FAYA
Kringg..!!!
Sudah
jam empat pagi. Rasanya baru dua jam gue tidur. Gue buka mata lebar-lebar,
memandang langit-langit kamar yang putih bersih lalu menggeliat sebentar. Sudah
waktunya bangun.
Air
pagi ini masih sangat dingin seperti kemarin. Begitu menyentuh muka, rasanya
segar sekali, gue basuh muka berkali-kali. Itu obat agar gue nggak ngantuk
lagi. Ingat, buku-buku sudah menunggu.
Setelah
matiin jam beker yang ternyata terus bunyi pas gue tinggal ke kamar mandi, gue
hidupin lampu belajar dan memakai kacamata berframe hitam tipis. Saatnya
belajar. Di notes kecil warna merah milik gue tertulis nanti ada pelajaran
matematika bab matriks, biologi dan olah raga. Sekarang yang perlu dipelajari
adalah matriks. Biologi bisa dibaca waktu sarapan sedangkan olah raga tidak
perlu ngapa-ngapain, paling-paling hanya
lari keliling lapangan seperti biasanya trus maen voli.
Minggu
lalu gue sudah baca sedikit tentang matriks, tidak terlalu sulit, lebih mudah
dari logaritma. I atau identitas matriks, rumusnya (10 01)=
berordo 2x2=1. Setelah baca materi gue
coba ngerjain soal yang ada. Minggu lalu soal itu belum tersentuh.
Di
lantai bawah terdengar suara pintu terbuka. Mungkin Nenek sudah bangun. Masih
jam 4.36. Lalu terdengar pula suara perabotan dapur seperti panci yang
sepertinya diletakkan di atas kompor dengan agak keras. Nenek pasti mau bikin
sarapan. Apa nggak kepagian?
Jika
A adalah matriks berordo 2x2 dan memenuhi A(12 33)=(25 0-6) maka
detA=.... Soal nomor 3 ini sama persis
polanya dengan contoh soal. Gampang, gue bisa. Gue hitung secermat mungkin dan
hasilnya detA=4. Masih ada 12 soal lagi
yang harus gue kerjain.
Sambil
terus ngerjain soal gue denger Kakek juga sudah bangun. Suara langkah kaki yang
diseret seperti ini hanya Kakek saja yang punya di rumah ini. Terdengar pelan
tapi tegas, mirip karakter Kakek. Kalo Yoga pasti belum bangun.
Jam
6 gue udah selesai mandi dan siap berangkat ke sekolah. Semua perlengkapan
untuk sekolah hari ini juga sudah lengkap di dalam tas selempangan merah gue.
Tapi sebelum berangkat, sudah tradisi, gue harus sarapan bareng keluarga.
Di
bawah, di meja makan, sudah tersedia nasi goreng hangat lengkap dengan tahu
tempe dan telur mata sapi. Hmm, baunya enak. Kakek masih dengan sarung
kotak-kotak hijaunya, terlihat serius membaca koran hari ini. Gue toleh
sebentar sebelum duduk di kursi di depan Kakek, ternyata masalah politik lagi.
Kakek selalu ngikutin perkembangan politik di Indonesia. Apa bagusnya dunia
yang penuh kebohongan itu? Gue nggak tertarik sama sekali.
“Faya,
mau makan sama telur?” tanya Nenek sambil ngambilin gue piring.
Gue
terima piring dari Nenek. “Sama tempe aja Nek, ntar Faya ambil sendiri, Nenek
udah sarapan?” tanya gue. Nenek gue itu kalem banget dan selalu senyum. Meski
sudah keriput tapi masih keliatan kalo dulu mudanya Nenek itu cantik. Nenek
yang juga pintar merajut ini biasa menerima pesanan rajutan. Salah satu hasil
rajutannya berupa sweater cokelat yang sekarang dipakai Nenek. Kelihatannya
hangat.
“Yoga!
Ayo sarapan!” panggil Kakek masih tetap membaca koran.
Suapan
nasi goreng pertama gue rasain dan seperti biasana, enak banget. Tradisi di
rumah gue yang hanya ada gue, Yoga, Kakek dan Nenek ini sarapan tidak pernah
berupa roti tawar dan selai seperti keluarga lainnya. Kami masih memegang
tradisi bangsa yang selalu makan nasi.
Yoga
keluar kamar dengan muka berantakan saat gue ngeluarin buku biologi. Dia
menguap lebar-lebar lalu langsung duduk di sebelah gue dan menelungkupkan
kepalanya di atas meja. Pasti baru bangun, dasar pemalas. Nenek, yang duduk di depan Yoga, mengambilkan
sarapan untuknya dengan porsi yang banyak lengkap dengan tahu tempe juga telur
mata sapi. Yoga sangat rakus.
Yoga
mengangkat kepalanya lagi begitu Nenek meletakkan piring tepat didepan mukanya.
Ternyata aroma nasi goreng itu membangunkannya.
“Yoga
hari ini kuliah jam berapa?” tanya Nenek yang sekarang mengambil sarapan untuk
dirinya sendiri.
“Jam
ke3-4 Nek, agak siangan,” jawabnya lalu menyuapkan nasi goreng ke mulutnya
dengan sangat lahap. “Lo kok bisa makan sambil baca?” tanyanya tiba-tiba. Gue
noleh dan melihat muka herannya. Ternyata dia makan sambil ngliatin gue.
“Apa
nggak ada pertanyaan lain? Itu tadi pertanyaan yang udah kesejuta kalinya.”
Jawab gue cuek lalu kembali ke buku biologi.
“Masa?”
Mulut
Yoga terbuka, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi batal karena bel
rumah berbunyi. Nenek dengan tanggap segera melihat siapa orang yang bertamu
pagi begini.
“Siapa,
Nek?” tanya Kakek melipat korannya dan beranjak dari tempatnya menyusul Nenek.
Tak
lama kemudian terdengar tawa dari ruang tamu. Kakek, Nenek, dan tamunya yang
dari suaranya terdengar seperti seorang kakek-kakek, tertawa renyah bersama.
Mungkin teman mereka.
“Ntar
abis sekolah langsung pulang.”
Gue langsung berhenti mengunyah nasi goreng
mendengar kalimat Yoga barusan. “Nggak usah keluyuran ke mana-mana.” Lanjutnya
sambil terus mengunyah nasi goreng.
“Bukan
urusan lo.” Kata gue sambil memasukkan buku biologi ke tas.
Yoga
meletakkan sendoknya dan menoleh ke arah gue. “Lo tuh sekali-kali harus nurut
ma gue.”
“Buat
apa?” gue udah berdiri.
“Kegiatan
lo tuh nggak ada yang jelas. Lo ke mana aja tiap pulang sekolah, hah? Pulang ke
rumah pasti udah sore. Ikut ekskul juga nggak.”
“Gue
nggak mau nurut sama orang bego kayak lo.” Ujar gue dengan jelas sekali lalu
gue pergi ninggalin Yoga yang mukanya mirip bokap kalau sedang marah.
Benar-benar mirip.
Bus
hari ini penuh sekali. Untung saja gue dapat tempat duduk, kalo nggak pasti gue
harus desak-desakan kayak orang-orang yang lagi berdiri itu. Salah satu hal
yang paling gue hindari. Orang yang duduk di sebelah gue, deket jendela, lagi
asyik teleponan sama pacarnya. Dari tadi sayang-sayangan melulu. Risih juga
dengarnya.
Nggak
sengaja mata gue tertuju pada pemandangan yang jarang gue lihat dengan mata gue
sendiri, tapi lebih sering gue lihat di TV.
Pencopetan.
Seorang
cowok bertubuh jangkung, kurus, memakai baju yang kelihatannya seperti anak
kuliahan, pelan-pelan membuka resleting tas seorang ibu-ibu agak montok yang
berdiri tepat di depannya. Posisi yang berhimpitan seperti ini pasti sangat
menguntungkannya.
Cowok
itu sepertinya sudah profesional. Dia menggunakan kesempatan saat bus mengerem
mendadak. Semua orang yang berdiri terhuyung ke depang dan memperkuat pegangan
mereka agar tidak jatuh. Tapi tetap saja mereka semua saling dorong meski tidak
sampai jatuh. Cowok itu langsung mengambil dompet ibu tadi. Dompet kecil
berwarna hitam yang langsung disimpan di saku celana jinsnya. Matanya sempat
melihat ke arah gue dan gue langsung buang muka agar tidak ketahuan kalau gue
baru saja melihatnya beraksi.
Di
halte berikutnya, pencopet itu langsung turun. Saat berjalan di samping gue,
dia tersenyum. Pasti dia tahu kalo gue liat aksinya tadi.
“Bye.”
kata pencopet itu pelan disamping gue.
Gue
diem aja. Gue nggak kenal siapa dia. Sebenarnya tadi gue bisa teriak kalo
sedang ada pencopetan di bus. Tapi males. Selama kejadian itu nggak ganggu gue,
gue nggak akan ikut-ikutan. Gue males cari gara-gara dan sok jadi pahlawan.
Sok
pahlawan.
Jadi
inget musuh besar gue, Lintang. Orang yang paling sok pahlawan di dunia ini.
Selain itu masih ada Yoga dan Lintang
Yang Lain.
Kenapa
ada banyak orang yang sok pahlawan di sekitar gue? Dan mengapa mereka selalu
beranggapan kalo gue butuh pertolongan mereka? Gue bisa jalanin hidup sendiri
tanpa bantuan mereka.
Kelas
1 SMA gue sekelas sama Lintang. Begitu dengar namanya gue jadi ingat Lintang
Yang Lain. Ternyata mereka mirip, sama-sama sok pahlawan. Lintang mengajak
kenalan seluruh anak di kelas saat MOS termasuk gue. Sebelum kenalan sama gue,
dia dengan sok pahlawannya ngasih permen, yang merek permennya kalo dibaca dari
belakang bunyinya gak berubah, kayak permen sugus, untuk MOS punyanya ke temen
gue yang lupa bawa. Karena tindakannya itu dia dimarahi panitia MOS dan
mendapat hukuman dijemur di lapangan upacara selama satu jam dengan tangan
hormat ke bendera Merah Putih. Sejak saat itu, dia dianggap pahlawan anak
sekelas.
Dia
dengan pede ngajak gue kenalan dengan senyum lebarnya. Gue yang udah tahu dia
sok pahlawan agar punya banyak temen gue cuekin. Tangannya yang terjulur itu
nggak gue bales. Mungkin gue memang menyebalkan, tapi gue benci orang seperti
itu, orang yang sok pahlawan.
“Lho,
dompet saya mana?” Ibu montok yang kecopetan tadi mencari dompet di tasnya saat
gue turun dari bus. Semua penumpang menoleh padanya dengan pandangan penasaran
ingin tahu tahu apa yang terjadi.
Mungkin
hari ini hari sial ibu itu.
=========
Di
gerbang sekolah, gue liat Nana pergi nyamperin temen sekelas sekaligus teman
sebangku gue, Andi. Oh ya, temen yang pas kelas satu yang dikasih permen sama
Lintang itu ya si Nana ini. Karena kejadian itu, kayaknya si Nana jadi
sahabatnya. Tapi kalo menurut gue sih, Nana malah lebih mirip pembantunya. Ke
manapun Lintang pergi, Nana pasti ngekor kayak dia itu ekor permanen Lintang.
Saat
melewati Nana dan Andi, gue sempet denger Nana muji Lintang. Dia dapat nilai
bagus lagi dalam ujian dadakan Bahasa Indonesia kemarin lusa, dia dapat 89.
Nana dan Andi yang tidak menyadari keberadaan gue terus ngobrolin Lintang sampe
gue udah nggak bisa denger suara mereka lagi.
Kemarin
lusa di kelas gue juga ada ujian dadakan Bahasa Indonesia. Gue nggak yakin bisa
dapat bagus. Malamnya gue nggak belajar Bahasa Indonesia, tapi harus belajar
fisika. Pelajaran yang paling gue benci selain Bahasa Inggris. Kalau sampe gue
dapat nilai jelek, pasti Lintang akan sangat senang dan terus mengolok-olok
gue.
Gue
akui, Lintang itu anak yang cerdas. Tapi gue nggak mau kalah sama dia. Di
bidang apapun. Jadi gue bertekad akan menjadi orang yang lebih pintar dari dia
meski otak gue nggak seencer otaknya.
Sampai kapanpun gue nggak mau kalah sama dia.
“Faya!”
saat berjalan di koridor menuju kelas, seseorang manggil gue dari belakang.
Ternyata Andi.
“Ada
apa?”
Setelah
dekat gue dia langsung ngomong. “Kata Nana, kemaren lusa kamu bikin masalah
lagi ya sama Lintang?”
Ternyata
Nana benar-benar pembantu setia Lintang. Gue rasa gue nggak perlu menjawabnya
dan gue putusin segera pergi ke kelas.
Andi
langsung menyamakan langkahnya di samping gue. “Kalian kapan mau baikan?”
tanyanya tenang.
“Gue
nggak ada niat buat baikan.” Jawab gue males.
“Tapi
kalian udah musuhan sejak kelas satu lho.”
“Bodoh
amat.”
“Tapi
Faya, kalo musuhan itu nggak baik lho, bla bla bla,”
Mulai
lagi deh mantan Ketua OSIS SMA Erlangga ini pidato. Mungkin para guru dulu
ngajuin dia jadi calon ketua OSIS karena dia pintar pidato kayak gini. Sukanya
kasih petuah yang panjang lebar sampe bikin orang yang mendengarnya ngantuk.
Jujur
aja, gue nggak suka dikuliahin kayak gini. Mana dia ngomongnya kayak sama anak
SD lagi! Padahal sebenarnya gue tahu tujuannya repot-repot membuat gue-Lintang
baikan. Tenar.
Andi
itu narsis abis dan gila popularitas. Semua orang di sekolah ini tahu gue dan
Lintang musuhan dan sudah banyak orang berusaha mendamaikan kami, termasuk para
guru, tapi hasilnya nihil. Karena memang gue nggak mau baikan sama dia. Mungkin
menurut Andi, kalau seandainya dia bisa membuat kami baikan, dia pasti akan
disanjung, dihormati dan populer karena usaha kerasnya.
“Udahlah,
Ndi!” tepat di depan pintu kelas, gue berhenti di depannya yang dari tadi
ngoceh tapi nggak gue dengerin. Kedua tangan gue di pinggang. “Gue nggak mau
denger nasihat lo.” Andi ngeliat gue dengan wajah yang terlihat agak sakit
hati. Mungkin dia nggak suka dihentikan saat ceramah. Itu berarti kata-katanya
nggak berguna. “Dan please banget, ntar di kelas jangan ngajak gue ngomong.”
Saat
gue masuk ke dalam kelas, gue sempet liat dia mengeluh sambil menyibakkan
rambut berponinya lalu memakai kacamata berbingkai tebal ala Afgannya yang
ditaruh di saku seragamnya.
Gue
nggak suka dia tapi harus gue akui dia adalah mantan gue.
========
Akhirnya
sekolah hari ini selesai.
Gue
tetap duduk di bangku saat semua orang berebut keluar kelas dan menciptakan
kegaduhan yang ceria.
“Faya,
gue duluan ya!” teriak Tina, salah satu teman sekelas gue yang duduk di depan.
Gue hanya tersenyum dan melambaikan tangan padanya.
Nggak
sengaja gue noleh ke samping dan ternyata Andi juga masih ada di tempatnya. Gue
kaget banget, sampe-sampe mata gue melotot. Dia menatap gue aneh. Nggak
biasanya dia liat gue kayak gitu.
“Apa!?”
Dia
tersenyum sebentar lalu pergi ninggalin gue yang penuh tanya. Dia kenapa ya?
Apa dia marah gara-gara tadi pagi? Tapi dia bukan orang yang gampang marah
karena hal kecil kayak tadi pagi. Bodoh amat, mau marah apa nggak emang gue
pikirin.
=======
Sebuah
gedung berlantai lima yang terletak di jalan kecil sehingga bus ataupun truk
tidak boleh lewat, letaknya tak jauh dari sekolah, bertuliskan AT Mobil
sekarang ada di depan gue. Gue nggak tepat ada di depannya, tapi gue duduk di
salah satu bangku kayu milik perpustakaan yang ada di seberang jalan dari
gedung itu.
Perpustakaan
kota yang bernama Perpustakaan Kartini ini adalah tempat yang sering gue
datangi sepulang dari sekolah sebelum pulang ke rumah. Di pangkuan gue sudah
ada novel Harry Potter and the Half Blood
Prince yang sebenarnya sudah gue baca berulang kali. Tadi gue ambil gitu
aja dari rak buku. Gue buka sembarang novel itu dan terbuka di halaman 397.
Sebenarnya
novel ini hanya alasan saja, mata gue sama sekali tak membaca huruf-huruf yang
ada di halaman itu. Gue memusatkan pandangan ke gedung AT Mobil.
AT
Mobil. Awan Tinggi Mobil. Tempat orang itu bekerja.
Meski
samar, gue bisa liat orang sibuk bekerja di sana. Diantara mobil yang ada di
show room, ada orang yang berpenampilan formal yang bicara lewat telepon
genggamnya sambil berkacak pinggang. Mata gue menyipit untuk memastikan siapa
orang itu. Mungkin saja gue salah lihat karena cukup banyak kendaraan yang
lewat. Jarang banget bisa lihat orang itu di bawah seperti ini. Biasanya dia
ada di kantornya di lantai dua.
Tapi
mata gue nggak salah, orang itu adalah bokap gue.
Tak
lama kemudian seorang wanita berumur tiga puluhan dengan rambut panjang
digelung datang menghampirinya. Wanita itu memakai pakaian formal berwarna biru
dan tersenyum lebar. Harus gue akui wanita itu cantik.
Dialah
Lintang Yang Lain.
Entah
apa yang mereka bicarakan sambil sesekali tersenyum. Hal itu membuat gue merasa
nggakk nyaman. Rasanya kepala gue jadi panas melihatnya. Nggak tahu kenapa gue
selalu sebal melihatnya. Gue ingin ke sana lalu teriak sekeras mungkin dan
marah-marah ke dia, tapi itu nggak mungkin gue lakuin. Tadi pagi gue sudah
sebel banget gara-gara Yoga, lalu Andi di sekolah, sekarang Lintang Yang Lain.
Rasanya sekarang udah pingin meledak. Novel yang ada dipangkuan tak sadar gue
pegang kuat sampai halamannya kucel. Gue alihkan pandangan ke atas. Yang
terlihat hanya daun yang menutupi birunya langit. Gue tarik nafas dalam-dalam
agar lebih tenang lalu melihat bokap lagi.
Mereka
sudah tidak ada.
Inilah
yang gue lakuin tiap hari sepulang sekolah. Melihat apa yang dilakukan bokap
dan Lintang Yang Lain. Sejak cerai, gue dan Yoga tidak tinggal bersama bokap
ataupun nyokap, kami milih tinggal bersama Kakek Nenek. Kami jarang bertemu
mereka. Gue masih bisa liat bokap dari sini tapi kalau nyokap, gue udah nggak
tahu lagi dia ada di mana. Gue juga nggak mau tahu.
“Faya,
kenapa tidak baca di dalam saja?” tanya Mbak Lea, salah satu pengurus
perpustakaan ini begitu masuk ke dalam halaman perpustakaan. Dia membawa tas
kresek hitam agak besar dan gue dapat mencium bau soto dari dalamnya. Mungkin
Mbak Lea baru membeli makan siang.
“Di
sini saja Mbak, udaranya segar.” jawab gue tersenyum.
Mbak
Lea berjalan mendekatiku. “Sudah makan?” Dia tersenyum. Senyum yang misterius.
Orang ini masih muda, sekitar awal tiga puluhan, tapi dia aneh.
Gue
menggeleng. “Belum lapar, Mbak, nanti saja.”
“Kalau
gitu Mbak masuk dulu ya, mau makan siang, lapar banget.” lanjutnya sambil
mengelus perutnya. Sebelum pergi, Mbak Lea sepertinya memandangku dengan aneh.
Mbak
Lea sudah mengenal gue karena gue memang sering ke perpustakaan ini. Hampir
setiap hari gue ke sini. Semua pengurus perpustakaan ini juga udah kenal gue. Gue
nggak tahu kenapa, tapi gue selalu merasa ada yang aneh pada Mbak Lea. Terutama
senyumnya yang selalu misterius itu. Gue nggak pernah bisa menebak arti
senyumnya itu.
Setelah
Mbak Lea hilang dari pandangan, gue bingung mau ngapain lagi. Bokap juga sudah
tidak terlihat lagi. Lebih baik pulang saja. Setelah memasukan novel Harry
Potter ke dalam tas, gue langsung beranjak pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar