LINTANG
Hmm...
Pagi-pagi memang paling enak
sarapan roti tawar sama selai stroberi favorit plus segelas susu cokelat
hangat. Yummy! Tambah asyik lagi kalo ada tontonan kayak gini nih, Mama
ngomelin Kak Bintang. Biasalah, Kak Bintang kesiangan lagi. Dari dulu Mama
tidak suka kalau anaknya telat bangun, tapi Kak Bintang sering banget telat
bangun. Dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Kayaknya memang
Kak Bintang hobi bikin Mama marah. Jadi pengen ketawa nih hehehe...
“Lintang, jangan senyam-senyum,
cepat habisin sarapannya. Sudah siang!” teriak Mama padaku.
Bibirku langsung manyun. Hanya
karena senyum gitu aja sekarang aku kena imbas marah juga. Jadi tidak enak lagi
nih sarapanku.
“Makanya, kalau tidur jangan
malem-malem!”
“Iya iya Ma, besok Bintang tidak
kesiangan lagi!” Kak Bintang bikin janji itu-itu lagi yang sepertinya mustahil
banget terjadi. Kak Bintang khan hobinya tidur. Mungkin biar Mama cepet diem kali ya, Kak Bintang tidak
suka orang yang banyak omong alias cerewet.
Potongan roti terakhir masuk ke
mulut dan aku langsung beranjak dari tempatku. Sudah waktunya berangkat ke
sekolah.
“Lintang! Tidak sopan anak
perempuan makan sambil jalan!” Mama ngomel padaku. “Harusnya kamu bisa contoh
Kakakmu Stary yang benar-benar tahu tata krama!”
Oh... tidak.
Topik pembicaraan yang tak pernah
berubah, tata krama, sopan santun dan, yang paling menyebalkan, Kak Stary.
Segera saja kuambil tas punggungku dan keluar dari ruang makan yang menjadi
menyebalkan ini.
“Bintang, Lintang, hati-hati!”
teriak Papa yang sepertinya baru keluar dari kamar.
“Iya, Pa!” balasku dan Kak Bintang
bersamaan.
Kak Bintang dengan kakinya yang
panjang berjalan cepat di depanku dengan raut muka yang terlihat bete, sama
denganku. Topik Kak Stary tadi sudah melenyapkan moodku hari ini.
Kami berdua berhenti di depan
gerbang rumah yang berwarna hijau sembari menunggu Kak Fadli, teman Kak
Bintang. Kami berdua numpang mobil Kak Fadli. Biasanya aku diantar Kak Bintang
dengan Jazz hitamnya, tapi karena sedang ada di bengkel jadinya ya numpang Kak
Fadli deh!
“Mobil Kakak kenapa sih?” tanyaku
penasaran pada Kak Bintang yang sekarang sibuk memencet HPnya. Dia tidak kasih
alasan yang jelas ke orang rumah tentang penyebab kerusakan mobilnya. “Kok lama
banget di bengkelnya.”
“Rusak,” jawabnya cuek, tetap
konsentrasi pada HPnya.
Selalu jawaban yang sama, rusak.
Sudah pasti mobil yang masuk bengkel kalau bukan untuk servise itu rusak, tapi
yang aku ingin tahu rusak apanya? Mesinnya? Kenapa tidak mau kasih tahu dengan
jelas. Mencurigakan.
Tak lama terdengar suara klakson
dari kijang silver Kak Fadli yang langsung berhenti di depanku dan Kak Bintang.
“Udah lama?” tanya Kak Fadli begitu
kami masuk ke mobilnya.
“Nggak.” jawaban singkat dari Kak
Bintang tetap dengan muka betenya. Kak Fadli hanya tersenyum dan ia langsung
melihatku lewat kaca spion belakang. “Pagi Lintang!” sapanya ceria.
“Pagi Kak.” Balasku dengan senyum
agak maksa.
“Wah, auranya pada jelek semua
nih.” Kak Fadli segera melajukan mobilnya menembus keramaian kota di pagi hari.
Selama di perjalanan Kak Bintang
dan Kak Fadli membicarakan hal tak jelas yang tak kuketahui maksudnya.
Sepertinya sih tentang daerah dan perebutan kekuasaan. Tapi buat apa coba? Kak
Bintang kuliah jurusan statistik, apa ada hubungannya dengan daerah kekuasaan?
Ah, tidak penting, tidak usah dipedulikan. Aku juga bukan orang yang suka
nguping pembicaraan orang.
“Lintang kok diem aja?” tanya Kak Fadli
tiba-tiba.
“Kebanyakan sarapan pisang.” jawab
Kak Bintang.
“Lho, kata orang-orang kalo makan
pisang khan malah bisa bikin banyak ngomong.”
“Itu sih buat burung, Kak.” aku
buka mulut.
“Iya, bener. Burung perkutut gue di
rumah gitu lho!” Kata Fadli. “Paling seneng di kasih makan pisang.”
Kak Bintang memutar badannya menoleh
ke belakang, “Lho, Lintang bukannya burung unta?” katanya dengan muka yang
sengaja dibuat seinnocence mungkin tapi gagal. Langsung saja kuberi hadiah
sebuah tonjokan di pundaknya. Akhirnya setelah itu Kak Bintang tak
henti-hentinya mengolok-olokku dan Kak Fadli sama sekali tidak membantuku, dia
hanya tertawa.
Mood Kak Bintang cepat sekali
berubah, dia terlihat lebih ceria dari tadi di rumah.
Gerbang sekolah sudah ditutup
ketika aku sampai di sekolah. Semua ini gara-gara Kak Bintang yang tadi dengan
sengaja menyuruh Kak Fadli lewat depan Rumah Awan yang berarti harus putar dan
jarak ke sekolah jadi semakin jauh.
“Pak, bukain gerbangnya dong?”
pintaku pada Pak Satpam.
Pak Satpam terlihat heran melihatku
terlambat. Dengan sedikit merengek-rengek akhirnya aku diijinkan masuk dan
langsung saja aku berlari menuju kelasku, XII IA2.
Begitu sampai di depan kelas
ternyata pelajaran sudah dimulai. Aku telat sendirian nih? Kutoleh ke belakang,
siapa tahu ada teman sekelasku yang juga telat, jadi aku tidak harus masuk dan
dimarahin sendirian. Tidak ada siapa-siapa. Aku benar-benar sendirian. Harus
gimana sekarang? Jujur saja, ini pertama kalinya aku telat. Apa nanti kaku
harus ke guru piket dan diberi hukuman?
Lalu kulihat Bu Yuli, guru bahasa
Indonesiaku keluar kelas dan aku langsung bersembunyi di belakang pohon hias di
depan kelas yang tak terlalu tinggi. Sepertinya Bu Yuli pergi ke ruang guru.
Kesempatan bagus! Segera saja aku masuk kelas dan duduk dibangkuku yang ada di
deretan paling depan.
“Tumben telat?” tanya Nana, teman
sebangkuku yang bertubuh mungil.
Kukembangkan senyumku yang paling
lebar lalu tertawa.
“Tang, tumben banget telat?” Mimi,
yang duduk dibelakangku juga terlihat heran.
“Sekali-kali telat boleh, khan?”
jawabku.
“Semalem belajar apaan, Lin? Sampai
telat gini.” tanya Nana lagi.
Sambil mengeluarkan buku pelajaran
Bahasa Indonesia aku menjawab, ”Semalam nggak belajar apa-apa kok.” suaraku
kukeraskan karena kelas sudah mulai berubah fungsi jadi pasar dadakan, rame
banget!
Bu Yuli kembali dan pasar
dadakannya langsung menghilang tanpa bekas. Begitu melihatku sudah ada di
bangkuku, kening Bu Yuli berkerut. “Lintang, sepertinya kamu tadi tidak ada
saat awal pelajaran.”
“Saya dari tadi di sini kok, Bu.” dalihku agar bebas lapor ke guru
piket. Mendengar jawabanku itu beberapa teman sekelasku langsung bersorak
memojokanku. Mereka bilang aku bohong. Memang iya, tapi biar saja. Aku hanya
tersenyum mendengar sorakan mereka.
“Ya sudah, sekarang kumpulkan tugas
teks pidato kalian!” perintah Bu Yuli. “Dan sekarang kita ujian.”
Seluruh kelas langsung heboh. Ujian
dadakan!
“Kok nggak kasih tahu dulu sih,
Bu?” Tari, teman sekelasku yang centil protes, begitu juga yang lain. Mereka
terlihat tidak siap mengerjakan ujian dadakan ini.
“Ibu ingin tahu tingkat kemampuan
kalian.” Bu Yuli sudah keliling kelas memberikan lembar soal. Kulihat soal-soal
yang ada di meja, mirip dengan yang kupelajari minggu lalu. Tidak terlalu
sulit.
======
Bel istirahat berbunyi. Nana langsung menarik
tanganku keluar kelas menuju kantin.
“Ah, leganya.” Nana menggeliatkan
tubuhnya. “Makasih ya tadi udah kasih aku contekan.”
“Sama-sama. Tapi lain kali nggak
bakal aku contekin lagi.” jawabku sambil tersenyum tapi senyumku langsung
lenyap ketika tiba-tiba dari koridor
menuju toilet tanpa sengaja ada seseorang menabrakku hingga kami jatuh.
“ADUH!” teriak kami bareng.
Aku meringis kesakitan, Nana segera
menolongku berdiri. Pantatku sakit.
“Kamu nggak papa, Lin?” tanya Nana.
Aku menggeleng sambil memegangi
pantatku dan membersihkannya dari debu.
“Kalo jalan hati-hati dong!” orang
yang menabrakku tadi berteriak marah padaku. Sebenarnya aku ingin minta maaf,
tapi begitu tahu orang itu adalah dia, tidak mungkin aku minta maaf!
“Kok malah marah-marah sih!”
balasku teriak. “Harusnya kamu minta maaf!”
“Minta maaf?” ujarnya dengan senyum
sinis sambil membetulkan letak kacamatanya. “Lo yang jalannya ngloyor kok gue
yang harus minta maaf?”
“Apa
tidak bisa liat, ada orang segede ini di jalan. Oh.. Apa kacamatanya kurang
tebel?” ejekku sinis. Dia yang salah kok!
Wajah
Faya terlihat merah, kayaknya dia beneran marah. Masa bodoh.
“Kenapa Fay, minus matamu tambah parah ya? Apa
mau kuanter ke dokter mata?” Aku tahu betul dalam keadaan seperti ini aku tidak
bisa mengendalikan perkataanku.
“Hati-hati sama lidah lo!” ujarnya menahan marah.
“Hati-hati sama lidah lo!” ujarnya menahan marah.
Aku mulai berkacak pinggang.
“Memangnya kenapa?” tantangku. ”Ayo, kuanter ke dokter mata, udah buka lho jam
segini.”
Saat Faya terlihat akan
menyerangku, Nana segera menarikku menjauh. “Udah, Lin! Ayo pergi!” Aku tetap
berdiri ditempatku tapi tarikan Nana makin kuat, hingga akhirnya aku pergi
meninggalkan Faya yang tetap menatapku dengan mata tajamnya.
=======
“Kok kamu narik aku pergi sih?”
ujarku kesal. “Harusnya tadi aku bisa liat mukanya yang udah kayak udang rebus
itu tambah merah lagi!”
“Udahlah Lin, ngladenin Faya pasti tidak ada
habisnya.” Kata Nana cuek menatap lurus ke depan. “Kalau nggak kutarik tadi pasti
kalian bakal jambak-jambakan kayak minggu lalu.”
Jadi ingat peristiwa minggu lalu.
Kami ribut, parah banget ributnya, karena Faya pikir aku halangi jalannya pas
dia mau pergi ke ruang guru. Hal yang simple banget. Ah, tidak usah diingat
lagi. Spontan, kutepuk jidatku sendiri. “Ya ampun! Harusnya tadi kufoto
wajahnya, trus dipajang di mading. Pasti lucu.” aku tertawa sendiri
membayangkan reaksi Faya kalau hal itu benar-benar terjadi. Pasti dia malu
setengah mati.
“Aduh Lintang, jangan mikir yang
aneh-aneh deh.”
“Biarin aja! Sapa dulu yang ngajak
musuhan!” kataku sewot.
Di kantin aku dan Nana langsung
memesan bakso versi jumbo. Ternyata adu mulut dengan Faya, meski cuma sebentar,
bener-bener menguras tenagaku. Lebih melelahkan dibanding saat ujian tadi.
“Ntar kamu pasti ujiannya dapat
bagus lagi deh.” ujar Nana sambil mengunyah baksonya.
Aku hanya tersenyum senang
mendengarnya. Well, bukannya sombong, tapi otakku ini lumayan encer daripada
teman-temanku. Aku bisa menyerap pelajaran dengan cepat dengan mudah.
Beda dengan Nana. Dia agak lambat
dalam pelajaran tapi hebat banget masalah makan. Kami berdua sudah sekelas
sejak kelas satu, sama Faya juga. Kami dulu satu kelas tapi mulai kelas tiga
kami sudah di kelas yang berbeda.
Aku tidak tahu kenapa sejak kelas
satu dulu Faya sudah tidak suka padaku, padahal aku tidak melakukan apa-apa
padanya. Hari pertama MOS aku berkenalan dengan anak seluruh kelas dan
juga dengan Faya.
Waktu itu aku kaget sekali. Dia
sama sekali tidak ramah seperti yang lain. Tanganku yang terulur ingin
mengenalkan diri saja ditolaknya mentah-mentah. Nah, siapa yang tidak kaget
coba? Kenal saja belum tapi sudah dimusuhin. Aku hanya ingin kenalan, memangnya
aku salah? Tanyaku waktu itu pada teman-teman yang lain, tapi tentu saja mereka
bilang aku tidak salah apa-apa. Mereka juga bingung melihat tingkahnya.
Lalu ketika hari pertama pelajaran
dimulai dia tidak kehabisan buku paket Bahasa Indonesia yang dipinjam dari
perpustakaan untuk mengerjakan tugas dan aku mencoba menawarkan bukuku padanya,
tapi ditolak mentah-mentah lagi. Dia lebih suka tidak mengikuti pelajaran dan
pergi ke kantin daripada berbagi buku denganku. Sejak hari itu kami tidak
pernah bicara sebagai seorang teman. Aku sudah mencoba baik sama dia, berteman
dengannya, tapi dia tetap saja menganggap aku musuhnya. Lalu, suatu waktu,
sengaja atau tidak, ketika pelajaran olah raga dia jegal aku sampai kakiku
terkilir. Habis sudah kesabaranku. Mulai hari itu juga dia jadi musuhku!
Padahal akan lebih bagus kalau kami
bisa berteman. Aku tidak pernah ingin punya musuh.
“Eh, Na, katanya nanti jam terakhir
kosong ya?” tanyaku setelah bakso dimulutku habis. Lho? Nana yang duduk di
sebelahku tiba-tiba menghilang? Perasaan baru saja dia masih ada di sebelahku.
Kuputar kepalaku ke segala arah dan
diantara murid yang berjibun tidak keruan di kantin ini akhirnya kutemukan juga
sosok mungil Nana, di samping gerobak baksonya Pak Tejo. Pasti pesan bakso
lagi. Nafsu makan Nana gede banget, sekali makan bisa sampai 3 mangkuk! Wow,
tapi untungnya badannya tetep saja kecil
mungil kayak kurcaci. Enak banget ya, bisa makan banyak tapi tidak bisa gendut.
Nana kembali dengan semangkok bakso
yang masih mengeluarkan asap hangatnya. “Sori Lin, masih laper, hehe.”
senyumnya lebar banget. “Ntar jam terakhir kosong lho.”
Topiknya pas banget. “Beneran?”
tanyaku penuh harap.
Nana mengangguk dan memainkan garpu
yang ada baksonya. “Iya, kata anak IA3 Bu Ratna lagi sakit dan nggak ada
tugas.” katanya penuh semangat.
“Beneran?” tanyaku lagi penuh
harap.
“Iya!”
Kami berdua bersorak kegirangan
seperti anak kecil dapat barbie baru. Seluruh isi kantin langsung
memperhatikan, kami diam dan tertawa cekikikan tanpa suara.
“Lin, ternyata kamu masih normal
juga ya, kayak anak-anak biasanya.”
Keningku berkerut. “Maksudnya?”
Nana menggeser mangkok kosong kedua
dari depannya. “Biasanya anak pinter tuh nggak suka lho kalau jam kosong atau
nggak ada PR. Mereka jadi nggak punya sesuatu untuk dinikmati, tidak ada hal
yang nyenengin mereka gitu deh. Pasti bagi mereka dunia seperti mau kiamat.
Mungkin seperti nggak bisa makan seminggu penuh. Kalo gitu sih pasti aku nggak
mau! Bla bla bla”
Nana masih terus mengoceh hal yang
tidak jelas. Nih anak memang lugu, polos atau malah bego sih? “Ya nggak sampe
segitu kali, Na.”
Sepulang sekolah aku tidak langsung
pulang ke rumah. Ini adalah kesempatan untuk main ke Rumah Awan. Setelah
menelepon Kak Bintang dan mengatakan kalau nanti pulang sekolah tidak perlu
dijemput, dengan diantar Nana aku segera meluncur ke Rumah Awan. Seperti biasa,
Nana tidak mau kuajak, dia hanya mau mengantarku saja.
Nana belum pernah masuk ke dalam
Rumah Awan. Jika ditanya kenapa tidak mau ikut masuk alasannya pasti sama,
“Bukan aku banget sih.”.
Padahal Rumah Awan adalah tempat
yang sangat menyenangkan.
Rumah Awan itu adalah sanggar lukis
milik Mbak Ayu yang letaknya tidak
begitu jauh dari sekolahku. Tempatnya tidak terlalu luas tapi nyaman. Dulu aku
tahu tempat itu dari Kak Stary. Waktu kelas dua SMP aku diajak ke sana dan aku
langsung jatuh cinta pada tempat itu. Untuk alasan yang satu ini aku
bener-bener berterima kasih pada Kak Stary. Jarak dari sekolah hanya sekitar 15
menit, kadang aku jalan kaki ke sana.
“Makasih, Na.” Kataku saat turun
dari mobil. Nana tersenyum dan melambaikan tangannya.
Aku langsung menarik nafas panjang
menghirup aroma Rumah Awan yang khas ini. Campuran antara cat lukis, bunga
kamboja dan asap dupa. Tempat ini di desain ala rumah Bali, karena memang Mbak
Ayu itu berasal dari Bali. Pintu masuknya seperti gapura kecil berwarna cerah
dengan empat anak tangga dan ukiran khas Bali. Pokoknya mirip rumah-rumah khas
di Pulau Bali. Begitu masuk senyumku langsung mengembang. Serasa ada di Pulau
Bali beneran.
Kulihat beberapa orang tengah sibuk melukis di
tempat yang berbeda-beda. Di bawah pohon kamboja, di samping tempat Mbak Ayu
sembahyang, dan ada juga yang sibuk melukis di dekat rumah mirip joglo yang
ada di tengah Rumah Awan. Aku kenal
beberapa dari mereka. Salah satunya Dani yang ada di dekat gerbang Rumah Awan.
Kuhampiri dia sebentar. Dia sedang melukis seorang remaja cowok yang duduk di
halte bus dan bermain gitar. Remaja cowok itu terlihat kesepian.
“Hai Dan.”
Dani tidak menoleh dan terus
melukis. “Hai Lin. Kok sudah pulang?”
“Gurunya lagi sakit.” jawabku
sambil terus memperhatikan gerakan tangannya yang lues menggoreskan cat minyat
ke kanvas. Dani ini mahasiswa seni rupa yang juga aktif ikut mengurus Rumah
Awan membantu Mbak Ayu. Tubuhnya kecil, jangkung dengan banyak tindikan di
kupingnya. Mama selalu menyuruhku memanggil orang yang lebih tua dengan
panggilan yang sopan. Kakak, Mbak, Mas, Tante, Oom, atau Kakek Nenek, lebih
sopan lebih baik katanya. Tapi Dani ini tidak mau dipanggil Kak Dani, katanya
biar lebih akrab. Aku sih oke aja, asal tidak ketahuan Mama. Dani orangnya
asyik, ramah dan baik banget.
“Mbak Ayu di dalem?” tanyaku.
Tangan Dani berhenti mengusapkan
cat di kanvas lalu menoleh padaku. “Sepertinya tadi ada tapi bentar lagi mau
keluar.” Jawabnya.
“Aku ke sana dulu ya.” tunjukku
pada bagian dalam Rumah Awan. Dani mengangguk pelan lalu langsung meneruskan
aktivitasnya yang sempat tertunda.
Aku selalu suka tempat ini, suka
sekali. Kantor Mbak Ayu ada di dalam rumah seperti joglo dan ada juga beberapa lukisan yang di pajang
di sana. Lukisan yang terletak tepat ditengah, sehingga setiap datang ke rumah
ini hal pertama yang terlihat adalah lukisan bernama Awan ini, berukuran besar.
Kata Mbak Ayu dulu, ukurannya kira-kira setengah dari lukisan Last Supper karya
Leonardo da Vinci yang berukuran 421x903 cm.
Awan ini karya terbesar Mbak Ayu
sejak sanggar ini mulai dibentuk tiga tahun yang lalu. Awan ini juga merupakan
simbol sanggar ini dan dari nama lukisan ini jugalah nama Rumah Awan diambil.
Awan sangat indah. Sesuai dengan
namanya, lukisan ini hanya berisi langit biru dan kumpulan awan putih. Setiap
kali aku ke sini pasti sebagian besar waktu kugunakan untuk menikmati lukisan
ini. Kalau memandangnya terus menerus, rasanya aku seperti bisa menembus kaca
yang melindungi lukisan itu, merasakan lembutnya awan putih dan selalu
membuatku merasa terbang di antara awan-awan itu. Tanpa ada seorangpun yang
menggangguku. Seperti mendapatkan kebebasan tak terbatas.
“Tidak bosan lihat Awan terus?”
Aku langsung tersadar dari
lamunanku. Tanpa kusadari tanganku sudah menyentuh kaca pigora. Mungkin ini
sebabnya Mbak Ayu memakai pigora yang benar-benar tepat, agar lukisannya tetap
aman dari tangan manusia.
Kulihat Mbak Ayu telah berdiri di
sampingku menatap Awan. Seperti biasa, Mbak Ayu terlihat sangat cantik dan
dewasa. Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya hitam panjang dan kakinya bagus sekali. Rambutnya kali ini
dikepang, membuat penampilan Mbak Ayu yang memakai pakaian tradisional Bali
terlihat elegan dan cantik sekali.
Kebaya putih dan jarit batik warna
hitam itu sangat pas di badannya. Jujur saja, aku juga ingin cantik, dewasa dan
menjadi wanita hebat sepertinya. Mbak Ayu
yang berumur 26 tahun ini benar-benar sosok wanita sempurna! Seperti
angel! Perfect banget!
Tapi sayangnya masih jomblo. Apa
tidak ada yang bisa melihat kesempurnaannya itu? Menurutku Kak Stary saja
kalah. Apa cowok-cowok sudah buta semua,
tidak bisa melihat kesempurnaan Mbak Ayu?
Mbak Ayu sadar kuperhatikan, ia
menoleh dan tersenyum padaku. “Tidak
bosen lihat Awan terus?” ulangnya.
Oh ya, tadi dia bertanya. “Nggak
kok, Mbak.” jawabku akhirnya. Aku tidak akan pernah bosan melihatnya. “Sudah kangen banget pengen liat Awan.”
“Kok sudah pulang sekolah?”
“Gurunya sakit, jadi bisa pulang
cepat.”
“Mbak Ayu!” dari jauh seorang
laki-laki memanggilnya. Laki-laki yang bertubuh tinggi besar itu formal sekali.
Dia memakai pakaian ala kantor dengan jas hitamnya yang klimis. Penampilan yang
tidak cocok dengan tempat ini. Lagipula apa tidak panas memakai baju kayak itu?
Mbak Ayu hanya mengangguk dan
tersenyum menanggapi panggilan tadi. “Hari ini mau melukis?” tanyanya padaku
lagi.
Aku menggelengkan kepala. “Lagi
malas, cuma liat-liat saja.”
“Ya sudah, kamu senang-senang saja
ya, Mbak mau keluar dulu.”
Kuperhatikan Mbak Ayu keluar Rumah
Awan bersama laki-laki berjas tadi. Siapa ya laki-laki itu? Apa pacarnya Mbak
Ayu? Tapi orang itu terlihat sudah cukup tua, pasti sudah lima puluh tahun
lebih dan sepertinya tidak cocok dengan Mbak Ayu. Ah, sudahlah, biar saja. Itu
urusan Mbak Ayu.
Kualihkan pandanganku ke Awan,
kusentuh kaca pigora itu lagi.
Aku ingin
seperti Awan, bebas...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar