Selasa, 09 September 2014

Rumah Awan : 8 - Yoga



YOGA

Faya berjalan dengan santai menuju pos satpam SMA Erlangga. Dia sudah telat cukup lama, paling sudah setengah jam lebih, tapi sepertinya dia nggak takut sama sekali. Biasanya khan anak SMA kalau telat pasti takut dimarahin guru terus dikasih hukuman, tapi kayaknya dia nggak.
“Sil, ke rumah Tio dulu.” Kata gue ke Sisil yang duduk di kursi sopir. Keningnya berkerut.
 “Kenapa? Langsung ke kampus aja ya?” usulnya.
“Nggak, ke rumah Tio dulu. Gue ada perlu sama dia.”
Sepertinya dia nggak suka ide gue ini. “Langsung ke kampus saja ya?” Sisil mulai merajuk.
“Sil, ke rumah Tio dulu. Ini penting.” Tolak gue tegas. Dengan muka cemberut dia lalu menjalankan  mobilnya. Dia diam terus selama perjalanan, ngambek. Biarin saja, lagian sebenarnya gue nggak mau semobil sama dia doang. Ntar manjanya pasti kumat.
Sisil cewek yang cantik dan sexy, dulu pernah nembak gue pas kelas dua SMA, tapi gue tolak karena gue memang nggak suka dia. Dia nggak nyerah setelah gue tolak, dia terus ngejar-ngejar gue bahkan sampai memutuskan untuk kuliah di universitas dan jurusan yang sama kayak gue. Usahanya keras, jadi gue jadiin dia teman saja, nggak lebih. Gue kasian lihat dia terus-terusan mengikuti gue. Tapi ada untungnya juga sih buat gue. Disuruh ngapain aja dia mau. Kok dia mau ya gue gituin terus? Padahal gue sama sekali nggak ada niat jadi cowoknya bahkan gue nggak punya perasaan apa-apa ke dia.
“Lo pada ngapain ke rumah gue?” tanya Tio melihat gue dan Sisil ada di depan rumahnya. Sisil terus  diam, kayaknya dia masih ngambek. Matanya terus menatap ke depan tanpa menoleh ke Tio.
“Jemput lo.” Jawab gue cuek masih di dalam mobil. “Ayo cepetan masuk.”
“Iya, bentar. Gue ambil tas gue dulu.” Tio lari masuk ke dalam rumah.  Dari wajahnya gue tau kalau Tio sadar gue butuh bantuannya. Gue noleh sebentar ke Sisil, dia nggak mau melihat wajah gue, dia langsung memalingkan mukanya begitu dia sadar gue sedang memperhatikannya. Nih cewek kenapa sih? Ngambeknya lama banget. Biasanya gue lihatin gitu doang juga udah lumer lagi.
“Sil, thanks ya!” Tio berterimakasih pada Sisil begitu kami tiba di kampus. Dia turun dari mobil lalu pergi meninggalkan gue dan Sisil.
“Sil, lo masih marah ya?” tanya gue sambil melepas sabuk pengaman.
“Katanya ada perlu sama Tio, penting lagi, tapi dari tadi yang diomongin kok cuma game sih?” protesnya dengan wajah bete.
Itu cuma alasan Sil, biar gue nggak semobil sama lo doang, jawab gue dalam hati. “Jadi lo marah sama gue?” gue menunjukkan wajah melas plus bego. Biasanya Sisil akan luluh kalau gue sudah kayak gitu. “Lo udah nggak mau temenan ma gue lagi?”
Sisil keliatan salah tingkah. “Bu, bukannya gitu Ga, ta ..”
Gue segera potong kalimatnya “Yaudah, kalau gitu jangan marah lagi ya?” Sisil menatap gue lalu mengangguk, wajahnya melas banget. Gue menepuk pelan kepalanya lalu keluar dari mobil.
Kelas sudah lumayan ramai ketika gue masuk, tapi dosennya belum datang. Gue segera melempar tas punggung hitam gue ke kursi di sebelah Tio lalu duduk.
“Lo apain lagi si Sisil, Mr Playboy?” goda Tio, mengarahkan badannya ke gue lalu melihat Sisil yang duduk agak jauh di depan.
“Nggak gue apa-apain. Lagian lo tuh yang Mr Playboy!”
Tio menarik kursinya mendekat. “Lo ada niat jadiin Sisil pacar lo nggak?” dia memelankan suaranya. “Lo udah lama jomblo.”
Kening gue mengkerut. “Napa? Lo naksir Sisil?” gue heran dia tanya gitu. “Kok lo nggak ngomong ke gue?”
Tio mengibas-ngibaskan tangan kirinya. “Nggaklah! Mana mungkin dia mau sama cowok lain selain lo. Menurutnya di dunia ini nggak ada cowok selain lo! Kalau pun di dunia ini cowok yang ada tinggal lo sama Brad Pitt, udah pasti dia tetep milih lo. Dia udah cinta mati ma lo!”
“Emang sarap tuh cewek.” Komentar gue melihat punggung Sisil.
“Lo nggak kasian apa ma dia? Terima aja lagi Ga, lumayan khan, liat aja bodynya.” Tio menggerakkan kedua tangannya membentuk body gitar mengarah tepat di punggung Sisil. “Sexy abis! Dosen matematika yang katanya demen daun muda lagi ngincer dia juga lho.” lanjutnya semangat. “Lo nggak adem panas nih?”
“Biarin, bukan urusan gue.” Gue melihat Rendy masuk ke dalam kelas. “Sekarang pacar lo siapa Mr Playboy?” tanya gue ke Tio yang kayaknya mupeng melihat punggung Sisil yang  sexy. Sisil memang selalu memakai pakaian yang memperlihatkan kesexyannya. Sebuah hadiah untuk semua cowok yang melihatnya.
“Tika, temen adek gue, kelas dua SMA,” jawabnya tetap menatap punggung Sisil.
“Gila! Lo pacaran ma anak SMA, masih bau kencur!” kata gue lumayan keras. Beberapa anak menoleh ke arah kami. Beberapa anak cewek melihat Tio dengan  cekikikan.
“Lo malu-maluin aja!” Tio menjitak kepala gue, dia malu diketawain teman-teman karena ketahuan sedang pacaran dengan anak SMA. “Biarin aja, yang penting dia cakep.” katanya. “Jangan bilang lo nnggak mau sama Sisil karena lo masih suka ma mantan lo, si Cindy.” Tio mengalihkan pembicaraan.
“Sorry,” bantah gue. Cindy adalah cewek gue waktu kelas satu SMA. Dia sekelas terus selama tiga tahun sama gue waktu SMP. “Gue udah nggak mikirin dia lagi.”
“Yang bener?” Tio terlihat nggak percaya.
“Diem lo.”
“Yah, terserahlah, yang penting lo nggak guy aja,” katanya serius. “Gue bakal cari dukun buat musnahin lo kalau lo jadi homo.”
“Sarap lo!” kata gue keras. “Gue masih normal lagi.”
“Kali aja, lo khan udah lama banget jomblo. Udah gitu terus-terusan nolak cewek kayak Sisil.”
Tio ini serius banget kalau bicara soal hubungan dengan cewek. “Gue nggak bisa pacaran kayak yang lo lakuin.”
Rendy meengambil posisi duduk di depan gue. “Pagi, Bos!” sapanya menghadap gue. “Pagi, Yo!” Tio mengangguk. “Dosennya nggak dateng ya? Tau gitu mending tiduran aja di rumah.”
“Giamana hasil mata-mata lo?” tanya gue.
“Mata-mata?” Tio yang memang nggak tahu apa-apa terlihat penasaran. “Mata-mata apaan?” tanyanya.
“Mata-matain adek gue, dia tambah liar.” Jawab gue dan Tio manggut-mangut. Tio yang sohib gue dari SMA sudah tahu banyak tentang keluarga gue.
“Adek Bos biasanya abis sekolah jalan sendirian ke Perpustakaan Kartini, baca-baca novel atau komik terus pulang.” Lapor Rendy.
Gue sama Tio diam cukup lama menunggu kelanjutan laporannya. Rendy menatap gue dan Tio dengan tatapan heran.
“Kenapa Bos?”
“Terus?” Tio bersuara.
Rendy menarik tubuhnya sedikit ke belakang. “Ya sudah, terus pulang ke rumah Bos dan  nggak tau adek Bos ngapain aja di dalam rumah.”
“Gitu doang?” Tio kecewa. “Ah, nggak seru.”
Kayaknya gue pernah tahu perpustakaan itu, tapi di mana ya? “Perpustakaan apa tadi lo bilang?” tanya gue penasaran.
“Perpustakaan Kartini.”
“Di mana?”
“Apanya?”
“Tempatnya dodol!”
“Ooh...” Rendy manggut-manggut. “Di Jalan Kartini.”
Jalan Kartini? Itu khan...
 Kayaknya gue tahu apa yang dilakukan Faya di sana, tapi gue mesti mastiin dulu. Gue harus mastiin dugaan gue ini, sendiri.
“Eh, Bos, anak geng barat makin lama tambah berani aja ya.” Kata Rendy tiba-tiba. “Sayang banget gue nggak bisa ikut nonjoki mereka.” Dia mengayun-ayunkan tangannya yang dikepalkan.
“Bener tuh.” Tio setuju. “Kepala mereka tambah gede aja.”
Lalu pembicaraan kami berganti pada topik memanasnya hubungan antara geng timur dan geng barat. Mereka memang mulai berani. Mereka sudah berani mengakui daerah kami sebagai daerah mereka. Apa yang sebenarnya mereka rencanakan? Tapi yang pasti gue nggak bakal begitu saja menyerahkan daerah geng timur ke mereka.
Untung hari ini kuliah gue nggak sampai siang. Habis jam kuliah gue langsung minta Sisil nganterin gue ke SMA Erlangga. Ternyata sekolah belum bubar. Sisil memaksa untuk ikut menunggu Faya. Gue tadi bilang ke dia kalau gue mau jemput Faya lalu pergi makan siang bareng. Dia juga memaksa pingin ikut makan siang bareng. Langsung aja gue tolak mentah-mentah. Gue khan bohong, nggak mungkin gue biarin dia ikut. Dengan ngambek akhirnya dia mau juga ninggalin gue. Kayaknya dia marah lagi. Gawat juga sebenarnya, ntar nggak ada yang kasih tumpangan lagi ke gue. Tapi tenang saja, ntar pasti bisa gue buat nurut lagi.
Lumayan lama gue menunggu sampai akhirnya sekolah bubar juga. Gue ngumpet di telepon umum yang kelihatannya sudah nggak bisa di pakai lagi di depan sekolah dan mencari Faya diantara banyak anak SMA yang keluar.
Buset! Banyak banget yang keluar. Semua memakai seragam yang sama lagi. Kalau mereka pada pakai baju biasa kayak anak kuliahan khan enak carinya. Gimana cari Faya kalau kayak gini? Sabar, tajemin mata!
Sudah sekitar sepuluh menit gue buka lebar-lebar mata gue mencari Faya, tapi nggak ketemu juga. Mana sekolah sudah lumayan sepi lagi. Jangan-jangan dia sudah keluar tapi gue nggak tahu. Wah, gawat kalau gitu, usaha gue sia-sia dong hari ini.
Gue berjalan ke arah gerbang SMA Erlangga dan melihat ke dalam. Gue lihat anak cewek rambut panjang menunduk membersihkan kacamatanya sambil tersenyum,cewek itu tak lain adalah Faya. Gue langsung cari tempat untuk sembunyi di sebelah gerbang. Moga-moga dia tadi nggak lihat gue. Untung, sepertinya gue nggak ketahuan dan langsung berjalan keluar sekolah ke arah yang berlawanan dengan gue. Ini dia kesempatan gue!
Faya berjalan cukup cepat. Gue nggak nyangka dia bisa jalan secepat ini, mungkin juga karena hari ini lumayan panas. Gue aja sampai keringetan kayak gini. Gue perhatikan dari belakang, kayaknya dia lagi hepi. Biasanya dia kalau jalan ya jalan aja lurus ke depan nggak noleh ataupun berhenti. Tapi sekarang dia sedang berhenti dan mengelus-elus punggung kucing putih yang lagi tiduran di pinggir jalan. Memang ada hal yang menyenangkan baginya di sekolah?  Perasaan dia di sekolah juga nggak pernah hepi. Apa dia udah punya pacar? Kok gue nggak dikasih tau? Tapi dia khan nggak pernah cerita apa-apa ke gue. Bego!
Faya dan gue sekarang sudah ada di Jalan Kartini. Gue hafal banget jalan ini, tapi sudah lama  nggak ke sini. Faya melangkahkan kaki lagi, kali ini dia mengambil kaleng coca cola dan membuangnya ke tempat sampah. Gue yang bersembunyi di samping warung seafood cuma bisa bengong bloon melihatnya.
Faya? Buang sampah? Punya orang lain? Di pinggir jalan? Tunggu, ada apa dengan Faya? Apa dia beneran Faya? Kenapa adek gue jadi normal gitu? Atau malah jadi nggak normal?
Lalu Faya berjalan lagi dan berhenti di depan Perpustakaan Kartini sedangkan gue sembunyi di gapura tempat aneh kayak Pura Bali nggak jauh dari perpustakaan itu. Dia menoleh ke bangunan AT Mobil di seberang jalan. Gue menghembuskan nafas panjang. Ternyata dugaan gue tepat. Di sana tempat bokap gue kerja. Faya pasti ingin ketemu dia, Faya pasti kangen sama dia.
Gue perhatikan lagi dia masuk ke dalam perpus itu. Gue ikutin dia lagi. Dia sudah masuk ke dalam perpus saat gue di depan perpus. Gue menoleh ke arah AT Mobil lagi. Di lantai dua gedung itulah ruang kerja bokap gue. AT Mobil adalah cabang perusahaan milik keluarga terkaya di kota ini, keluarga Awan Tinggi yang disingkat AT, yang bekerja di bidang otomotif dan bidang lainnya. Dulu gue sering main ke sana ketika ortu gue lagi hebat-hebatnya ribut. Tapi sejak mereka resmi cerai, gue nggak pernah ke sana lagi.
Faya terus ada di dalam dan nggak keluar-keluar. Padahal gue sudah nunggu sekitar setengah jam di bangku yang ada di halaman depan perpus ini. Mendingan gue pulang saja. Daripada ntar ketauan bokap gue ada di sini. Bisa-bisa dia pikir gue kangen lagi ma dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar