Kamis, 17 Juli 2014

Rumah Awan : Prolog



PROLOG
           
Kota Erlangga suatu hari...
            Hari ini masih tetap panas seperti kemarin. Suhu yang luar biasa hingga dapat melelehkan es dalam waktu singkat. Untung saja ini di Indonesia, bukan di kutub utara, bisa leleh semua gunung es di sana dan tenggelamlah daratan di dunia ini!
Tak hanya es yang mudah mencair, peluh pun dengan mudah mengalir dari pucuk kepala seorang tukang es cincau yang berjualan disekitar salah satu perguruan tinggi swasta.“Hari ini memang benar-benar panas!” keluhnya sebal sembari membereskan barang dagangan.  Pikiran penjual itu sangat kacau. Padahal belum sampai satu jam yang lalu dia berterima kasih pada Tuhan karena hari ini terik sekali, dengan begitu dagangannya akan cepat habis dan bisa pulang lebih awal. Tapi kini, meski tidak mau mengakuinya, dia mencela Tuhan karena suhu yang panas ini juga telah membangunkan amarah tiap mahasiswa di kampus ini. Terutama anggota geng barat dan geng timur.
Di kota Erlangga ini terdapat sebuah universitas yang memiliki nama seperti nama kota ini, Universitas Erlangga. Universitas ini memiliki kampus yang cukup besar. Saat ini suasananya sedang panas, sepanas emosi anggota kedua geng itu. Sudah bukan rahasia lagi kalau di kampus ini terdapat dua geng besar yang bermusuhan sejak dulu, tidak ada yang tahu sejak kapan permusuhan itu terjadi, mungkin sejak kampus ini dibangun.
Geng barat dan geng timur.
“HOY! JANGAN LARI LO!”
Seorang cowok botak jatuh tak jauh dari pedagang es cincau tadi. Dia jatuh karena terkena jegal cowok lain yang tubuhnya lebih besar. Dengan lincah cowok yang lebih besar tadi segera mencengkram kerah cowok botak itu dan langsung menonjokinya. Tak lama, cowok-cowok lain ikut mengeroyoknya. Untung saja cowok botak itu tidak sendirian, beberapa temannya datang dan memberi bantuan. Meski kalah banyak mereka terus melawan.
Melihat perkelahian tak jauh dari tempatnya berdagang, Pak Penjual es cincau itu segera pergi. Ia tak mau terkena imbas dari perkelahian itu.  Mencela Tuhan itu tidak boleh, ia tahu itu, tapi dagangannya belum sampai separuh terjual dan kini dia harus pulang. Daripada nanti mahasiswa itu berkelahi di atas es cincaunya!  Lalu, siapa yang dapat ia salahkan sekarang? Mahasiswa itu? Nanti malah dia yang dikeroyok!
Sebenarnya ini bukan pemandangan baru baginya. Sudah sering ia melihat perkelahian antara geng barat dan geng timur. Sudah sering juga ia melarikan diri seperti ini. Tapi ia tetap tak tahu harus mengeluh pada siapa. Jadi tetap saja ia dongkol sendiri dan ujung-ujungnya juga tetap mengeluh pada Tuhan.
“Pak! Pak! Mau ke mana?” tiba-tiba seorang anak cewek berambut lurus sebahu dan memakai topi biru menghentikan aksi kabur tukang es cincau.
Dengan nafas ngos-ngosan ia menjawab, “Pergi, Neng, lagi ada keributan!” Raut mukanya terlihat antara marah, sedih dan kecewa. Cewek itu jadi heran, alisnya berkerut.
“Tapi saya mau beli esnya, Pak.” lanjut cewek itu polos.
Penjual es cincau jadi bingung. Sekarang dia harus menyelamatkan diri dan dagangannya atau melayani permintaan cewek itu.
“Ayolah Pak, lagi haus banget nih.”
Lumayan, ada rejeki datang.
Akhirnya penjual es cincau luluh juga melihat wajah cewek itu yang sepertinya sudah tiga hari tidak minum. “Baik Neng, tapi minumnya cepetan ya?”
Cewek itu langsung mengangguk dan tersenyum. Selama penjual es cincau mengambilkan pesanannya, ia terus memperhatikan segerombolan mahasiswa yang sedang adu jotos tadi sambil mencari tempat duduk yang nyaman. Dia tidak merasa takut sama sekali. Setelah merasa nyaman duduk di pinggir trotoar, ia bertanya pada pak es cincau.
“Pak, sebenarnya mereka ngapain sih?”
Pak es cincau tahu pasti apa yang dimaksud cewek itu. Sebelum menjawab ia sempat mendengar salah satu dari mereka yang sedang adu jotos meneriaki lawannya yang mencoba kabur. “Anjing lo! Jangan kabur!”
“Mereka ya lagi berantem, Neng.” jawabnya.
“Iya, saya tahu. Tapi kenapa, Pak?”
“Ini Neng, esnya,” Pak es cincau menyerahkan segelas besar es cincau yang terlihat sangat segar dan nikmat. “Di sini pemandangan kayak gitu udah biasa, Neng. Jangan kaget! Neng bukan orang kampus sini ya?”
Cewek itu menggelengkan kepalanya.
“Di kampus sini nih, ada dua geng besar, namanya Geng Barat dan Geng Timur. Mereka punya daerah kekuasaan sendiri-sendiri, Neng. Kayaknya sih mereka pada pengen nguasain kampus ini, jadinya ya mereka saling rebutan daerah kekuasaan gitu. Makanya tiap hari ada aja kejadian kayak gini.”
“O..gitu.. sejak kapan ada geng kayak gini, Pak?” tanya cewek itu setelah meneguk esnya.
“Wah, kalo itu saya nggak tau. Tapi katanya orang sekitar sini sih udah dari dulu banget. Iya, dari pertama kampus ini dibangun kali, Neng!” jelas Pak es cincau dengan raut muka serius. Terlihat sekali sedang mengingat keterangan yang didapatnya dari orang-orang sekitar kampus ini. Cewek itu berpikiran pasti pak penjual es cincau itu pelupa.
“Trus kenapa hari ini mereka ribut lagi, Pak?”
“Wah, bapak nggak tau pastinya. Tapi ada gosip kalo anak geng timur mulai merebut daerah anak geng barat yang dekat kantin. Anak geng barat nggak terima lalu ya seperti yang Neng lihat  sekarang.”
“Gitu aja bikin ribut. Kurang kerjaan banget sih! Pernah dilaporin polisi, Pak?”
Pak penjual es cincau hanya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Ternyata cewek ini banyak pertanyaan, mana esnya nggak habis-habis lagi. Kan sudah waktunya kabur!
 “Pak, esnya satu!” tiba-tiba seorang cowok penuh peluh duduk di sebelah cewek itu.
“I, iya, Mas.” pak es cincau segera meladeninya dengan sedikit canggung.
Cowok itu hanya tersenyum melihat pak es cincau ketakutan. “Biasa aja Pak, mereka nggak bakal ngapa-ngapain Bapak, kok!”
Meski begitu pak es cincau tetap takut sampai-sampai tangannya gemetar. “Bapak nggak mau dagangan bapak hancur kayak dulu lagi, Mas.” Pak es cincau memberikan gelas pada cowok tadi.
Cewek bertopi biru yang dari tadi hanya mendengarkan kini bertanya lagi. “Pak, apa pihak kampusnya nggak tahu masalah ini?”
Tidak ada respon.
“Apa tidak pernah dicoba untuk mendamaikan mereka, Pak?”
Cowok disebelahnya meneguk habis esnya. “Lo banyak pertanyaan juga ya.” katanya dingin.
“Nggak boleh?” jawaban yang juga dingin.
“Neng ini bukan anak sini, Mas.” ujar pak es cincau segera agar cewek itu tidak diapa-apain.
Cowok itu mengangguk paham. “Nama lo sapa?”
“Memangnya mau apa?” cewek itu balik tanya. “Mau kenalan nih ceritanya?” godanya.
Cowok itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya. “Gue Yoga.”
“Noa, Noa Clover.” cewek yang ternyata bernama Noa itu membalas uluran tangan Yoga.
“Nama lo aneh banget.” kening Yoga berkerut. Yang punya nama hanya tersenyum. “Lo orang Indonesia, khan?”
“Nama kota ini juga aneh.” Komentar Noa pelan.
“Pak, esnya Noa gue yang bayarin, tapi ngutang dulu!” Yoga segera pergi menuju teman-temannya yang masih belum selesai adu jotos.
“Lho! Kok ngutang sih!” teriak Noa. “Dasar nggak sopan!”
“Biar aja, Neng.” pak es cincau tersenyum.
“Tapi, Pak..”
“Nggak papa. Neng tau nggak, Mas Yoga itu ketuanya Geng Timur lho.” pak es cincau terlihat bangga. Tadi takut, sekarang malah bangga. Aneh!
“Hah! Ketua Geng?!” Noa tak percaya. Lalu dikembalikan gelas pak es cincau dan ia langsung pergi meninggalkan tempat itu. “Ketua geng kok ngutang.”
 “Lho, Neng!” teriak pak es cincau. Jarang-jarang ada cewek aneh sekaligus lucu yang beli es dagangannya seperti Noa. Datang tiba-tiba tanpa disadari dan pergi juga tanpa pamitan. Pak es cincau membereskan gelas itu dan begitu ditoleh Noa sudah tak terlihat. Pak es cincau menoleh ke kanan dan kiri. Cepet banget hilangnya, apa dia itu tadi hantu ya? Pak es cincau jadi takut sendiri, tapi siang gini apa ada hantu ya? Atau mungkin saja itu tadi hantu kiriman Tuhan yang marah padanya gara-gara ia mencelaNya tadi? Ah, nggak usah dipikirin, yang penting sekarang kabur!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar