama seperti tradisi di rumah ya? Katanya memang gitu. Istri tuan Made itu orang jawa Mbok, Pak.
Mbok, Pak, mohon doanya agar selamet.
Sri

Surat yang singkat tapi cukup membantu. Ini adalah isi hati Ibu ketika kerja di rumah. Kelihatannya Ibu suka kerja di sana. Kata Pak Agung, surat ini ditemukan di rumah adiknya Ibu. Pak Agung tidak menemukan amplop surat yang kemungkinan ada alamat rumah keluarga saya di Bali. Beliau hanya menemukan suratnya. Kemungkinan amplop itu ada di rumah orang tua Ibu dan saat ini Pak Agung sedang mencarinya ke sana. Semoga saja bisa ketemu.
Telepon di meja berdering dan langsung saya angkat.
“Ayu?” tanya satu suara. Ternyata Bintang.
“Iya ini Ayu, ada apa?”
“Ini Bintang, Yu,” katanya. Saya tahu itu kamu, Bintang. “Lintang ada di sana?”
Saya menoleh tempat Lintang melukis tadi, hanya untuk memastikan dia masih ada di sini. “Iya, itu sedang melukis di pojok. Mau bicara?”
“Tidak, aku hanya tanya saja. Sudah lama dia di sana?”
“Habis pulang sekolah langsung ke sini. Apa ada masalah?”
“Dari tadi pagi dia ngambek terus. Aku jemput tidak mau. Sekarang Hpnya malah dimatiin.”
Saya kembali mengamati lembaran kertas di meja. Saya ambil kertas berisi daftar pengeluaran bulan ini. “Dia tadi waktu datang memang terlihat sedang kesal. Saya tidak tahu kalau dia ada masalah.”
“Dia tidak cerita penyebabnya?”
“Tidak, dia hanya bilang kalau hari ini dia ingin melukis.” Jawab saya bohong. Lintang sudah percaya pada saya untuk menjaga rahasianya, jadi tidak akan saya beritahukan pada siapapun.
Bintang diam. Entah karena apa. Apakah dia tahu saya bohong?
“Ayu, maaf  waktu itu aku ninggalin kamu,” ujarnya. “Waktu kamu masih mandi,”
“Tidak apa-apa, saya hanya kaget tiba-tiba kamu tidak ada di sana.” Kata saya. Waktu itu saya memang kaget begitu tahu dia tidak ada. “Kamu kenapa pergi tiba-tiba kayak gitu?”
“Ada sedikit keributan. Anak geng timur ngeroyok anak geng barat.”
“Oh..” saya tahu masalah geng itu. “Tapi kamu tidak kenapa-kenapa, khan? Tidak terluka?” kalimat yang menyiratkan kecemasan itu keluar begitu saja dengan cepat.
Bintang tertawa pelan mendengarnya. “Kenapa? Kamu cemas ya?”
Saya tidak mau jawab.
“Tenang saja,” Bintang berdehem. “Lintang masih ada di situ, khan? Aku mau jemput dia.”
Saya lihat lagi, sekarang Lintang berdiri berhadapan dengan seorang anak cowok. Mungkin teman sekolahnya. ”Bagaimana kalau hari ini kamu biarin dia pulang sendiri,” usul saya.
“Tidak bisa. Dia tidak boleh pulang sendirian, nanti ada apa-apa.” Katanya tegas. Saya tahu dia masih trauma karena kakaknya Stary meninggal akibat tabrak lari.
“Sekali saja Bintang, Lintang pasti baik-baik saja.”
“Mama nanti pasti cemas sekali.” Bantah Bintang.
“Mama kamu atau kamu yang cemas?” Bintang tidak menanggapi. “Mama kamu tidak akan tahu Lintang pulang sendiri kalau kamu tidak memberitahu,”
“Iya, tapi sekali ini saja.” Bintang menyerah.
“Terimakasih Bintang.”
“Kok kamu yang terimakasih?”
Saya tersenyum. Bintang pasti tidak bisa melihatnya lalu saya tutup teleponnya. Saya jadi ingat kata Pak Agung tadi pagi, bahwa mungkin masa pencarian keluarga masih cukup lama. Dari bukti-bukti yang ada, sebentar lagi pencarian itu akan terjadi di Bali. Mendengar itu saya putuskan untuk ikut Pak Agung ke sana atau kalau memungkinkan saya akan mencari keluarga saya sendiri. Itu berarti tidak akan lama lagi saya harus pergi ke Bali. Saya harus meninggalkan tempat ini dan semua orang di sini.
Sebelum saya pergi, saya ingin membuat Bintang lepas dari traumanya dan bisa menjaga Lintang lebih baik. Saya juga ingin membuat Lintang bahagia dengan pilihan hidupnya.
Tidak lama kemudian Lintang datang untuk mengembalikan alat lukis yang tadi dipinjamnya, di sanggar ini memang disediakan alat yang bisa dipinjam siapa saja yang membutuhkan, tanpa hasil lukisan yang tadi dilukisnya. Apa mungkin dibawanya pulang? Lintang selalu menitipkan lukisannya di sini. Mata dan hidungnya merah seperti habis menangis. Baju yang dipakainya juga terlihat kotor sekali.
“Lintang, kamu kenapa? Habis nangis ya?”
Lintang hanya menggeleng lalu mengusapkan tangan kanannya ke kedua pipinya. Tangannya yang kotor menyisakan noda hitam di pipi kirinya.
“Lintang pulang dulu, Mbak,” pamitnya lalu pergi.
Setelah Lintang pergi saya mengecek laporan pengeluaran bulan ini. Sebenarnya laporan ini sudah saya cek semalam, tapi karena tidak ada kerjaan jadi saya cek lagi.
“Mbak, makasih bukunya,” Lia, salah satu murid Rumah Awan menyerahkan sebuah majalah.
“Sudah selesai bacanya?” saya menerima majalah itu.
“Iya. Isinya bagus banget!” komentarnya tersenyum. “Lia pulang dulu,Mbak,”
“Hati-hati ya!” ujar saya setengah teriak karena Lia lari cepat. Sepertinya dia buru-buru.
Saya langsung membuka majalah itu di halaman lima. Majalah ini adalah majalah yang membahas dunia seni. Saya selalu beli majalah yang terbit setiap satu bulan sekali ini. Di halaman lima tersebut, terdapat profil pelukis wanita Indonesia yang saya kagumi, Kartika Affandi. Saya sudah sering membaca artikel ini, tapi saya selalu tidak bosan membacanya hingga saya hafal semua tentang Kartika Affandi yang ditulis di majalah itu.
Kartika Affandi seorang pelukis wanita Indonesia yang merupakan anak seorang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Kartika Affandi lahir di Jakarta, 27 November 1934. Kartika Affandi adalah pelukis yang dikenal dengan gaya yang sama dengan ayahnya, ekspresionisme. Bukan itu saja, teknik melukis khas Affandi dengan cara langsung menorehkan cat dari tube-nya juga dilakukan oleh Kartika Affandi. Lukisannya ada yang berupa wanita tanpa busana sampai wajah yang teralingi kawat berduri dan juga ‘potret diri’ berupa tanaman bunga matahari lengkap dengan kembangnya yang mekar. Lukisan tersebut merekam suasana kejiwaan dan perjalanan hidupnya.
Menurut Kartika, rekaman kehidupan seperti itu memiliki nilai yang tinggi dan mungkin tidak ada kesempatan kedua untuk menangkapnya. Melukis bagi Kartika merupakan cermin jiwa yang tidak akan terpuaskan dengan apa yang telah dipelajarinya. Kartika mencoba menapak selangkah demi selangkah dalam perjalanan kehidupan dan mencari kejujuran yang akan mengekspresikan kebenaran.
Ada satu kesamaan antara saya dan Kartika, kami sama-sama suka bunga matahari dan saya sangat suka kalimatnya yang satu ini:
"Itu memang saya. Saya senang bunga matahari karena batangnya bisa sangat besar, tetap tegak walau agak doyong, dan bunganya selalu menantang, menghadap matahari," kata Kartika.
Saat ini saya hanyalah manusia lemah yang sering menangis sendiri mengingat perjalanan hidup yang sepi. Saya ingin suatu saat saya bisa tegar seperti bunga matahari. Tegar seperti Ibu.
Karena saya sudah hafal, saya tidak jadi membacanya dan saya langsung menyimpanya di laci meja. Tak lama kemudian Bintang datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar