Jumat, 05 September 2014

Rumah Awan : 7 - Faya

FAYA

Bu Yuli, guru Bahasa Indonesia, mengumumkan bahwa nanti, mungkin dua bulan lagi atau entahlah belum ada kepastian, akan diadakan study tour ke universitas yang ada di kota ini dan sekitarnya. Baik negeri ataupun swasta. Study tour ini untuk semua siswa yang berminat.
Gue tentu saja berminat. Tapi gue nggak norak seperti Andi yang dari tadi heboh teriak-teriak saking senengnya di depan kelas. Gue jadi malu ngakuin dia dulu mantan gue. Tapi sepertinya dia belum nentuin bakal ambil jurusan apa nanti.
“Faya, ntar ikutan khan?” tanya Tina menghadap ke belakang, ke meja gue. Silvi teman sebangku Tina ikut nimbrung.
Gue mengangguk. “Gue ikut kok,” gue geser sedikit tubuh ke kanan biar tidak terlalu dekat dengan Andi yang sudah kembali ke tempatnya, di sebelah kiri gue. Dia terus bertanya pada Bu Yuli tentang study tour dengan suara keras, tambah norak. Jarang banget dia bisa lepas kontrol kayak gini.
“Kalian juga, khan?”
“Jelas dong!” jawab Tina penuh semangat, Silvy hanya tersenyum.
“Ngomong-ngomong, kamu kenapa sih, Ndi?” tanya Silvy ke Andi.
Andi mengalihkan perhatiannya dari Bu Yuli ke Silvy. “Kenapa?” keningnya mengkerut.
“Biasanya lo itu khan sopan, bisa jaga diri, sering kasih petuah, tapi sekarang kok kayak banteng liar gitu.” Gue jelasin.
Andi menggaruk bagian belakang kepalanya yang gue yakin sebenarnya nggak gatal. “Ya, abis aku bingung mau kuliah apa nanti. Jadi aku pikir study tour ini bisa bantu aku mutusin jurusan mana yang cocok buatku.”
“Jadi lo belum tahu bakal ambil jurusan apa nanti?” Tina heran.
“Ya gitu deh.” Andi keliatan salah tingkah sambil memegangi kacamatanya.
Gue lihat Bu Yuli keluar dan kelas jadi rame kayak pasar malam. Tina melipat tangannya di dada dan mengangkat kepalanya, bergaya seperti orang penting. “Gue pikir lo udah tahu bakal ambil jurusan apa, Ndi. Gue nggak nyangka orang kayak lo, yang penuh keyakinan dan percaya diri, bisa juga bingung soal masa depan.”
“Bener.” gue setuju. “Orang pinter kayak lo, mantan ketua OSIS, penuh percaya diri sampe narsis, seneng kasih petuah ke orang lain kayak ngasih petuah ke anak SD dan bahkan bisa nyaranin temen lo buat ambil jurusan yang cocok buat dia, masih bingung juga sama masa depan lo sendiri.”
Andi kelihatan tambah aneh sampai wajahnya merah. Apa dia marah gue katain kayak gitu? Dia melepas kacamatanya lalu membersihkannya dengan seragamnya. Gua liat terus tingkahnya yang baru kali ini gue liat, mungkin ini juga yang pertama buat Tina dan Silvy. Kelihatannya Andi malu campur marah dan juga bingung. “Mau gimana lagi,” katanya sambil menatap kacamata ala Afghan di tangannya itu dengan tatapan kosong. “Aku bener-bener bingung mau ambil jurusan apa ntar.”
“Udahlah Ndi, tenang aja, banyak kok yang masih bingung kayak lo.” Tina mencoba menghibur.
“Gue juga belum tau ntar mau ambil jurusan apa.” Ujar gue cuek memperhatikan langkah Bu Yuli yang kembali masuk kelas membawa tumpukan kertas. Pasti hasil ujian dadakan kemarin.
Andi memakai kacamatanya lagi. “Yang bener?” dia menatap gue nggak percaya, seakan-akan  dia sedang melihat hantu. “Kamu juga masih bingung?”
“Gue bukannya bingung, tapi belum tau mau masuk jurusan apa.” Mata gue nggak lepas dari tumpukan kertas Bu Yuli yang sekarang diletakkan di meja guru.
“Itu namanya bingung.” kata Silvy tersenyum simpul.
“Terserahlah.” Gue liat Bu Yuli memberikan kertas itu ke Tina dan menyuruhnya untuk membagikannya ke seluruh kelas. Gue dapat berapa kira-kira, gue harap lebih bagus dari Lintang.
“Gini, biar aku jelasin gejala bingung teman-teman seangkatan kita yang udah mau nerusin ke perguruan tinggi,” dari tampang dan gaya bicaranya, Andi pasti sudah bangkit dari kubur dan kembali memberi ceramah dengan gaya pemimpinnya. Silvy menyimaknya dengan sungguh-sungguh tapi gue sama sekali nggak peduli. Mata gue terus mengikuti langkah Tina yang sekarang memberikan kertas ulangan pada si BBB alias Big Baby Bimo, dia dapat julukan begitu karena badannya gede banget tapi kelakuan masih kayak anak kecil, yang duduk di bangku paling belakang. Sepertinya nilai Bimo jelek, karena begitu menerimanya, kertas ulangan itu langsung dia sobek. Ekstrim banget tuh anak.
Gara-gara ngeliatin Bimo gue jadi kehilangan jejak Tina. Di mana dia? Di belakang nggak ada. Di dekat meja Bu Yuli juga nggak ada, di ma...
“Selamat Faya, nilai lo bagus.” kata Tina sambil meletakkan kertas ulangan gue di bangku dari sebelah gue. Ternyata dia di sini.
“Makasih.” gue berterima kasih sambil betulin letak kacamata dan Tina pergi meneruskan tugasnya. Gue heran sendiri gue bisa deg-degan kayak gini. Delapan puluh pas....
“Dapat berapa, Fay?” tanya Andi melihat kertas ujian gue yang gue pegang erat pada salah satu ujungnya.
“Ujian Bahasa Indonesia dadakan dan sulit banget itu kamu dapat nilai delapan puluh, Ya,  wah...hebat banget!” Silvy memuji. Tapi gue tetap kecewa karena gue nggak bisa ngalahin Lintang. Lagi, entah untuk keberapa kalinya.
“Gue ke toilet dulu.” Kata gue saat Tina memberikan kertas  ujian Silvy yang sempat gue liat dapat nilai enam puluh dua.
======
 Sepulang sekolah seperti biasa gue nggak langsung pulang ke rumah.
Gue berjalan menuju Perpustakaan Kartini. Siang ini rasanya panas sekali, tapi gue males ngangkot. Di dalem angkot pasti tambah panas lagi. Dan gue juga males kalau harus liat pencopetan lagi kayak dulu. Begitu belok masuk Jl. Kartini gue merasakan kelegaan karena jalan ini sepi, agak sempit tapi teduh. Gue suka jalan di sini. Kebanyakan kendaraan yang lewat sini juga kendaraan kecil, seperti mobil pribadi, sepeda, dan sepeda motor, angkot dilarang lewat sini.
Gue melewati warung PKL aneka seafood. Hmm, baunya lumayan tapi gue belum lapar. Gue lihat di dalam warung itu hanya ada dua orang bapak-bapak yang makan kepiting rebus dengan rakusnya. Pasti mereka ingin memperbesar perut mereka, dasar. Gue terus berjalan tapi mata gue tetap mengamati warung itu. Lalu tiba-tiba mata gue menangkap sosok seorang cowok yang berjalan di belakang gue. Jarak kami kira-kira cuma lima langkah, dan begitu dia sadar gue melihatnya, dia langsung menundukkan kepala,  lari kecil dan masuk ke warung seafood itu. Sikapnya seolah-olah dia baru saja tertangkap basah oleh polisi.
Sepertinya pernah tahu cowok tadi, tapi di mana?
Sekarang gue melangkahkan kaki di depan Rumah Awan yang bentuknya aneh seperti rumah kebanyakan yang ada di Bali. Gue tahu namanya karena ada papan gede di atas dinding berwarna merah bata yang ada tulisannya, Rumah Awan. Gue belum pernah masuk ke sana tapi gue rasa itu tempat para pelukis karena tiap kali lewat gue selalu lihat ada beberapa orang yang sedang melukis. Ditambah lagi tempat ini bau cat, gue nggak terlalu suka baunya. Di sebelahnya terdapat rumah yang besar banget. Rumah orang kaya pastinya. Oh ya, Rumah Awan ini diapit dua rumah, yang satu kecil yang satunya besar banget.
Di sebelah rumah yang gede inilah tempat Perpustakaan Kartini. Gue berhenti sebentar sebelum masuk ke dalam, mengamati gedung AT Mobil yang ada di seberang jalan, seperti biasa. Di depan perpustakaan ini ada restotan masakan padang yang cukup besar dan disebelahnya adalah AT Mobil.
Samar-samar gue dengar seseorang ikut berhenti berjalan saat gue menghentikan langkah dan begitu gue noleh ke belakang, nggak ada siapa-siapa. Yang ada hanya kucing pirang sedang makan tulang ikan di pinggir jalan lalu gue rasakan angin berhembus menerpa tubuh gue saat sebuah mobil Honda Jazz hitam lewat. Angin tadi menyadarkan gue untuk segera masuk perpustakaan, kalau terlalu lama diluar dan ketahuan bokap bisa gawat.
Gue langsung masuk ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dulu gue ambil gitu aja tanpa liat judulnya. Harry Potter and the Half Blood Prince.  Lalu gue ambil komik Doraemon Petualangan: Legenda Raja Matahari. Gue sedikit heran, di perpustakaan umum ini ada cukup banyak komik, sesuatu yang jarang gue temuin di perpustakaan umum lainnya.
Mbak Lea dengan senyum misteriusnya seperti biasa, mencatat komik yang gue pinjam. Sambil menunggu, pikiran gue melayang lagi ke cowok yang gue rasa pernah lihat dan suara langkah kaki tadi. Mungkin suara yang gue dengar tadi hanya perasaan gue saja atau mungkin juga itu suara kucing tadi.
Apa yang sedang dilakukan Bokap sekarang? Itulah yang sedang ada di pikiran gue sekarang. Mungkin dia sedang makan siang dengan Lintang Yang Lain. Wanita itu sebenarnya baik, tapi… nggak! Kelakuannya itu nggak bisa dikatakan baik, dia sok baik, sok jadi  pahlawan.
Dulu waktu bokap nyokap lagi ribut hebat, gue sering main ke kantor bokap dan dia selalu berusaha ngambil hati gue dengan sering ngajak main. Saat itu gue kelas lima dan Yoga kelas satu SMP. Gue nggak butuh mainan, dia, dan juga nyokap. Gue cuma mau bokap. Lalu mereka akhirnya cerai saat gue kelas tiga SMP.
Setelah mereka resmi cerai dan gue sama Yoga tinggal di rumah Kakek Nenek, dia sering datang ke rumah. Membawa banyak makanan yang pasti langsung dihabisin Yoga. Sepertinya Yoga sudah nerima dia di kehidupannya. Sebenarnya gue nggak mau orangtua gue cerai, setiap anak di dunia ini paasti berpikiran sama kayak gue, tapi kalau melihat kelakuan nyokap, gue milih apa yang dipilih bokap, gue setuju mereka cerai meskipun rasanya berat banget. Sudahlah, mengingat itu semua hanya bikin uring-uringan saja.
Lagipula, kenapa juga gue bisa sempat mikir kalau Lintang Yang Lain itu orang baik?
========
Pagi ini gue males banget sekolah. Nggak tau kenapa, yang jelas gue males ketemu semua orang yang ada di sekolah. Andi yang selalu kasih ceramah, pembantu Lintang si Nana dan tentu saja Lintang. Hanya dengan melihat mereka gue pasti jadi uring-uringan. Belum lagi Tina dan Silvy yang selalu pingin tau urusan gue. Tanya ini tanya itu, menyebalkan. Apa mereka nggak punya urusan yang lebih penting daripada ingin tahu urusan orang lain? Lebih baik mereka gunakan waktu luang mereka untuk belajar supaya nilai mereka bisa naik.
Pintu kamar diketuk dua kali lalu gue denger Yoga ngomong, “Ya, gue masuk ya?”
Mau ngapain dia? “Bentar.” Gue turun dari kasur empuk gue dan membuka kunci pintu. Yoga sudah rapi, dia memakai jins belelnya, kaos putih dan jumper hitam.
“Mau ngapain?” tanya gue kembali naik kasur.
Yoga duduk di kursi meja belajar gue. “Lo nggak sekolah? Ini udah jam setengah tujuh tapi lo belum turun juga.”
“Gue males.” Jawab gue sambil menarik selimut, menyelimuti kaki telanjang gue.
“Lo udah bikin Nenek khawatir.” Yoga mengambil komik Doraemon yang kemarin gue pinjem diantara buku gue yang berserakan di meja belajar. “Lo harus sekolah.” Katanya sambil membolak-balikkan komik itu.
“Nggak.”
“Lo nggak punya alasan buat bolos. Sakit aja nggak.” Dia mengembalikan komik Doraemon itu dan memperhatikan meja belajar gue yang berantakan. Dia sama sekali tidak menghadap ke arah gue.
“Memang lo siapa?” kalimat gue barusan seperti menusuknya. Dia langsung memandang gue. “Gue nggak mau nurutin perintah lo.” Sejak ortu gue cerai, Yoga beranggapan kalo dia pemimpin di keluarga ini dan berhak ngatur hidup gue. Hal itu yang buat gue bilang dia sok pahlawan, pingin jadi pahlawan buat gue. Sayang sekali, nggak bakal ada yang boleh jadi pahlawan di kehidupan gue.  Kami saling tatap sebentar. Gue nggak suka diperintahnya.
“Yaudah kalo gitu, ntar gue bilang aja ke bokap kalo lo berubah pikiran dan pingin tinggal sama nyokap.”
Bokap pasti percaya sama omongannya. Dari dulu Yoga memang selalu jadi anak yang terpercaya. Yoga brengsek!
Dia ngeluarin HP dari saku jinsnya lalu memencet-mencetnya.
Nggak, gue nggak mau serumah sama nyokap.
“OK!” akhirnya gue teriak keras dan turun dari kasur dengan cepat. “Gue sekolah! Puas?!” Yoga memasang tampang bloon dan memasukkan lagi HPnya ke saku jins. Gue membuka lemari baju dan mengambil seragam. “Tapi gue nggak mau naik bus!”
“Tenang, di bawah udah ada Sisil,” kata Yoga santai. Gue tutup lemari dengan keras. “Ntar jangan buat dia nangis lagi ya?” lanjutnya dengan senyum lebar sambil keluar kamar.
“Tutup pintunya!”
========
Akhirnya selesai juga perjalanan menyebalkan ke sekolah hari ini. Setengah jam yang menyebalkan bersama serigala berbulu domba Sisil.
“Faya, kamu ke guru piket dulu.” Kata Pak Imron, guru Matematika dengan alis lebat dan perutnya yang tambah buncit. Heran, dimana-mana orang makin tua perutnya malah tambah buncit saja. 
Karena gue telat hampir setengah jam, gue mengiyakan perintah Pak Imron dan langsung berjalan menuju guru piket di ujung ruang guru.
Tadi bener-bener menyebalkan, satu mobil sama Yoga dan Sisil. Meskipun gue di jok belakang dan nggak terlalu ikut nimbrung ngobrol tetep saja menyebalkan. Sisil itu naksir Yoga sejak SMA. Pas Yoga masih punya pacar dia sudah naksir. Dia bahkan mutusin masuk universitas yang sama dengan Yoga, bahkan jurusan yang dia pilih juga sama, akuntansi. Padahal Yoga nggak pernah nunjukin sinyal suka pada Sisil.
Gila.
Cuma itu yang keluar dari mulut gue saat gue tahu itu. Dan langsung saja gue bilang kalau sesuka ataupun secinta apapun ke cowok nantinya gue nggak bakal ngelakuin hal gila kayak Sisil. Gue bakal tetep cari potensi dan keinginan gue untuk masa depan. Lagipula Yoga belum tentu senang dengan keputusannya. Itu namanya bego. Mana ada cowok yang suka cewek bego. Mendengar semua itu Sisil langsung nangis. Dasar cengeng.
Biarin saja. Mau sampai kapan dia mau kayak gitu. Padahal Yoga sudah nolak dia berkali-kali, meskipun secara nggak langsung,  tapi tetap saja dia nggak kapok. Salahnya sendiri. Tadi di mobil Sisil juga dengan semangat ngajakin Yoga ngobrol tapi Yoganya nggak antusias. Gue juga diajakin ngobrol, tapi gue milih diam saja, daripada ntar dia nangis lagi. Gue juga yang bakal repot, dimarahin Yoga dan nggak bisa sekolah karena sopirnya nangis.
Tapi gila juga Yoga, menurut gue dia manfaatin Sisil yang sudah pasti bersedia ngelakuin apapun demi dia. Kalau urusan kayak gini dia pintar.
Di lorong menuju ruang guru gue lihat Nana bersama Lintang berjalan di depan gue memakai seragam olahraga. Lusa gue juga ada pelajaran olahraga. Gue memperlambat langkah agar bisa dengar apa yang mereka berdua bicarakan.
“Aku seneng banget Pak Heru hari ini nggak masuk.” kata Lintang sambil meregangkan tangannya ke atas. Pak Heru itu guru olahraga kami.
Nana melipat lengan seragam olahraganya yang kepanjangan, karena tubuhnya kecil, hingga ke siku.”Iya, tumben banget tuh guru nggak masuk. Kenapa ya?”
Lintang hanya menggeleng lalu Nana berkata. “Eh, Lin, kamu menang lagi lho!”
“Menang apaan?”
“Menang dari si Faya. Kata Andi, ujian dadakan Bahasa Indonesianya cuma dapet delapan puluh.”
Lintang ber-oh panjang. “Faya itu kapan kapoknya sih? Udah tau nggak bakal bisa menang dari aku. Aku khan lebih pinter dari dia, dia nggak ada apa-apanya dibanding aku.” Ujarnya sombong. Lalu mereka terus berjalan menuju kantin sedangkan gue ke ruang guru.
Tambah sombong saja dia. Rasanya darah gue semua ada di kepala. Dia ngatain gue bego!
Lihat aja pembalasan gue nanti!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar