PROLOG
Kota Erlangga suatu hari...
Hari
ini masih tetap panas seperti kemarin. Suhu yang luar biasa hingga dapat
melelehkan es dalam waktu singkat. Untung saja ini di Indonesia, bukan di kutub
utara, bisa leleh semua gunung es di sana dan tenggelamlah daratan di dunia
ini!
Tak hanya es yang mudah mencair,
peluh pun dengan mudah mengalir dari pucuk kepala seorang tukang es cincau yang
berjualan disekitar salah satu perguruan tinggi swasta.“Hari ini memang
benar-benar panas!” keluhnya sebal sembari membereskan barang dagangan. Pikiran penjual itu sangat kacau. Padahal
belum sampai satu jam yang lalu dia berterima kasih pada Tuhan karena hari ini
terik sekali, dengan begitu dagangannya akan cepat habis dan bisa pulang lebih
awal. Tapi kini, meski tidak mau mengakuinya, dia mencela Tuhan karena suhu
yang panas ini juga telah membangunkan amarah tiap mahasiswa di kampus ini.
Terutama anggota geng barat dan geng timur.
Di kota Erlangga ini terdapat
sebuah universitas yang memiliki nama seperti nama kota ini, Universitas
Erlangga. Universitas ini memiliki kampus yang cukup besar. Saat ini suasananya
sedang panas, sepanas emosi anggota kedua geng itu. Sudah bukan rahasia lagi
kalau di kampus ini terdapat dua geng besar yang bermusuhan sejak dulu, tidak
ada yang tahu sejak kapan permusuhan itu terjadi, mungkin sejak kampus ini
dibangun.
Geng barat dan geng timur.
“HOY! JANGAN LARI LO!”
Seorang cowok botak jatuh tak jauh
dari pedagang es cincau tadi. Dia jatuh karena terkena jegal cowok lain yang
tubuhnya lebih besar. Dengan lincah cowok yang lebih besar tadi segera
mencengkram kerah cowok botak itu dan langsung menonjokinya. Tak lama,
cowok-cowok lain ikut mengeroyoknya. Untung saja cowok botak itu tidak
sendirian, beberapa temannya datang dan memberi bantuan. Meski kalah banyak
mereka terus melawan.
Melihat perkelahian tak jauh dari
tempatnya berdagang, Pak Penjual es cincau itu segera pergi. Ia tak mau terkena
imbas dari perkelahian itu. Mencela
Tuhan itu tidak boleh, ia tahu itu, tapi dagangannya belum sampai separuh
terjual dan kini dia harus pulang. Daripada nanti mahasiswa itu berkelahi di
atas es cincaunya! Lalu, siapa yang
dapat ia salahkan sekarang? Mahasiswa itu? Nanti malah dia yang dikeroyok!
Sebenarnya ini bukan pemandangan
baru baginya. Sudah sering ia melihat perkelahian antara geng barat dan geng
timur. Sudah sering juga ia melarikan diri seperti ini. Tapi ia tetap tak tahu
harus mengeluh pada siapa. Jadi tetap saja ia dongkol sendiri dan
ujung-ujungnya juga tetap mengeluh pada Tuhan.
“Pak! Pak! Mau ke mana?” tiba-tiba
seorang anak cewek berambut lurus sebahu dan memakai topi biru menghentikan
aksi kabur tukang es cincau.
Dengan nafas ngos-ngosan ia
menjawab, “Pergi, Neng, lagi ada keributan!” Raut mukanya terlihat antara
marah, sedih dan kecewa. Cewek itu jadi heran, alisnya berkerut.
“Tapi saya mau beli esnya, Pak.”
lanjut cewek itu polos.
Penjual es cincau jadi bingung.
Sekarang dia harus menyelamatkan diri dan dagangannya atau melayani permintaan
cewek itu.
“Ayolah Pak, lagi haus banget nih.”
Lumayan, ada rejeki datang.
Akhirnya penjual es cincau luluh
juga melihat wajah cewek itu yang sepertinya sudah tiga hari tidak minum. “Baik
Neng, tapi minumnya cepetan ya?”
Cewek itu langsung mengangguk dan
tersenyum. Selama penjual es cincau mengambilkan pesanannya, ia terus
memperhatikan segerombolan mahasiswa yang sedang adu jotos tadi sambil mencari
tempat duduk yang nyaman. Dia tidak merasa takut sama sekali. Setelah merasa
nyaman duduk di pinggir trotoar, ia bertanya pada pak es cincau.
“Pak, sebenarnya mereka ngapain
sih?”
Pak es cincau tahu pasti apa yang
dimaksud cewek itu. Sebelum menjawab ia sempat mendengar salah satu dari mereka
yang sedang adu jotos meneriaki lawannya yang mencoba kabur. “Anjing lo! Jangan
kabur!”
“Mereka ya lagi berantem, Neng.”
jawabnya.
“Iya, saya tahu. Tapi kenapa, Pak?”
“Ini Neng, esnya,” Pak es cincau
menyerahkan segelas besar es cincau yang terlihat sangat segar dan nikmat. “Di
sini pemandangan kayak gitu udah biasa, Neng. Jangan kaget! Neng bukan orang
kampus sini ya?”
Cewek itu menggelengkan kepalanya.
“Di kampus sini nih, ada dua geng
besar, namanya Geng Barat dan Geng Timur. Mereka punya daerah kekuasaan
sendiri-sendiri, Neng. Kayaknya sih mereka pada pengen nguasain kampus ini,
jadinya ya mereka saling rebutan daerah kekuasaan gitu. Makanya tiap hari ada
aja kejadian kayak gini.”
“O..gitu.. sejak kapan ada geng
kayak gini, Pak?” tanya cewek itu setelah meneguk esnya.
“Wah, kalo itu saya nggak tau. Tapi
katanya orang sekitar sini sih udah dari dulu banget. Iya, dari pertama kampus
ini dibangun kali, Neng!” jelas Pak es cincau dengan raut muka serius. Terlihat
sekali sedang mengingat keterangan yang didapatnya dari orang-orang sekitar
kampus ini. Cewek itu berpikiran pasti pak penjual es cincau itu pelupa.
“Trus kenapa hari ini mereka ribut
lagi, Pak?”
“Wah, bapak nggak tau pastinya.
Tapi ada gosip kalo anak geng timur mulai merebut daerah anak geng barat yang
dekat kantin. Anak geng barat nggak terima lalu ya seperti yang Neng lihat sekarang.”
“Gitu aja bikin ribut. Kurang
kerjaan banget sih! Pernah dilaporin polisi, Pak?”
Pak penjual es cincau hanya
menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Ternyata cewek ini banyak
pertanyaan, mana esnya nggak habis-habis lagi. Kan sudah waktunya kabur!
“Pak, esnya satu!” tiba-tiba seorang cowok
penuh peluh duduk di sebelah cewek itu.
“I, iya, Mas.” pak es cincau segera
meladeninya dengan sedikit canggung.
Cowok itu hanya tersenyum melihat
pak es cincau ketakutan. “Biasa aja Pak, mereka nggak bakal ngapa-ngapain
Bapak, kok!”
Meski begitu pak es cincau tetap
takut sampai-sampai tangannya gemetar. “Bapak nggak mau dagangan bapak hancur
kayak dulu lagi, Mas.” Pak es cincau memberikan gelas pada cowok tadi.
Cewek bertopi biru yang dari tadi
hanya mendengarkan kini bertanya lagi. “Pak, apa pihak kampusnya nggak tahu
masalah ini?”
Tidak ada respon.
“Apa tidak pernah dicoba untuk
mendamaikan mereka, Pak?”
Cowok disebelahnya meneguk habis
esnya. “Lo banyak pertanyaan juga ya.” katanya dingin.
“Nggak boleh?” jawaban yang juga
dingin.
“Neng ini bukan anak sini, Mas.”
ujar pak es cincau segera agar cewek itu tidak diapa-apain.
Cowok itu mengangguk paham. “Nama
lo sapa?”
“Memangnya mau apa?” cewek itu
balik tanya. “Mau kenalan nih ceritanya?” godanya.
Cowok itu tersenyum lalu
mengulurkan tangannya. “Gue Yoga.”
“Noa, Noa Clover.” cewek yang
ternyata bernama Noa itu membalas uluran tangan Yoga.
“Nama lo aneh banget.” kening Yoga
berkerut. Yang punya nama hanya tersenyum. “Lo orang Indonesia, khan?”
“Nama kota ini juga aneh.” Komentar
Noa pelan.
“Pak, esnya Noa gue yang bayarin,
tapi ngutang dulu!” Yoga segera pergi menuju teman-temannya yang masih belum
selesai adu jotos.
“Lho! Kok ngutang sih!” teriak Noa.
“Dasar nggak sopan!”
“Biar aja, Neng.” pak es cincau
tersenyum.
“Tapi, Pak..”
“Nggak papa. Neng tau nggak, Mas
Yoga itu ketuanya Geng Timur lho.” pak es cincau terlihat bangga. Tadi takut,
sekarang malah bangga. Aneh!
“Hah! Ketua Geng?!” Noa tak
percaya. Lalu dikembalikan gelas pak es cincau dan ia langsung pergi
meninggalkan tempat itu. “Ketua geng kok ngutang.”
“Lho, Neng!” teriak pak es cincau.
Jarang-jarang ada cewek aneh sekaligus lucu yang beli es dagangannya seperti
Noa. Datang tiba-tiba tanpa disadari dan pergi juga tanpa pamitan. Pak es
cincau membereskan gelas itu dan begitu ditoleh Noa sudah tak terlihat. Pak es
cincau menoleh ke kanan dan kiri. Cepet banget hilangnya, apa dia itu tadi
hantu ya? Pak es cincau jadi takut sendiri, tapi siang gini apa ada hantu ya?
Atau mungkin saja itu tadi hantu kiriman Tuhan yang marah padanya gara-gara ia
mencelaNya tadi? Ah, nggak usah dipikirin, yang penting sekarang kabur!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar