YOGA
Kemarin gue ngikutin Faya sampai di
depan Perpustakaan Kartini yang ternyata nggak jauh dari tempat kerja bokap.
Gue belum sepenuhnya tau apa yang dilakukan Faya, gue nggak ikut masuk ke dalam
perpustakaan itu. Karena masih penasaran, gue putuskan besok gue bakal ngikutin
dia lagi. Gue bener-bener penasaran, apa yang sebenarnya dilakukannya di sana.
Dulu, saat bokap sama nyokap cerai,
diputuskan hak asuh Faya ditangan nyokap sedangkan gue di bokap. Gue nggak tahu
kenapa kami dipisahkan. Faya nangis keras banget dan nggak mau berhenti. Dia
nggak mau tinggal bareng nyokap. Jelas saja dia nggak mau tinggal sama nyokap
yang kerjanya cuma mabok dan mukulin dia. Bokap nggak ngelakuin apa-apa, dia
itu tipe orang yang patuh pada peraturan, karena keputusannya seperti itu dia
terima saja.
Waktu itu gue kasian lihat Faya
lalu gue bilang saja kalau gue sama Faya milih tinggal sama Kakek Nenek dari
bokap gue. Ternyata semua pihak setuju. Sejak saat itu gue nggak pernah ketemu
nyokap. Bokap masih sering ke rumah bareng Tante Lintang, yang kayaknya calon
pengganti nyokap. Gue sih terima saja kalau bokap nikah sama dia, tapi Faya
keliatannya nggak setuju.
Bokap juga pernah bilang kalau
suatu saat gue dan Faya berubah pikiran dan ingin tinggal bersama dia atau
nyokap, tinggal bilang saja ke dia. Kalau gue tinggal dimana-mana pun sama
saja, nggak ada pengaruhnya. Sama nyokap yang sering mabok atau bokap yang gila
kerja. Tapi sekarang gue udah betah tinggal di rumah Kakek Nenek. Mereka
perhatian sekali.
Waktu itu gue sadar satu hal, Faya
berpikiran tolol. Memang dia masih kecil, jadi gue nggak bisa nyalahin dia. Dia
selalu iri sama gue, dia ngerasa kalau bokap lebih sayang gue daripada dia. Dia
belum ngerti masalah keputusan hakim dan tetek bengek tentang perceraian, dia
pikir bokap sengaja milih gue dan ngasih dia ke nyokap.
Sebenarnya gue tahu apa yang ada di
kepala Faya sampai dia ngelakuin semua ini. Masalah Faya itu adalah dirinya
sendiri yang dia lampiaskan pada Tante Lintang. Dia hanya tidak bisa menerima
kenyataan kalau Tante Lintang lebih baik dibanding nyokap yang tidak bisa jadi
ibu yang baik. Dia ingin punya keluarga bahagia seperti kebanyakan
teman-temannya tapi ternyata nyokap memang bukan ibu yang baik. Dan Faya nggak
mau mengakui kelebihan Tante Lintang yang tidak dimiliki nyokap itu. Yang lebih
penting sebenarnya, tanpa dia sadari atau nggak, dia ingin Tante Lintang itu
jadi nyokapnya yang baru tapi dia gengsi untuk mengakuinya. Dia memang keras
kepala.
Kalau dipikir-pikir, gue tahu
gimana perasaan Faya karena gue juga ingin punya keluarga yang utuh. Tapi itu
tidak mungkin lagi.
Begitu sadar, gue sudah berdiri di
depan tempat kerja bokap kemarin, gue langsung memutuskan untuk cepat pulang.
Gue nggak mau ketahuan terus dia beranggapan kalau gue sudah berubah pikiran
dan ingin tinggal bareng dia, atau sama nyokap.
“Ga, jadi dianterin ke sekolah adek
lo nggak?” Tio membuyarkan lamunan gue.
“Ayo.” Gue berdiri lalu kami pergi
ke parkiran.
Tio masuk ke dalam mobilnya dan
memakai sabuk pengaman. “Lo kenapa nggak minta anter si Sisil?” tanyanya begitu gue masuk ke dalam
mobil.
Gua duduk dan nggak memakai sabuk
pengaman. “Males. Dia lagi ngambek, ntar gue mesti ngerayu dia dulu.”
Jalanan di kota siang ini tumben
nggak begitu ramai, biasanya jam segini ramai banget sampai macet, tapi hari
ini lumayan lenggang. Gue pikir tadi bakal macet, jadinya gue minta dianter
lebih awal. Eh, ternyata jalannya kayak gini. Bakal lama nih nunggu bubar
sekolah. Buang-buang waktu.
“Lo kok nggak minta dibeliin mobil
ke bokap lo sih?” Tanya Tio membelokkan mobilnya.
“Lo
sama Sisil aja masih mau jadi sopir gue, kenapa juga gue butuh mobil?”
canda gue.
“Anjing lo!” protes Tio. “Lo samain
gue sama sopir! Tahu gitu gue nggak mau anterin lo. Cepetan turun!”
Gue tertawa melihat Tio marah-marah.
“Becanda lagi, Yo!”
“Becanda lo nggak lucu!” Tio
memasang muka marah.
“Gue males minta ke bokap, ntar gue
ganggu kerjaannya lagi.” Jelas gue. Kali ini nggak becanda.
Tio tersenyum mendengar kata-kata
gu barusan. “Lo tuh ya, gengsinya selangi. Dia itu khan bokap lo, kenapa juga
mesti gengsi-gengsian?”
“Lo kayak nggak tau gue aja. Gue
khan tipe orang yang benci merendahkan diri di depan orang lain.”
“Terserahlah.” HP Tio tiba-tiba
mengeluarkan suara yang keras banget, Tio dan gue sampai melonjak karena kaget.
Tio melihat layar HPnya.
“Cewek baru gue,” katanya nyengir.
“Halo?”
Dan dimulailah aksi jurus racun
buaya darat ala Tio. Temen gue yang satu ini memang jago banget menggaet cewek.
Gue sampai nggak bisa ngikutin perjalanan cintanya. Baru saja gue ingat nama
cewek barunya, Alexa, tapi ternyata sudah ganti lagi, Nia. Sekarang siapa nama
cewek barunya? Rani, Diana, Poppy, Bunga? Nggak heran juga sih dia bisa kayak
gitu, tampangnya emang cakep. Kata orang dia mirip Zac Effron. Tapi kalau gue
liat-liat nggak juga. Lagian gue rasa si Zac itu nggak cakep-cakep amat, tapi
kenapa cewek-cewek banyak yang suka dia ya?
Kalau gue males banget
ngejar-ngejar atau cari cewek. Dulu gue pernah pacaran tapi putus gara-gara
cewek gue sama keluarganya pindah ke luar negeri dan dia nggak mau hubungan
jarak jauh. Gue sempat nolak keputusannya waktu itu, karena gue yakin gue
bisa menjalani hubungan jarak jauh. Tapi
dia tetap ngotot dan akhirnya gue mengalah. Sempat down juga, tapi setelah gue
pikirkan lagi di dunia ini cewek nggak cuma dia, masih banyak yang lain.
Setelah kejadian itu gue belum pernah punya cewek lagi.
Akhirnya gue tiba di sekolah Faya. “Thanks, Yo!” kata gue
keluar dari mobil ke Tio yang masih asyik ketawa-tawa sama ceweknya. Sudah lima
belas menitan mereka ngobrol dan selama itu juga gue bengong sendirian.
Sekarang gue berdiri sendirian
nggak jelas di depan sekolah Faya. Sayang banget Tio lagi dapat telepon dari
ceweknya, kalau nggak dia pasti gue suruh nemenin gue di sini. Jalan di sini
nggak terlalu sepi, ada beberapa tukang ojek yang mangkal nggak jauh dari
telepon umum, juga ada banyak orang yang jualan disepanjang jalan. Tapi tetap
saja, nggak enak kalau sendirian kayak gini, nggak ada kegiatan yang berarti.
Mana bubar sekolahnya masih lama lagi! Tau gitu mending gue ngerayu Sisil saja
biar nggak ngambek lagi. Lumayan khan, bisa minta ditemenin Sisil daripada
duduk sendirian di trotoar kayak orang bego.
Gue hampir ketiduran di bawah
telepon umum saat bel bubar sekolah terdengar keras. Gue segera sadar dari
kantuk dan mencari tempat yang cocok untuk sembunyi sekaligus mencari Faya.
Sial! Cewek yang keluar dari
sekolah kayaknya mirip semua, seragam abu-abu putih, rambut panjang, gimana gue bisa nemuin Faya? Tentu saja
mereka memakai seragam abu-abu putih, mereka anak SMA! Kok lagi-lagi gue merasa
jadi orang bego kayak gini. Apa dia bakal pulang belakangan kayak kemarin?
“Faya, jangan lupa surat study
tournya ya!” tiba-tiba gue dengar seorang cewek berteriak di depan gerbang.
Cewek tadi menyebutkan nama Faya, berarti dia ada di dekat situ. Benar saja,
Faya sekarang berjalan menjauhi gerbang dan mukanya keliatan muram. Kenapa lagi
tuh anak?
Gue melangkah dengan hati-hati
menjaga jarak dari Faya. Dia beda dari kemarin, sepertinya dia sedang bad mood.
Tadi ada anak kecil, mungkin masih SD, nabrak dia. Kalau gue liat sih, Faya
yang salah, tapi dia malah marah-marah ke anak SD tadi. Ya jelas saja anak SD
yang kalah gede itu cuma diam diomelinya, malah udah mau nangis lagi.
Faya berhenti di depan Perpustakaan
Kartini, seperti kemarin, menatap gedung AT Mobil. Apa itu sudah jadi
kebiasaannya? Lalu gue segera lari dan sembunyi di dalam tempat yang mirip pura
kemarin. Gue nggak perhatian dengan apa yang ada di depan gue karena gue tetap
fokus pada Faya, gue harap dia nggak bisa lihat gue di sini. Gara-gara nggak
perhatian itu, gue nggak sengaja menabrak seorang cewek yang ada di dalam pura
itu.
“Aduh!” cewek tadi dan gue mengaduh
bareng. Cewek yang berdiri tepat di depan gue tadi menunduk.
“Sorry, nggak sengaja,” gue minta
maaf.
Tiba-tiba dia menatap gue dengan
tatapan aneh, marah mungkin, tapi gue cuekin. “Lo nggak papa, khan?” Gue melap
keringat di pelipis lalu melihat ke luar pagar pura untuk melihat Faya. Siapa
tau ntar dia tiba-tiba masuk ke sini. Gawat khan kalau gue ketahuan ngikuti
dia!
“Lihat ini!” bentak cewek itu
sambil menunjuk bajunya sendiri.
Gue liat baju gambar beruang Winnie
the Poohnya. Kotor terkena cat yang mungkin ada di palet yang dibawanya. Kotor
sekali.
Gue jadi merasa nggak enak melihat bajunya
jadi kotor. “Oh, sorry,” gue minta maaf.
“Ini baju kesukaanku tahu!”
bentaknya lebih keras. Gue buka mulut ingin minta maaf lagi tapi kalah cepat
dengannya. “Kamu udah bikin rusak bajuku!”
“Tapi gue khan udah minta maaf!”
kata gue sedikit membentak. Nih cewek kenapa sih bentak-bentak gue! Gue harus
cepat pergi dari sini, tadi gue sempat lihat Faya sudah tidak ada di depan
perpus, mungkin sudah masuk perpus itu, dan gue hari ini juga harus masuk ke
sana.
Tiba-tiba gue dengar suara sesuatu
terjatuh. Refleks gue menoleh ke belakang dan ternyata cewek tadi sudah nangis.
“Lho, kok nangis?” tanya gue heran. Gawat, gue udah bikin cewek nangis. “Gue
khan udah minta maaf, jangan nangis dong?”
Cewek itu menutup mukanya dengan
kedua tangannya lalu berlari. Memangnya gue salah apa sih ke dia? Gue ambil
paletnya dari tanah lalu berlari mengikutinya. Gue nggak bisa meninggalkan
begitu saja cewek yang nangis gara-gara gue. Ya, meskipun gue rasa gue nggak
salah, gue khan udah minta maaf.
Cewek itu berhenti dan duduk di
lantai. Di depannya ada lukisan yang tidak jelas, kelihatannya belum jadi. Gue
nggak tau itu lukisan apa, hanya banyak warna hitam “Hei, udah dong nangisnya?” gue berkata lagi
sambil berjalan mondar mandir. Gue bingung, gue salah apa sih? Kok dia masih
nangis terus?
Bruk! Gue nggak sengaja menabrak
lukisan itu hingga jatuh ke tanah. Waduh, gue sudah merusak lukisan orang,
gimana nih? Siapa ya pelukisnya? Mungkin kalau bisa cepat pergi gue bisa
selamat dan nggak perlu tanggung jawab ataupun kena marah. Tapi masalahnya,
tiba-tiba cewek tadi malah tambah keras nangisnya!
“Aah!! Bisa berhenti nangis nggak
sih lo!” teriak gue frustasi. Gue harus cepetan keluar dari sini!
Gue berdiri cukup lama menunggu dia
berhenti nangis. Gue harap dia cepat berhenti nangis, biar dia bisa dengar
permintaan maaf gue sekali lagi terus gue pergi. Gue rasa permintaan maaf gue
dari tadi nggak dia dengerin, makanya dia juga nggak kasih maaf ke gue.
Akhirnya gue menyerah berdiri
terus, capek juga, lalu jongkok di depannya. Gue juga masih terus menoleh
ke kanan kiri takut yang punya lukisan
tadi tiba-tiba datang terus ngelabrak gue.
Nggak lama kemudian, cewek tadi
berhenti senggukan lalu berdiri ninggalin gue yang masih jongkok. Hidung dan
matanya merah. Gue jadi merasa nggak enak, gue pantang bikin cewek nangis. Gue
lihat dia mengambil kuas yang ada di tanah dan juga palet yang tadi jatuh lalu
pergi ke dalam. Lalu dia kembali dengan pipi yang kotor terkena noda cat dan
dia kelihatan berantakan, dia terlihat tambah jelek. Dia mengambil tas
selempangannya yang ada nggak jauh dari gue dan pergi meninggalkan gue begitu
saja. Terus gue gimana?
“Hei, lo nggak maafin gue?” gue
berlari mengejarnya. Dia mendelik sebentar lalu meninggalkan gue lagi. “Gue
khan udah minta maaf!” kata gue kesal di sampingnya.
Dia tetap diam dan terus berjalan,
gue tetap mengikutinya. Saat kami berjalan di depan perpus tempat Faya biasa
datangi, gue menoleh ke dalam dengan cemas, takutnya Faya lihat gue. Setelah
agak jauh dari perpus dan merasa aman, gue menghentikan langkah di depan cewek
itu.
“Lo budek ato apa sih?” kata gue
marah. “Hargain dong orang yang udah minta maaf ke lo!” Gila aja, baru kali ini
gue minta maaf ke orang sampai berulang kali dan nggak dimaafin. Parahnya lagi,
kenapa juga gue sampai mau ngelakuin ini?
Seorang Yoga harus rela mengejar-ngejar dan minta maaf sama anak ini
hingga berkali-kali, ini khan sama saja dengan merendahkan harga diri gue!
“Aku nggak mau maafin kamu!”
katanya tegas. Nah selamat, setelah merendahkan harga diri kayak gitu, gue
nggak dimaafin!
“Emang gue salah apaan sih ke lo?
Gue cuma nabrak lo khan?” gue membela diri.
“Cuma nabrak katamu?” cewek itu
menunjuk bajunya. “Lalu ini apa?!”
Gue nggak pernah mengerti pola
pikir cewek. Nyokap, Faya, Sisil, dan juga cewek ini. Bajunya cuma kotor khan?
“Baju lo kotor,”
“Kotor? Ini rusak tahu!”
Rusak? Kening gue mengkerut. “Iya,
rusak. Ntar gue ganti.”
“Enak aja kamu ngomong gitu. Baju
ini nggak ada gantinya di dunia ini!”
Cewek ini hiperbola banget, di mall
khan ada banyak baju kayak gitu. ”Yaudah, ntar gue beliin sepuluh buat lo, gue
kirim ke pura tadi.” Kata gue lalu pergi meninggalkannya. Baru saja gue
melangkah sebentar dia tiba-tiba berteriak.
“HEI!”
Mau apa lagi dia? Sepuluh kurang?
Dasar cewek!
“Apa lagi!?” teriak gue dongkol.
“Lukisanku gimana? Kamu juga harus
ganti!”
Kening gue mengkerut lagi.
“Lukisan? Lukisan yang mana?”
“Yang kamu jatuhin tadi, jadi rusak tau!”
Ampun! Ternyata dia yang melukis
lukisan nggak jelas tadi. Mati gue! Mending gue kabur saja sekarang. Gue langsung
membalikkan badan membelakangi cewek itu.
“Kalau kamu nggak mau ganti, kamu
aku laporin ke polisi!”
Polisi? Dia nggak kenal gue khan?
“Aku serius, kamu nggak mau ganti
aku laporin polisi!”
Gue menoleh sebentar dengan senyum
mengejek. Tapi gue kaget banget karena dia sudah ada tepat di belakang gue dan
mengangkat Hpnya di depan muka gue. Dia tersenyum penuh kemenangan.
“Aku sudah dapet fotomu,” dia
tersenyum. “Aku punya om yang kerja di kepolisian, jadi aku bisa laporin kamu.”
“Memang gue ngapain lo, hah? Gue
nggak ngapa-ngapain lo!”
“Nggak ngapa-ngapain? Enak aja!
Kamu nabrak aku, bikin baju kesukaanku rusak, dan juga lukisanku! Kamu udah
buat semuanya kacau! ”
“Cuma itu? Itu nggak bisa lo jadiin
alasan laporin gue ke polisi. Apalagi gue bakal ganti baju lo,” kata gue. “Juga
lukisan lo!” tambah gue cepat-cepat.
Dia memasukkan Hpnya ke saku rok
abu-abunya, gue baru sadar dia ini masih anak SMA, tapi sebelumnya dia memfoto
dirinya sendiri dengan pose sangat mengenaskan. “Aku bisa bilang kalau kamu udah
ngerusak karya orang tanpa tanggung jawab dan juga penganiayaan.”
Cewek ini nggak segoblok yang gue
pikir.“Penganiayaan? Yang bener aja lo! Emang lo gue apain?”
“Inget, aku punya fotomu lho.” Dia
mengancam. “Aku punya bukti.”
“OK! Sekarang mau lo apa?” gue rasa
lebih baik gue nurutin kemauan cewek ini dan masalah akan segera berakhir.
“Seperti katamu tadi, kamu harus
ganti bajuku ini. Ingat, harus sepuluh dan juga lukisanku. Dan aku maunya harus
sama, dan juga lukisanku.”
Dia seperti nenek sihir jahat yang
ada di dongeng anak-anak. “Harus sama?” kalau bajunya pasti banyak di mall, dia
pasti beli di mall. Tapi lukisannya? “Dimana gue bisa nemuin lukisan yang sama
kayak punya lo tadi?”
“Mana aku tahu!”
Mulut gue terbuka lebar, ingin
mengatakan kalau gue pasti nggak bisa nemuin lukisan yang sama, saat HP cewek
itu berbunyi. Dia menerima telepon itu dengan wajah musam. Dia hanya diam,
nggak bicara apa-apa, tapi matanya jadi berkaca-kaca. Kayaknya dia mau nangis
lagi.
Dia memasukkan Hpnya ke saku rok
sekolahnya lagi dan berjalan pergi sambil terus menunduk. Apa masalahnya udah
beres dan gue bisa lepas tanggung jawab? Gue harap. Gue nggak mau punya masalah
dengan polisi yang pasti buntutnya gue harus berurusan juga dengan ortu gue.
Males banget kalau harus diceramahin bokap, apalagi nyokap. Anti banget gue!
TIIN!!
Sebuah mobil melaju cepat menuju
arah cewek itu dan kayaknya dia nggak sadar. Gue segera lari dan menarik dia
mundur. Kalau nggak dia pasti sudah ketabrak mobil tadi.
“WOY! ATI-ATI DONG!!” sopir mobil tadi teriak menjauh.
Cewek itu masih menunduk dan benar
dugaan gue, dia nangis. Gue yakin, kali ini bukan karena gue, pasti karena
telepon tadi. Dia melepas tangan gue yang masih megang lengannya lalu berjalan
menjauh. Dia tidak melihat ada batu besar di depannya dan dia jatuh tersandung
batu itu. Gue menghampirinya dan membantunya berdiri.
“Lo nggak papa?” tanya gue.
Dia tidak menjawab pertanyaan gue
dan terus berjalan hingga halte bus. Dia bahkan menabrak tiang halte bus karena
masih terus menundukkan kepalanya Waduh, nih cewek pasti lagi eror. Kalau kayak
gini dia nggak bisa selamat sampai rumah.
“Maklum Pak, dia sedang sakit,”
kata gue ke seorang bapak-bapak yang menatapnya heran. “Gue anterin lo pulang,
rumah lo di mana?” dia nggak menjawab dan terus berjalan, kepalanya juga masih nunduk. Yaudah, akhirnya gue
anterin dia pulang. Gue berjalan di sebelahnya. Gue sempat lihat dia beberapa
kali mengusap pipinya yang penuh air mata.
Gue jadi penasaran, cewek ini
normal atau nggak ya?