FAYA
Bu
Yuli, guru Bahasa Indonesia, mengumumkan bahwa nanti, mungkin dua bulan lagi
atau entahlah belum ada kepastian, akan diadakan study tour ke universitas yang
ada di kota ini dan sekitarnya. Baik negeri ataupun swasta. Study tour ini
untuk semua siswa yang berminat.
Gue
tentu saja berminat. Tapi gue nggak norak seperti Andi yang dari tadi heboh
teriak-teriak saking senengnya di depan kelas. Gue jadi malu ngakuin dia dulu
mantan gue. Tapi sepertinya dia belum nentuin bakal ambil jurusan apa nanti.
“Faya,
ntar ikutan khan?” tanya Tina menghadap ke belakang, ke meja gue. Silvi teman
sebangku Tina ikut nimbrung.
Gue
mengangguk. “Gue ikut kok,” gue geser sedikit tubuh ke kanan biar tidak terlalu
dekat dengan Andi yang sudah kembali ke tempatnya, di sebelah kiri gue. Dia terus
bertanya pada Bu Yuli tentang study tour dengan suara keras, tambah norak.
Jarang banget dia bisa lepas kontrol kayak gini.
“Kalian
juga, khan?”
“Jelas
dong!” jawab Tina penuh semangat, Silvy hanya tersenyum.
“Ngomong-ngomong,
kamu kenapa sih, Ndi?” tanya Silvy ke Andi.
Andi
mengalihkan perhatiannya dari Bu Yuli ke Silvy. “Kenapa?” keningnya mengkerut.
“Biasanya
lo itu khan sopan, bisa jaga diri, sering kasih petuah, tapi sekarang kok kayak
banteng liar gitu.” Gue jelasin.
Andi
menggaruk bagian belakang kepalanya yang gue yakin sebenarnya nggak gatal. “Ya,
abis aku bingung mau kuliah apa nanti. Jadi aku pikir study tour ini bisa bantu
aku mutusin jurusan mana yang cocok buatku.”
“Jadi
lo belum tahu bakal ambil jurusan apa nanti?” Tina heran.
“Ya
gitu deh.” Andi keliatan salah tingkah sambil memegangi kacamatanya.
Gue
lihat Bu Yuli keluar dan kelas jadi rame kayak pasar malam. Tina melipat
tangannya di dada dan mengangkat kepalanya, bergaya seperti orang penting. “Gue
pikir lo udah tahu bakal ambil jurusan apa, Ndi. Gue nggak nyangka orang kayak
lo, yang penuh keyakinan dan percaya diri, bisa juga bingung soal masa depan.”
“Bener.”
gue setuju. “Orang pinter kayak lo, mantan ketua OSIS, penuh percaya diri sampe
narsis, seneng kasih petuah ke orang lain kayak ngasih petuah ke anak SD dan
bahkan bisa nyaranin temen lo buat ambil jurusan yang cocok buat dia, masih
bingung juga sama masa depan lo sendiri.”
Andi
kelihatan tambah aneh sampai wajahnya merah. Apa dia marah gue katain kayak
gitu? Dia melepas kacamatanya lalu membersihkannya dengan seragamnya. Gua liat
terus tingkahnya yang baru kali ini gue liat, mungkin ini juga yang pertama
buat Tina dan Silvy. Kelihatannya Andi malu campur marah dan juga bingung. “Mau
gimana lagi,” katanya sambil menatap kacamata ala Afghan di tangannya itu
dengan tatapan kosong. “Aku bener-bener bingung mau ambil jurusan apa ntar.”
“Udahlah
Ndi, tenang aja, banyak kok yang masih bingung kayak lo.” Tina mencoba
menghibur.
“Gue
juga belum tau ntar mau ambil jurusan apa.” Ujar gue cuek memperhatikan langkah
Bu Yuli yang kembali masuk kelas membawa tumpukan kertas. Pasti hasil ujian
dadakan kemarin.
Andi
memakai kacamatanya lagi. “Yang bener?” dia menatap gue nggak percaya,
seakan-akan dia sedang melihat hantu.
“Kamu juga masih bingung?”
“Gue
bukannya bingung, tapi belum tau mau masuk jurusan apa.” Mata gue nggak lepas
dari tumpukan kertas Bu Yuli yang sekarang diletakkan di meja guru.
“Itu
namanya bingung.” kata Silvy tersenyum simpul.
“Terserahlah.”
Gue liat Bu Yuli memberikan kertas itu ke Tina dan menyuruhnya untuk
membagikannya ke seluruh kelas. Gue dapat berapa kira-kira, gue harap lebih
bagus dari Lintang.
“Gini,
biar aku jelasin gejala bingung teman-teman seangkatan kita yang udah mau
nerusin ke perguruan tinggi,” dari tampang dan gaya bicaranya, Andi pasti sudah
bangkit dari kubur dan kembali memberi ceramah dengan gaya pemimpinnya. Silvy
menyimaknya dengan sungguh-sungguh tapi gue sama sekali nggak peduli. Mata gue
terus mengikuti langkah Tina yang sekarang memberikan kertas ulangan pada si
BBB alias Big Baby Bimo, dia dapat julukan begitu karena badannya gede banget
tapi kelakuan masih kayak anak kecil, yang duduk di bangku paling belakang.
Sepertinya nilai Bimo jelek, karena begitu menerimanya, kertas ulangan itu
langsung dia sobek. Ekstrim banget tuh anak.
Gara-gara
ngeliatin Bimo gue jadi kehilangan jejak Tina. Di mana dia? Di belakang nggak
ada. Di dekat meja Bu Yuli juga nggak ada, di ma...
“Selamat
Faya, nilai lo bagus.” kata Tina sambil meletakkan kertas ulangan gue di bangku
dari sebelah gue. Ternyata dia di sini.
“Makasih.”
gue berterima kasih sambil betulin letak kacamata dan Tina pergi meneruskan
tugasnya. Gue heran sendiri gue bisa deg-degan kayak gini. Delapan puluh
pas....
“Dapat
berapa, Fay?” tanya Andi melihat kertas ujian gue yang gue pegang erat pada
salah satu ujungnya.
“Ujian
Bahasa Indonesia dadakan dan sulit banget itu kamu dapat nilai delapan puluh,
Ya, wah...hebat banget!” Silvy memuji.
Tapi gue tetap kecewa karena gue nggak bisa ngalahin Lintang. Lagi, entah untuk
keberapa kalinya.
“Gue
ke toilet dulu.” Kata gue saat Tina memberikan kertas ujian Silvy yang sempat gue liat dapat nilai
enam puluh dua.
======
Sepulang sekolah seperti biasa gue nggak
langsung pulang ke rumah.
Gue
berjalan menuju Perpustakaan Kartini. Siang ini rasanya panas sekali, tapi gue
males ngangkot. Di dalem angkot pasti tambah panas lagi. Dan gue juga males
kalau harus liat pencopetan lagi kayak dulu. Begitu belok masuk Jl. Kartini gue
merasakan kelegaan karena jalan ini sepi, agak sempit tapi teduh. Gue suka
jalan di sini. Kebanyakan kendaraan yang lewat sini juga kendaraan kecil,
seperti mobil pribadi, sepeda, dan sepeda motor, angkot dilarang lewat sini.
Gue
melewati warung PKL aneka seafood. Hmm, baunya lumayan tapi gue belum lapar.
Gue lihat di dalam warung itu hanya ada dua orang bapak-bapak yang makan
kepiting rebus dengan rakusnya. Pasti mereka ingin memperbesar perut mereka,
dasar. Gue terus berjalan tapi mata gue tetap mengamati warung itu. Lalu
tiba-tiba mata gue menangkap sosok seorang cowok yang berjalan di belakang gue.
Jarak kami kira-kira cuma lima langkah, dan begitu dia sadar gue melihatnya,
dia langsung menundukkan kepala, lari
kecil dan masuk ke warung seafood itu. Sikapnya seolah-olah dia baru saja
tertangkap basah oleh polisi.
Sepertinya
pernah tahu cowok tadi, tapi di mana?
Sekarang
gue melangkahkan kaki di depan Rumah Awan yang bentuknya aneh seperti rumah
kebanyakan yang ada di Bali. Gue tahu namanya karena ada papan gede di atas
dinding berwarna merah bata yang ada tulisannya, Rumah Awan. Gue belum pernah
masuk ke sana tapi gue rasa itu tempat para pelukis karena tiap kali lewat gue
selalu lihat ada beberapa orang yang sedang melukis. Ditambah lagi tempat ini
bau cat, gue nggak terlalu suka baunya. Di sebelahnya terdapat rumah yang besar
banget. Rumah orang kaya pastinya. Oh ya, Rumah Awan ini diapit dua rumah, yang
satu kecil yang satunya besar banget.
Di
sebelah rumah yang gede inilah tempat Perpustakaan Kartini. Gue berhenti sebentar
sebelum masuk ke dalam, mengamati gedung AT Mobil yang ada di seberang jalan,
seperti biasa. Di depan perpustakaan ini ada restotan masakan padang yang cukup
besar dan disebelahnya adalah AT Mobil.
Samar-samar
gue dengar seseorang ikut berhenti berjalan saat gue menghentikan langkah dan
begitu gue noleh ke belakang, nggak ada siapa-siapa. Yang ada hanya kucing
pirang sedang makan tulang ikan di pinggir jalan lalu gue rasakan angin
berhembus menerpa tubuh gue saat sebuah mobil Honda Jazz hitam lewat. Angin
tadi menyadarkan gue untuk segera masuk perpustakaan, kalau terlalu lama diluar
dan ketahuan bokap bisa gawat.
Gue
langsung masuk ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dulu gue ambil
gitu aja tanpa liat judulnya. Harry
Potter and the Half Blood Prince.
Lalu gue ambil komik Doraemon
Petualangan: Legenda Raja Matahari. Gue sedikit heran, di perpustakaan umum
ini ada cukup banyak komik, sesuatu yang jarang gue temuin di perpustakaan umum
lainnya.
Mbak
Lea dengan senyum misteriusnya seperti biasa, mencatat komik yang gue pinjam.
Sambil menunggu, pikiran gue melayang lagi ke cowok yang gue rasa pernah lihat
dan suara langkah kaki tadi. Mungkin suara yang gue dengar tadi hanya perasaan
gue saja atau mungkin juga itu suara kucing tadi.
Apa
yang sedang dilakukan Bokap sekarang? Itulah yang sedang ada di pikiran gue
sekarang. Mungkin dia sedang makan siang dengan Lintang Yang Lain. Wanita itu
sebenarnya baik, tapi… nggak! Kelakuannya itu nggak bisa dikatakan baik, dia
sok baik, sok jadi pahlawan.
Dulu
waktu bokap nyokap lagi ribut hebat, gue sering main ke kantor bokap dan dia
selalu berusaha ngambil hati gue dengan sering ngajak main. Saat itu gue kelas
lima dan Yoga kelas satu SMP. Gue nggak butuh mainan, dia, dan juga nyokap. Gue
cuma mau bokap. Lalu mereka akhirnya cerai saat gue kelas tiga SMP.
Setelah
mereka resmi cerai dan gue sama Yoga tinggal di rumah Kakek Nenek, dia sering
datang ke rumah. Membawa banyak makanan yang pasti langsung dihabisin Yoga.
Sepertinya Yoga sudah nerima dia di kehidupannya. Sebenarnya gue nggak mau
orangtua gue cerai, setiap anak di dunia ini paasti berpikiran sama kayak gue,
tapi kalau melihat kelakuan nyokap, gue milih apa yang dipilih bokap, gue
setuju mereka cerai meskipun rasanya berat banget. Sudahlah, mengingat itu
semua hanya bikin uring-uringan saja.
Lagipula,
kenapa juga gue bisa sempat mikir kalau Lintang Yang Lain itu orang baik?
========
Pagi
ini gue males banget sekolah. Nggak tau kenapa, yang jelas gue males ketemu
semua orang yang ada di sekolah. Andi yang selalu kasih ceramah, pembantu
Lintang si Nana dan tentu saja Lintang. Hanya dengan melihat mereka gue pasti
jadi uring-uringan. Belum lagi Tina dan Silvy yang selalu pingin tau urusan
gue. Tanya ini tanya itu, menyebalkan. Apa mereka nggak punya urusan yang lebih
penting daripada ingin tahu urusan orang lain? Lebih baik mereka gunakan waktu
luang mereka untuk belajar supaya nilai mereka bisa naik.
Pintu
kamar diketuk dua kali lalu gue denger Yoga ngomong, “Ya, gue masuk ya?”
Mau
ngapain dia? “Bentar.” Gue turun dari kasur empuk gue dan membuka kunci pintu.
Yoga sudah rapi, dia memakai jins belelnya, kaos putih dan jumper hitam.
“Mau
ngapain?” tanya gue kembali naik kasur.
Yoga
duduk di kursi meja belajar gue. “Lo nggak sekolah? Ini udah jam setengah tujuh
tapi lo belum turun juga.”
“Gue
males.” Jawab gue sambil menarik selimut, menyelimuti kaki telanjang gue.
“Lo
udah bikin Nenek khawatir.” Yoga mengambil komik Doraemon yang kemarin gue
pinjem diantara buku gue yang berserakan di meja belajar. “Lo harus sekolah.”
Katanya sambil membolak-balikkan komik itu.
“Nggak.”
“Lo
nggak punya alasan buat bolos. Sakit aja nggak.” Dia mengembalikan komik
Doraemon itu dan memperhatikan meja belajar gue yang berantakan. Dia sama
sekali tidak menghadap ke arah gue.
“Memang
lo siapa?” kalimat gue barusan seperti menusuknya. Dia langsung memandang gue.
“Gue nggak mau nurutin perintah lo.” Sejak ortu gue cerai, Yoga beranggapan
kalo dia pemimpin di keluarga ini dan berhak ngatur hidup gue. Hal itu yang
buat gue bilang dia sok pahlawan, pingin jadi pahlawan buat gue. Sayang sekali,
nggak bakal ada yang boleh jadi pahlawan di kehidupan gue. Kami saling tatap sebentar. Gue nggak suka
diperintahnya.
“Yaudah
kalo gitu, ntar gue bilang aja ke bokap kalo lo berubah pikiran dan pingin
tinggal sama nyokap.”
Bokap
pasti percaya sama omongannya. Dari dulu Yoga memang selalu jadi anak yang
terpercaya. Yoga brengsek!
Dia
ngeluarin HP dari saku jinsnya lalu memencet-mencetnya.
Nggak,
gue nggak mau serumah sama nyokap.
“OK!”
akhirnya gue teriak keras dan turun dari kasur dengan cepat. “Gue sekolah!
Puas?!” Yoga memasang tampang bloon dan memasukkan lagi HPnya ke saku jins. Gue
membuka lemari baju dan mengambil seragam. “Tapi gue nggak mau naik bus!”
“Tenang,
di bawah udah ada Sisil,” kata Yoga santai. Gue tutup lemari dengan keras.
“Ntar jangan buat dia nangis lagi ya?” lanjutnya dengan senyum lebar sambil
keluar kamar.
“Tutup
pintunya!”
========
Akhirnya
selesai juga perjalanan menyebalkan ke sekolah hari ini. Setengah jam yang
menyebalkan bersama serigala berbulu domba Sisil.
“Faya,
kamu ke guru piket dulu.” Kata Pak Imron, guru Matematika dengan alis lebat dan
perutnya yang tambah buncit. Heran, dimana-mana orang makin tua perutnya malah
tambah buncit saja.
Karena
gue telat hampir setengah jam, gue mengiyakan perintah Pak Imron dan langsung
berjalan menuju guru piket di ujung ruang guru.
Tadi
bener-bener menyebalkan, satu mobil sama Yoga dan Sisil. Meskipun gue di jok
belakang dan nggak terlalu ikut nimbrung ngobrol tetep saja menyebalkan. Sisil
itu naksir Yoga sejak SMA. Pas Yoga masih punya pacar dia sudah naksir. Dia
bahkan mutusin masuk universitas yang sama dengan Yoga, bahkan jurusan yang dia
pilih juga sama, akuntansi. Padahal Yoga nggak pernah nunjukin sinyal suka pada
Sisil.
Gila.
Cuma
itu yang keluar dari mulut gue saat gue tahu itu. Dan langsung saja gue bilang
kalau sesuka ataupun secinta apapun ke cowok nantinya gue nggak bakal ngelakuin
hal gila kayak Sisil. Gue bakal tetep cari potensi dan keinginan gue untuk masa
depan. Lagipula Yoga belum tentu senang dengan keputusannya. Itu namanya bego.
Mana ada cowok yang suka cewek bego. Mendengar semua itu Sisil langsung nangis.
Dasar cengeng.
Biarin
saja. Mau sampai kapan dia mau kayak gitu. Padahal Yoga sudah nolak dia berkali-kali,
meskipun secara nggak langsung, tapi
tetap saja dia nggak kapok. Salahnya sendiri. Tadi di mobil Sisil juga dengan
semangat ngajakin Yoga ngobrol tapi Yoganya nggak antusias. Gue juga diajakin
ngobrol, tapi gue milih diam saja, daripada ntar dia nangis lagi. Gue juga yang
bakal repot, dimarahin Yoga dan nggak bisa sekolah karena sopirnya nangis.
Tapi
gila juga Yoga, menurut gue dia manfaatin Sisil yang sudah pasti bersedia
ngelakuin apapun demi dia. Kalau urusan kayak gini dia pintar.
Di
lorong menuju ruang guru gue lihat Nana bersama Lintang berjalan di depan gue
memakai seragam olahraga. Lusa gue juga ada pelajaran olahraga. Gue
memperlambat langkah agar bisa dengar apa yang mereka berdua bicarakan.
“Aku
seneng banget Pak Heru hari ini nggak masuk.” kata Lintang sambil meregangkan
tangannya ke atas. Pak Heru itu guru olahraga kami.
Nana
melipat lengan seragam olahraganya yang kepanjangan, karena tubuhnya kecil,
hingga ke siku.”Iya, tumben banget tuh guru nggak masuk. Kenapa ya?”
Lintang
hanya menggeleng lalu Nana berkata. “Eh, Lin, kamu menang lagi lho!”
“Menang
apaan?”
“Menang
dari si Faya. Kata Andi, ujian dadakan Bahasa Indonesianya cuma dapet delapan
puluh.”
Lintang
ber-oh panjang. “Faya itu kapan kapoknya sih? Udah tau nggak bakal bisa menang dari
aku. Aku khan lebih pinter dari dia, dia nggak ada apa-apanya dibanding aku.”
Ujarnya sombong. Lalu mereka terus berjalan menuju kantin sedangkan gue ke
ruang guru.
Tambah
sombong saja dia. Rasanya darah gue semua ada di kepala. Dia ngatain gue bego!
Lihat
aja pembalasan gue nanti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar