Senin, 15 September 2014

Rumah Awan : 11 - Yoga



YOGA

Kemarin gue ngikutin Faya sampai di depan Perpustakaan Kartini yang ternyata nggak jauh dari tempat kerja bokap. Gue belum sepenuhnya tau apa yang dilakukan Faya, gue nggak ikut masuk ke dalam perpustakaan itu. Karena masih penasaran, gue putuskan besok gue bakal ngikutin dia lagi. Gue bener-bener penasaran, apa yang sebenarnya dilakukannya di sana.
Dulu, saat bokap sama nyokap cerai, diputuskan hak asuh Faya ditangan nyokap sedangkan gue di bokap. Gue nggak tahu kenapa kami dipisahkan. Faya nangis keras banget dan nggak mau berhenti. Dia nggak mau tinggal bareng nyokap. Jelas saja dia nggak mau tinggal sama nyokap yang kerjanya cuma mabok dan mukulin dia. Bokap nggak ngelakuin apa-apa, dia itu tipe orang yang patuh pada peraturan, karena keputusannya seperti itu dia terima saja.
Waktu itu gue kasian lihat Faya lalu gue bilang saja kalau gue sama Faya milih tinggal sama Kakek Nenek dari bokap gue. Ternyata semua pihak setuju. Sejak saat itu gue nggak pernah ketemu nyokap. Bokap masih sering ke rumah bareng Tante Lintang, yang kayaknya calon pengganti nyokap. Gue sih terima saja kalau bokap nikah sama dia, tapi Faya keliatannya nggak setuju.
Bokap juga pernah bilang kalau suatu saat gue dan Faya berubah pikiran dan ingin tinggal bersama dia atau nyokap, tinggal bilang saja ke dia. Kalau gue tinggal dimana-mana pun sama saja, nggak ada pengaruhnya. Sama nyokap yang sering mabok atau bokap yang gila kerja. Tapi sekarang gue udah betah tinggal di rumah Kakek Nenek. Mereka perhatian sekali.
Waktu itu gue sadar satu hal, Faya berpikiran tolol. Memang dia masih kecil, jadi gue nggak bisa nyalahin dia. Dia selalu iri sama gue, dia ngerasa kalau bokap lebih sayang gue daripada dia. Dia belum ngerti masalah keputusan hakim dan tetek bengek tentang perceraian, dia pikir bokap sengaja milih gue dan ngasih dia ke nyokap.
Sebenarnya gue tahu apa yang ada di kepala Faya sampai dia ngelakuin semua ini. Masalah Faya itu adalah dirinya sendiri yang dia lampiaskan pada Tante Lintang. Dia hanya tidak bisa menerima kenyataan kalau Tante Lintang lebih baik dibanding nyokap yang tidak bisa jadi ibu yang baik. Dia ingin punya keluarga bahagia seperti kebanyakan teman-temannya tapi ternyata nyokap memang bukan ibu yang baik. Dan Faya nggak mau mengakui kelebihan Tante Lintang yang tidak dimiliki nyokap itu. Yang lebih penting sebenarnya, tanpa dia sadari atau nggak, dia ingin Tante Lintang itu jadi nyokapnya yang baru tapi dia gengsi untuk mengakuinya. Dia memang keras kepala.
Kalau dipikir-pikir, gue tahu gimana perasaan Faya karena gue juga ingin punya keluarga yang utuh. Tapi itu tidak mungkin lagi.
Begitu sadar, gue sudah berdiri di depan tempat kerja bokap kemarin, gue langsung memutuskan untuk cepat pulang. Gue nggak mau ketahuan terus dia beranggapan kalau gue sudah berubah pikiran dan ingin tinggal bareng dia, atau sama nyokap.
“Ga, jadi dianterin ke sekolah adek lo nggak?” Tio membuyarkan lamunan gue.
“Ayo.” Gue berdiri lalu kami pergi ke parkiran.
Tio masuk ke dalam mobilnya dan memakai sabuk pengaman. “Lo kenapa nggak minta anter si  Sisil?” tanyanya begitu gue masuk ke dalam mobil.
Gua duduk dan nggak memakai sabuk pengaman. “Males. Dia lagi ngambek, ntar gue mesti ngerayu dia dulu.”
Jalanan di kota siang ini tumben nggak begitu ramai, biasanya jam segini ramai banget sampai macet, tapi hari ini lumayan lenggang. Gue pikir tadi bakal macet, jadinya gue minta dianter lebih awal. Eh, ternyata jalannya kayak gini. Bakal lama nih nunggu bubar sekolah. Buang-buang waktu.
“Lo kok nggak minta dibeliin mobil ke bokap lo sih?” Tanya Tio membelokkan mobilnya.
“Lo  sama Sisil aja masih mau jadi sopir gue, kenapa juga gue butuh mobil?” canda gue.
“Anjing lo!” protes Tio. “Lo samain gue sama sopir! Tahu gitu gue nggak mau anterin lo. Cepetan turun!”
Gue tertawa melihat Tio marah-marah. “Becanda lagi, Yo!”
“Becanda lo nggak lucu!” Tio memasang muka marah.
“Gue males minta ke bokap, ntar gue ganggu kerjaannya lagi.” Jelas gue. Kali ini nggak becanda.
Tio tersenyum mendengar kata-kata gu barusan. “Lo tuh ya, gengsinya selangi. Dia itu khan bokap lo, kenapa juga mesti gengsi-gengsian?”
“Lo kayak nggak tau gue aja. Gue khan tipe orang yang benci merendahkan diri di depan orang lain.”
“Terserahlah.” HP Tio tiba-tiba mengeluarkan suara yang keras banget, Tio dan gue sampai melonjak karena kaget. Tio melihat layar HPnya.
“Cewek baru gue,” katanya nyengir. “Halo?”
Dan dimulailah aksi jurus racun buaya darat ala Tio. Temen gue yang satu ini memang jago banget menggaet cewek. Gue sampai nggak bisa ngikutin perjalanan cintanya. Baru saja gue ingat nama cewek barunya, Alexa, tapi ternyata sudah ganti lagi, Nia. Sekarang siapa nama cewek barunya? Rani, Diana, Poppy, Bunga? Nggak heran juga sih dia bisa kayak gitu, tampangnya emang cakep. Kata orang dia mirip Zac Effron. Tapi kalau gue liat-liat nggak juga. Lagian gue rasa si Zac itu nggak cakep-cakep amat, tapi kenapa cewek-cewek banyak yang suka dia ya?
Kalau gue males banget ngejar-ngejar atau cari cewek. Dulu gue pernah pacaran tapi putus gara-gara cewek gue sama keluarganya pindah ke luar negeri dan dia nggak mau hubungan jarak jauh. Gue sempat nolak keputusannya waktu itu, karena gue yakin gue bisa  menjalani hubungan jarak jauh. Tapi dia tetap ngotot dan akhirnya gue mengalah. Sempat down juga, tapi setelah gue pikirkan lagi di dunia ini cewek nggak cuma dia, masih banyak yang lain. Setelah kejadian itu gue belum pernah punya cewek lagi.
Akhirnya gue  tiba di sekolah Faya. “Thanks, Yo!” kata gue keluar dari mobil ke Tio yang masih asyik ketawa-tawa sama ceweknya. Sudah lima belas menitan mereka ngobrol dan selama itu juga gue bengong sendirian.
Sekarang gue berdiri sendirian nggak jelas di depan sekolah Faya. Sayang banget Tio lagi dapat telepon dari ceweknya, kalau nggak dia pasti gue suruh nemenin gue di sini. Jalan di sini nggak terlalu sepi, ada beberapa tukang ojek yang mangkal nggak jauh dari telepon umum, juga ada banyak orang yang jualan disepanjang jalan. Tapi tetap saja, nggak enak kalau sendirian kayak gini, nggak ada kegiatan yang berarti. Mana bubar sekolahnya masih lama lagi! Tau gitu mending gue ngerayu Sisil saja biar nggak ngambek lagi. Lumayan khan, bisa minta ditemenin Sisil daripada duduk sendirian di trotoar kayak orang bego.
Gue hampir ketiduran di bawah telepon umum saat bel bubar sekolah terdengar keras. Gue segera sadar dari kantuk dan mencari tempat yang cocok untuk sembunyi sekaligus mencari Faya.
Sial! Cewek yang keluar dari sekolah kayaknya mirip semua, seragam abu-abu putih, rambut panjang,  gimana gue bisa nemuin Faya? Tentu saja mereka memakai seragam abu-abu putih, mereka anak SMA! Kok lagi-lagi gue merasa jadi orang bego kayak gini. Apa dia bakal pulang belakangan kayak kemarin?
“Faya, jangan lupa surat study tournya ya!” tiba-tiba gue dengar seorang cewek berteriak di depan gerbang. Cewek tadi menyebutkan nama Faya, berarti dia ada di dekat situ. Benar saja, Faya sekarang berjalan menjauhi gerbang dan mukanya keliatan muram. Kenapa lagi tuh anak?
Gue melangkah dengan hati-hati menjaga jarak dari Faya. Dia beda dari kemarin, sepertinya dia sedang bad mood. Tadi ada anak kecil, mungkin masih SD, nabrak dia. Kalau gue liat sih, Faya yang salah, tapi dia malah marah-marah ke anak SD tadi. Ya jelas saja anak SD yang kalah gede itu cuma diam diomelinya, malah udah mau nangis lagi.
Faya berhenti di depan Perpustakaan Kartini, seperti kemarin, menatap gedung AT Mobil. Apa itu sudah jadi kebiasaannya? Lalu gue segera lari dan sembunyi di dalam tempat yang mirip pura kemarin. Gue nggak perhatian dengan apa yang ada di depan gue karena gue tetap fokus pada Faya, gue harap dia nggak bisa lihat gue di sini. Gara-gara nggak perhatian itu, gue nggak sengaja menabrak seorang cewek yang ada di dalam pura itu.
“Aduh!” cewek tadi dan gue mengaduh bareng. Cewek yang berdiri tepat di depan gue tadi menunduk.
“Sorry, nggak sengaja,” gue minta maaf.
Tiba-tiba dia menatap gue dengan tatapan aneh, marah mungkin, tapi gue cuekin. “Lo nggak papa, khan?” Gue melap keringat di pelipis lalu melihat ke luar pagar pura untuk melihat Faya. Siapa tau ntar dia tiba-tiba masuk ke sini. Gawat khan kalau gue ketahuan ngikuti dia!
“Lihat ini!” bentak cewek itu sambil menunjuk bajunya sendiri.
Gue liat baju gambar beruang Winnie the Poohnya. Kotor terkena cat yang mungkin ada di palet yang dibawanya. Kotor sekali.
Gue jadi merasa nggak enak melihat bajunya jadi kotor. “Oh, sorry,” gue minta maaf.
“Ini baju kesukaanku tahu!” bentaknya lebih keras. Gue buka mulut ingin minta maaf lagi tapi kalah cepat dengannya. “Kamu udah bikin rusak bajuku!”
“Tapi gue khan udah minta maaf!” kata gue sedikit membentak. Nih cewek kenapa sih bentak-bentak gue! Gue harus cepat pergi dari sini, tadi gue sempat lihat Faya sudah tidak ada di depan perpus, mungkin sudah masuk perpus itu, dan gue hari ini juga harus masuk ke sana.
Tiba-tiba gue dengar suara sesuatu terjatuh. Refleks gue menoleh ke belakang dan ternyata cewek tadi sudah nangis. “Lho, kok nangis?” tanya gue heran. Gawat, gue udah bikin cewek nangis. “Gue khan udah minta maaf, jangan nangis dong?”
Cewek itu menutup mukanya dengan kedua tangannya lalu berlari. Memangnya gue salah apa sih ke dia? Gue ambil paletnya dari tanah lalu berlari mengikutinya. Gue nggak bisa meninggalkan begitu saja cewek yang nangis gara-gara gue. Ya, meskipun gue rasa gue nggak salah, gue khan udah minta maaf.
Cewek itu berhenti dan duduk di lantai. Di depannya ada lukisan yang tidak jelas, kelihatannya belum jadi. Gue nggak tau itu lukisan apa, hanya banyak warna hitam  “Hei, udah dong nangisnya?” gue berkata lagi sambil berjalan mondar mandir. Gue bingung, gue salah apa sih? Kok dia masih nangis terus?
Bruk! Gue nggak sengaja menabrak lukisan itu hingga jatuh ke tanah. Waduh, gue sudah merusak lukisan orang, gimana nih? Siapa ya pelukisnya? Mungkin kalau bisa cepat pergi gue bisa selamat dan nggak perlu tanggung jawab ataupun kena marah. Tapi masalahnya, tiba-tiba cewek tadi malah tambah keras nangisnya!
“Aah!! Bisa berhenti nangis nggak sih lo!” teriak gue frustasi. Gue harus cepetan keluar dari sini!
Gue berdiri cukup lama menunggu dia berhenti nangis. Gue harap dia cepat berhenti nangis, biar dia bisa dengar permintaan maaf gue sekali lagi terus gue pergi. Gue rasa permintaan maaf gue dari tadi nggak dia dengerin, makanya dia juga nggak kasih maaf ke gue.
Akhirnya gue menyerah berdiri terus, capek juga, lalu jongkok di depannya. Gue juga masih terus menoleh ke  kanan kiri takut yang punya lukisan tadi tiba-tiba datang terus ngelabrak gue.
Nggak lama kemudian, cewek tadi berhenti senggukan lalu berdiri ninggalin gue yang masih jongkok. Hidung dan matanya merah. Gue jadi merasa nggak enak, gue pantang bikin cewek nangis. Gue lihat dia mengambil kuas yang ada di tanah dan juga palet yang tadi jatuh lalu pergi ke dalam. Lalu dia kembali dengan pipi yang kotor terkena noda cat dan dia kelihatan berantakan, dia terlihat tambah jelek. Dia mengambil tas selempangannya yang ada nggak jauh dari gue dan pergi meninggalkan gue begitu saja. Terus gue gimana?
“Hei, lo nggak maafin gue?” gue berlari mengejarnya. Dia mendelik sebentar lalu meninggalkan gue lagi. “Gue khan udah minta maaf!” kata gue kesal di sampingnya.
Dia tetap diam dan terus berjalan, gue tetap mengikutinya. Saat kami berjalan di depan perpus tempat Faya biasa datangi, gue menoleh ke dalam dengan cemas, takutnya Faya lihat gue. Setelah agak jauh dari perpus dan merasa aman, gue menghentikan langkah di depan cewek itu.
“Lo budek ato apa sih?” kata gue marah. “Hargain dong orang yang udah minta maaf ke lo!” Gila aja, baru kali ini gue minta maaf ke orang sampai berulang kali dan nggak dimaafin. Parahnya lagi, kenapa juga gue sampai mau ngelakuin ini?  Seorang Yoga harus rela mengejar-ngejar dan minta maaf sama anak ini hingga berkali-kali, ini khan sama saja dengan merendahkan harga diri gue!
“Aku nggak mau maafin kamu!” katanya tegas. Nah selamat, setelah merendahkan harga diri kayak gitu, gue nggak dimaafin!
“Emang gue salah apaan sih ke lo? Gue cuma nabrak lo khan?” gue membela diri.
“Cuma nabrak katamu?” cewek itu menunjuk bajunya. “Lalu ini apa?!”
Gue nggak pernah mengerti pola pikir cewek. Nyokap, Faya, Sisil, dan juga cewek ini. Bajunya cuma kotor khan?
“Baju lo kotor,”
“Kotor? Ini rusak tahu!”
Rusak? Kening gue mengkerut. “Iya, rusak. Ntar gue ganti.”
“Enak aja kamu ngomong gitu. Baju ini nggak ada gantinya di dunia ini!”
Cewek ini hiperbola banget, di mall khan ada banyak baju kayak gitu. ”Yaudah, ntar gue beliin sepuluh buat lo, gue kirim ke pura tadi.” Kata gue lalu pergi meninggalkannya. Baru saja gue melangkah sebentar dia tiba-tiba berteriak.
“HEI!”
Mau apa lagi dia? Sepuluh kurang? Dasar cewek!
“Apa lagi!?” teriak gue dongkol.
“Lukisanku gimana? Kamu juga harus ganti!”
Kening gue mengkerut lagi. “Lukisan? Lukisan yang mana?”
“Yang kamu jatuhin  tadi, jadi rusak tau!”
Ampun! Ternyata dia yang melukis lukisan nggak jelas tadi. Mati gue! Mending gue kabur saja sekarang. Gue langsung membalikkan badan membelakangi cewek itu.
“Kalau kamu nggak mau ganti, kamu aku laporin ke polisi!” 
Polisi? Dia nggak kenal gue khan?
“Aku serius, kamu nggak mau ganti aku laporin polisi!”
Gue menoleh sebentar dengan senyum mengejek. Tapi gue kaget banget karena dia sudah ada tepat di belakang gue dan mengangkat Hpnya di depan muka gue. Dia tersenyum penuh kemenangan.
“Aku sudah dapet fotomu,” dia tersenyum. “Aku punya om yang kerja di kepolisian, jadi aku bisa laporin kamu.”
“Memang gue ngapain lo, hah? Gue nggak ngapa-ngapain lo!”
“Nggak ngapa-ngapain? Enak aja! Kamu nabrak aku, bikin baju kesukaanku rusak, dan juga lukisanku! Kamu udah buat semuanya kacau!  
“Cuma itu? Itu nggak bisa lo jadiin alasan laporin gue ke polisi. Apalagi gue bakal ganti baju lo,” kata gue. “Juga lukisan lo!” tambah gue cepat-cepat.
Dia memasukkan Hpnya ke saku rok abu-abunya, gue baru sadar dia ini masih anak SMA, tapi sebelumnya dia memfoto dirinya sendiri dengan pose sangat mengenaskan. “Aku bisa bilang kalau kamu udah ngerusak karya orang tanpa tanggung jawab dan juga penganiayaan.”
Cewek ini nggak segoblok yang gue pikir.“Penganiayaan? Yang bener aja lo! Emang lo gue apain?”
“Inget, aku punya fotomu lho.” Dia mengancam. “Aku  punya bukti.”
“OK! Sekarang mau lo apa?” gue rasa lebih baik gue nurutin kemauan cewek ini dan masalah akan segera berakhir.
“Seperti katamu tadi, kamu harus ganti bajuku ini. Ingat, harus sepuluh dan juga lukisanku. Dan aku maunya harus sama, dan juga lukisanku.”
Dia seperti nenek sihir jahat yang ada di dongeng anak-anak. “Harus sama?” kalau bajunya pasti banyak di mall, dia pasti beli di mall. Tapi lukisannya? “Dimana gue bisa nemuin lukisan yang sama kayak punya lo tadi?”
“Mana aku tahu!”
Mulut gue terbuka lebar, ingin mengatakan kalau gue pasti nggak bisa nemuin lukisan yang sama, saat HP cewek itu berbunyi. Dia menerima telepon itu dengan wajah musam. Dia hanya diam, nggak bicara apa-apa, tapi matanya jadi berkaca-kaca. Kayaknya dia mau nangis lagi.
Dia memasukkan Hpnya ke saku rok sekolahnya lagi dan berjalan pergi sambil terus menunduk. Apa masalahnya udah beres dan gue bisa lepas tanggung jawab? Gue harap. Gue nggak mau punya masalah dengan polisi yang pasti buntutnya gue harus berurusan juga dengan ortu gue. Males banget kalau harus diceramahin bokap, apalagi nyokap. Anti banget gue!
TIIN!!
Sebuah mobil melaju cepat menuju arah cewek itu dan kayaknya dia nggak sadar. Gue segera lari dan menarik dia mundur. Kalau nggak dia pasti sudah ketabrak mobil tadi.
“WOY! ATI-ATI DONG!!”  sopir mobil tadi teriak menjauh.
Cewek itu masih menunduk dan benar dugaan gue, dia nangis. Gue yakin, kali ini bukan karena gue, pasti karena telepon tadi. Dia melepas tangan gue yang masih megang lengannya lalu berjalan menjauh. Dia tidak melihat ada batu besar di depannya dan dia jatuh tersandung batu itu. Gue menghampirinya dan membantunya berdiri.
“Lo nggak papa?” tanya gue.
Dia tidak menjawab pertanyaan gue dan terus berjalan hingga halte bus. Dia bahkan menabrak tiang halte bus karena masih terus menundukkan kepalanya Waduh, nih cewek pasti lagi eror. Kalau kayak gini dia nggak bisa selamat sampai rumah.
“Maklum Pak, dia sedang sakit,” kata gue ke seorang bapak-bapak yang menatapnya heran. “Gue anterin lo pulang, rumah lo di mana?” dia nggak menjawab dan terus berjalan, kepalanya  juga masih nunduk. Yaudah, akhirnya gue anterin dia pulang. Gue berjalan di sebelahnya. Gue sempat lihat dia beberapa kali mengusap pipinya yang penuh air mata.
Gue jadi penasaran, cewek ini normal atau nggak ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar