Minggu, 27 Juli 2014

Rumah Awan : 4 - Mbak Ayu



MBAK AYU

Pagi ini masih sama kelabunya seperti kemarin.
Tapi menyenangkan, begitu membuka mata, awanlah yang pertama terlihat. Itu karena saya tidak tidur di kamar, melainkan di balkon kamar. Saya memang sengaja tidur di balkon kamar. Banyak yang bertanya, begitu tahu saya sering tidur di balkon, apakah tidak takut atau kedinginan? Tentu saja dingin, tapi tidak takut. Tidak ada yang saya takuti selain Tuhan di dunia ini.
Tapi, siapakah Tuhan saya?
Nama saya Luh Ayu Apah Pertiwi. Luh berarti saya anak pertama perempuan, Ayu karena katanya saya ayu dengan kata lain cantik. Apah yang berarti zat cair dan Pertiwi berarti zat padat. Jadi singkatnya saya anak perempuan pertama keluarga saya yang keturunan Bali, cantik, yang tercipta dari zat cair yaitu darah dan zat padat berupa tulang dan daging.
Setelah beristirahat sebentar, saya segera beranjak ke dapur dan membuat teh. Saya mempunyai anemia yang cukup parah, jadi kalau begitu membuka mata langsung berdiri, pasti pusing.
Dapur yang jadi satu ruangan dengan meja makan dan sofa putih tempat tamu berkunjung ini tidak begitu besar. Peralatan yang ada juga tidak begitu banyak.
Kring...kring.....
Wireless berbunyi. Saya segera mengangkatnya dan duduk di sofa putih sambil membawa cangkir teh.
“Halo,”
“AYU!!”
Wireless segera saya jauhkan dari telinga karena teriakan tadi. Dari suaranya saja sudah bisa ditebak siapa yang menelepon saya pagi ini. Dia adalah Marsha, sahabat saya yang sekarang meneruskan S2 psikologinya di Sydney University.
“Aduh, jangan teriak begitu dong,” saya protes.
“Hehe, sori Yu, abis kangen banget sih sama kamu!” jawab Marsha ceria. “Gimana kabarnya?”
“Baik, tapi belakangan ini tambah sibuk.” Air teh pertama yang masuk ke dalam tenggorokan rasanya enak sekali. Seperti air hujan yang baru turun dan mengaliri sungai kering akibat kemarau. Segar. “Kamu sendiri bagaimana?”
“Very well. Baiiik banget!” saya yakin di Aussie Marsha pasti sedang bahagia sekali sampai tersenyum lebar seperti kebiasaannya kalau sedang senang. Bisa saya membayangkan senyumnya itu.
“Ada sesuatu yang menyenangkan ya?” pasti pertanyaan ini sudah ditunggu Marsha.
“Hehe, tahu aja.” Marsha pasti tersenyum.
Marsha selalu harus ditanya dahulu agar mau cerita. “Apakah sesuatu yang menyenangkan itu?” tanya saya perlahan seperti narator di Teletubbies.
“Percaya nggak, I have new boyfriend!” senyum Marsha pasti sangat lebar.
Senyum juga langsung menghiasi wajah saya. “Wah, selamat ya!”
Lalu Marsha cerita banyak tentang pacar barunya yang katanya orang Jepang yang bekerja di salah satu perusahaan periklanan di Sydney. Namanya Kotarou Inoue. Marsha memanggilnya Kota. Kota orangnya tinggi dan lumayan berotot, cerdas, lucu, dan memiliki selera humor yang bagus. Tipe lelaki kesukaan Marsha. Dari dulu Marsha suka orang yang lucu dan memiliki selera humor yang bagus.
Mereka berkenalan ketika ada pesta pembukaan sebuah restoran Cina di dekat apartemen Marsha. Kota adalah teman dari teman sekelas Marsha. Mereka berkenalan dan berbincang sebentar. Ternyata mereka saling merasa cocok lalu memutuskan untuk pergi keluar kapan-kapan. Mereka juga sempat bertukar nomor telepon genggam.
Sejak saat itu mereka sering keluar bersama dan semalam mereka resmi pacaran. Kato membawa Marsha ke restoran Cina tempat mereka pertama kali bertemu yang diberi nama Peking Duck, karena menu utamanya memang Peking Duck. Di sana Kato menyanyikan lagu-lagu cinta seperti lagu Terpanah Asmara-nya Bunga Citra Lestari, lalu Bila Aku Jatuh Cinta milik Nidji, Makhluk Tuhan Paling Sexy-nya Mulan Jameela dan Sempurna milik Andra and the Backbound.
Kota menyanyikan semua lagu itu dalam bahasa Indonesia yang sangat jelek dan tidak lancar. Pantas saja, dia sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. Marsha tidak berhenti tertawa saat Kota menyanyikan lagu Makhluk Tuhan Paling Sexy, desahan ah ah dan ih ih-nya sangat lucu. Saya juga langsung tertawa mendengar Marsha menirukan desahan Kota ala Mulan Jameela itu.
Lalu Marsha merasa sangat senang saat Kota menyanyikan Sempurna. Kota yang memang bisa memainkan gitar bernyanyi dengan penuh penghayatan diiringi gitar yang ia petik sendiri. Meski Marsha tahu semua kata yang diucapkan Kota salah dan tidak bermakna, seperti kau menjadi ko, bahkan baris pertama Sempurna yang berbunyi ‘kau begitu sempurna’ menjadi ‘ko bakiku zenburuna’, ia merasa sangat senang dan bahagia. Yang diherankannya hanya satu, darimana Kota bisa tahu semua lagu itu? Dan kapan dia belajar menyanyikan semua itu?
Teh yang ada di cangkir telah habis tapi rasanya tenggorokan ini masih haus. Jadi, dengan masih terus menempelkan wireless di telinga, saya beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Lebih baik air putih saja. Cangkir saya letakkan begitu saja di meja lalu mengambil air putih.
   “By the way, kamu lagi sibuk apaan?” tanya Marsha setelah panjang lebar cerita tentang Kota.
“Tidak sibuk apa-apa, masih sama seperti biasanya,” saya meneguk air putih. “Mengurus Rumah Awan.”
“Kamu beneran nggak papa sendirian terus di rumah?” ada nada khawatir di suara Marsha.
Saya tersenyum senang karena masih ada yang peduli pada saya. “Tidak apa-apa Marsha, malah enak tidak ada yang mengganggu.”
“Bocah statistik itu masih sering ganggu kamu?”
“Ya seperti biasanya,” saya menghempaskan tubuh ke sofa putih lagi. “Tapi sudah dua hari ini dia tidak datang.”
Sepertinya saya dapat mendengar Marsha menghembuskan nafas panjang. “Ayu, apa benar kamu akan berhubungan dengan anak kecil itu? Apa kamu tidak mau cari yang lebih tua saja? Paling nggak yang lebih dewasa.”
Saya diam.
“Lagian, Ayu, katamu dulu kamu masih harus nemuin keluargamu dulu baru ngurusin yang namanya cowok,”
“Iya,” jawab saya lemas. “Kemarin, Pak Agung sudah menemukan sedikit petunjuk. Tapi tentang keluarga Ibu.” Marsha pasti tahu yang saya maksud Ibu itu adalah Ibu Sri. Orang yang sudah merawat saya sejak bayi.
“Pak Agung? Detektif yang kamu sewa itu?”
“Iya.”
            “Lho, tapi kamu khan cari keluargamu, bukan keluarga Bu Sri?”
“Tapi nanti kita bisa tahu alamat mereka dari keluarga Ibu. Mana mungkin Ibu tidak memberi tahu keluarganya tentang alamatnya bekerja, khan?”
“Iya sih...”
“Tapi kadang, sempat terlintas satu pikiran untuk tetap tinggal di sini dan tidak perlu mencari mereka.”
“Apa maksudmu?” suara Marsha sedikit kaget. “Itu khan keinginanmu sejak dulu.”
“Iya.”
“Pasti kamu udah kena pengaruh bocah itu!”
Setelah ngobrol sebentar dengan Marsha rasanya pikiran tambah berat. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Di tembok belakang saya duduk terpajang foto yang lumayan besar. Foto saya saat SMA bersama Ibu.
Ibu atau Bu Sri adalah orang yang merawat saya sejak bayi. Saya asli keturunan keluarga Bali yang mungkin bisa dibilang agak kolot. Saya tidak tahu pasti sebenarnya, karena itu hanya dugaan saya. Keluarga saya waktu itu menganggap anak laki-laki adalah berkah sedangkan anak perempuan adalah musibah. Saya tidak tahu mengapa begitu. Tapi dari seluruh cerita Ibu saat saya  masih kecil, seluruh cucu Kakek saya adalah laki-laki dan beliau senang sekali. Tapi, ayah saya, yang merupakan anak terakhir Kakek memberi kabar kalau istrinya telah melahirkan anak kembar. Laki-laki dan perempuan.
Dengan memakai alasan adat jawa kalau anak kembar laki-laki dan perempuan harus dipisahkan sampai dewasa agar dapat terus bartahan hidup, Kakek mengirim saya berdua hanya dengan Ibu ke kota ini. Jauh sekali dari Bali. Saat itu saya masih bayi merah. Kakek berkata bahwa nanti ketika saya berusia sekitar sepuluh tahun Beliau akan mengambil saya kembali. Beliau juga mengatakan bahwa biaya hidup kami akan ditanggungnya.
Ibu hanya mendapat uang lima pulu ribu saat pergi dari rumah. Saat dalam perjalanan pun terjadi sebuah perampokan yang mermbuat pengantar kami meninggal. Untung kami bisa kabur dan tidak dapat mengabari keluarga saya di Bali. Ibu lupa mencatat alamat rumah saya di Bali. Sejak saat itu Ibu berusaha keras mencari uang untuk membiayai hidup kami dan juga sekolah saya karena komunikasi dengan keluarga saya di Bali terputus sehingga uang kiriman dari rumah pun tidak ada.
Saya sayang sekali Ibu.
Tapi, dua tahun lalu, begitu saya dapat mendirikan Rumah Awan, Ibu meninggal akibat serangan jantung.
Akhirnya saya benar-benar sendiri di dunia ini.
Lalu saya berkenalan dengan Marsha dan menjadi sahabatnya. Saat Marsha memutuskan meneruskan studinya ke Australia, saya merasa kesepian lagi meskipun kami sering berhubungan lewat telepon ataupun email. Kadang juga chating.
Tak lama setelah Marsha pergi, dia datang. Dia yang mendapat julukan Bocah Statistik dari Marsha itu cukup merubah saya. Dan jujur, dia perlahan telah merubah pendirian saya tentang jalan hidup yang telah saya pilih. Tentang semua hal yang selama ini saya anut serta pendirian saya.
Air mata saya menetes dengan tiba-tiba. Memikirkan semua yang telah terjadi di hidup ini sangat menyakitkan. Selalu sakit.
Saya benci seperti ini. Saya benci menjadi orang cengeng. Saya selalu menangis dan menjadi lebih sering menangis sejak Ibu pergi.
Saya ingin pergi menemukan keluarga saya dan bertanya mengapa mereka membuang saya. Saya juga ingin mengenal mereka dan mereka juga mengenal saya. Bahkan kadang ada pikiran untuk marah dan mengolok-olok mereka.
Tapi setiap melihat senyumnya hati saya selalu goyah. Saya jadi tidak ingin pergi meninggalkan tempat ini, rasanya saya jadi lupa apa tujuan hidup saya. Mungkin Marsha benar, dia telah mempengaruhi saya.
“Sori, jendelanya terbuka.” kata sebuah suara jadi jendela dekat pintu masuk yang tak jauh di sebelah saya. Saya segera menoleh pada suara yang familiar itu.
“Hey, kenapa menangis?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar