Senin, 21 Juli 2014

Rumah Awan : 2 - Lintang



LINTANG

Hmm...
Pagi-pagi memang paling enak sarapan roti tawar sama selai stroberi favorit plus segelas susu cokelat hangat. Yummy! Tambah asyik lagi kalo ada tontonan kayak gini nih, Mama ngomelin Kak Bintang. Biasalah, Kak Bintang kesiangan lagi. Dari dulu Mama tidak suka kalau anaknya telat bangun, tapi Kak Bintang sering banget telat bangun. Dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Kayaknya  memang  Kak Bintang hobi bikin Mama marah. Jadi pengen ketawa nih hehehe...
“Lintang, jangan senyam-senyum, cepat habisin sarapannya. Sudah siang!” teriak Mama padaku.
Bibirku langsung manyun. Hanya karena senyum gitu aja sekarang aku kena imbas marah juga. Jadi tidak enak lagi nih sarapanku.
“Makanya, kalau tidur jangan malem-malem!”
“Iya iya Ma, besok Bintang tidak kesiangan lagi!” Kak Bintang bikin janji itu-itu lagi yang sepertinya mustahil banget terjadi. Kak Bintang khan hobinya tidur. Mungkin biar  Mama cepet diem kali ya, Kak Bintang tidak suka orang yang banyak omong alias cerewet.
Potongan roti terakhir masuk ke mulut dan aku langsung beranjak dari tempatku. Sudah waktunya berangkat ke sekolah.
“Lintang! Tidak sopan anak perempuan makan sambil jalan!” Mama ngomel padaku. “Harusnya kamu bisa contoh Kakakmu Stary yang benar-benar tahu tata krama!”
Oh... tidak.
Topik pembicaraan yang tak pernah berubah, tata krama, sopan santun dan, yang paling menyebalkan, Kak Stary. Segera saja kuambil tas punggungku dan keluar dari ruang makan yang menjadi menyebalkan ini.
“Bintang, Lintang, hati-hati!” teriak Papa yang sepertinya baru keluar dari kamar.
“Iya, Pa!” balasku dan Kak Bintang bersamaan.
Kak Bintang dengan kakinya yang panjang berjalan cepat di depanku dengan raut muka yang terlihat bete, sama denganku. Topik Kak Stary tadi sudah melenyapkan moodku hari ini.
Kami berdua berhenti di depan gerbang rumah yang berwarna hijau sembari menunggu Kak Fadli, teman Kak Bintang. Kami berdua numpang mobil Kak Fadli. Biasanya aku diantar Kak Bintang dengan Jazz hitamnya, tapi karena sedang ada di bengkel jadinya ya numpang Kak Fadli deh!
“Mobil Kakak kenapa sih?” tanyaku penasaran pada Kak Bintang yang sekarang sibuk memencet HPnya. Dia tidak kasih alasan yang jelas ke orang rumah tentang penyebab kerusakan mobilnya. “Kok lama banget di bengkelnya.”
“Rusak,” jawabnya cuek, tetap konsentrasi pada HPnya.
Selalu jawaban yang sama, rusak. Sudah pasti mobil yang masuk bengkel kalau bukan untuk servise itu rusak, tapi yang aku ingin tahu rusak apanya? Mesinnya? Kenapa tidak mau kasih tahu dengan jelas. Mencurigakan.
Tak lama terdengar suara klakson dari kijang silver Kak Fadli yang langsung berhenti di depanku dan Kak Bintang.
“Udah lama?” tanya Kak Fadli begitu kami masuk ke mobilnya.
“Nggak.” jawaban singkat dari Kak Bintang tetap dengan muka betenya. Kak Fadli hanya tersenyum dan ia langsung melihatku lewat kaca spion belakang. “Pagi Lintang!” sapanya ceria.
“Pagi Kak.” Balasku dengan senyum agak maksa.
“Wah, auranya pada jelek semua nih.” Kak Fadli segera melajukan mobilnya menembus keramaian kota di pagi hari.
Selama di perjalanan Kak Bintang dan Kak Fadli membicarakan hal tak jelas yang tak kuketahui maksudnya. Sepertinya sih tentang daerah dan perebutan kekuasaan. Tapi buat apa coba? Kak Bintang kuliah jurusan statistik, apa ada hubungannya dengan daerah kekuasaan? Ah, tidak penting, tidak usah dipedulikan. Aku juga bukan orang yang suka nguping pembicaraan orang.
 “Lintang kok diem aja?” tanya Kak Fadli tiba-tiba.
“Kebanyakan sarapan pisang.” jawab Kak Bintang.
“Lho, kata orang-orang kalo makan pisang khan malah bisa bikin banyak ngomong.”
“Itu sih buat burung, Kak.” aku buka mulut.
“Iya, bener. Burung perkutut gue di rumah gitu lho!” Kata Fadli. “Paling seneng di kasih makan pisang.”
Kak Bintang memutar badannya menoleh ke belakang, “Lho, Lintang bukannya burung unta?” katanya dengan muka yang sengaja dibuat seinnocence mungkin tapi gagal. Langsung saja kuberi hadiah sebuah tonjokan di pundaknya. Akhirnya setelah itu Kak Bintang tak henti-hentinya mengolok-olokku dan Kak Fadli sama sekali tidak membantuku, dia hanya tertawa.
Mood Kak Bintang cepat sekali berubah, dia terlihat lebih ceria dari tadi di rumah.
Gerbang sekolah sudah ditutup ketika aku sampai di sekolah. Semua ini gara-gara Kak Bintang yang tadi dengan sengaja menyuruh Kak Fadli lewat depan Rumah Awan yang berarti harus putar dan jarak ke sekolah jadi semakin jauh.
“Pak, bukain gerbangnya dong?” pintaku pada Pak Satpam.
Pak Satpam terlihat heran melihatku terlambat. Dengan sedikit merengek-rengek akhirnya aku diijinkan masuk dan langsung saja aku berlari menuju kelasku, XII IA2.
Begitu sampai di depan kelas ternyata pelajaran sudah dimulai. Aku telat sendirian nih? Kutoleh ke belakang, siapa tahu ada teman sekelasku yang juga telat, jadi aku tidak harus masuk dan dimarahin sendirian. Tidak ada siapa-siapa. Aku benar-benar sendirian. Harus gimana sekarang? Jujur saja, ini pertama kalinya aku telat. Apa nanti kaku harus ke guru piket dan diberi hukuman?
Lalu kulihat Bu Yuli, guru bahasa Indonesiaku keluar kelas dan aku langsung bersembunyi di belakang pohon hias di depan kelas yang tak terlalu tinggi. Sepertinya Bu Yuli pergi ke ruang guru. Kesempatan bagus! Segera saja aku masuk kelas dan duduk dibangkuku yang ada di deretan paling depan.
“Tumben telat?” tanya Nana, teman sebangkuku yang bertubuh mungil.
Kukembangkan senyumku yang paling lebar lalu tertawa.
“Tang, tumben banget telat?” Mimi, yang duduk dibelakangku juga terlihat heran.
“Sekali-kali telat boleh, khan?” jawabku.
“Semalem belajar apaan, Lin? Sampai telat gini.” tanya Nana lagi.
Sambil mengeluarkan buku pelajaran Bahasa Indonesia aku menjawab, ”Semalam nggak belajar apa-apa kok.” suaraku kukeraskan karena kelas sudah mulai berubah fungsi jadi pasar dadakan, rame banget!
Bu Yuli kembali dan pasar dadakannya langsung menghilang tanpa bekas. Begitu melihatku sudah ada di bangkuku, kening Bu Yuli berkerut. “Lintang, sepertinya kamu tadi tidak ada saat awal pelajaran.”
  “Saya dari tadi di sini kok, Bu.” dalihku agar bebas lapor ke guru piket. Mendengar jawabanku itu beberapa teman sekelasku langsung bersorak memojokanku. Mereka bilang aku bohong. Memang iya, tapi biar saja. Aku hanya tersenyum mendengar sorakan mereka.
“Ya sudah, sekarang kumpulkan tugas teks pidato kalian!” perintah Bu Yuli. “Dan sekarang kita ujian.”
Seluruh kelas langsung heboh. Ujian dadakan!
“Kok nggak kasih tahu dulu sih, Bu?” Tari, teman sekelasku yang centil protes, begitu juga yang lain. Mereka terlihat tidak siap mengerjakan ujian dadakan ini.
“Ibu ingin tahu tingkat kemampuan kalian.” Bu Yuli sudah keliling kelas memberikan lembar soal. Kulihat soal-soal yang ada di meja, mirip dengan yang kupelajari minggu lalu. Tidak terlalu sulit.
======
 Bel istirahat berbunyi. Nana langsung menarik tanganku keluar kelas menuju kantin.
“Ah, leganya.” Nana menggeliatkan tubuhnya. “Makasih ya tadi udah kasih aku contekan.”
“Sama-sama. Tapi lain kali nggak bakal aku contekin lagi.” jawabku sambil tersenyum tapi senyumku langsung lenyap ketika tiba-tiba dari koridor  menuju toilet tanpa sengaja ada seseorang menabrakku hingga kami jatuh.
“ADUH!” teriak kami bareng.
Aku meringis kesakitan, Nana segera menolongku berdiri. Pantatku sakit.
“Kamu nggak papa, Lin?” tanya Nana.
Aku menggeleng sambil memegangi pantatku dan membersihkannya dari debu.
“Kalo jalan hati-hati dong!” orang yang menabrakku tadi berteriak marah padaku. Sebenarnya aku ingin minta maaf, tapi begitu tahu orang itu adalah dia, tidak mungkin aku minta maaf!
“Kok malah marah-marah sih!” balasku teriak. “Harusnya kamu minta maaf!”
“Minta maaf?” ujarnya dengan senyum sinis sambil membetulkan letak kacamatanya. “Lo yang jalannya ngloyor kok gue yang harus minta maaf?”
“Apa tidak bisa liat, ada orang segede ini di jalan. Oh.. Apa kacamatanya kurang tebel?” ejekku sinis. Dia yang salah kok!
Wajah Faya terlihat merah, kayaknya dia beneran marah. Masa bodoh.
 “Kenapa Fay, minus matamu tambah parah ya? Apa mau kuanter ke dokter mata?” Aku tahu betul dalam keadaan seperti ini aku tidak bisa mengendalikan perkataanku.
            “Hati-hati sama lidah lo!” ujarnya menahan marah.
Aku mulai berkacak pinggang. “Memangnya kenapa?” tantangku. ”Ayo, kuanter ke dokter mata, udah buka lho jam segini.”
Saat Faya terlihat akan menyerangku, Nana segera menarikku menjauh. “Udah, Lin! Ayo pergi!” Aku tetap berdiri ditempatku tapi tarikan Nana makin kuat, hingga akhirnya aku pergi meninggalkan Faya yang tetap menatapku dengan mata tajamnya.
=======
“Kok kamu narik aku pergi sih?” ujarku kesal. “Harusnya tadi aku bisa liat mukanya yang udah kayak udang rebus itu tambah merah lagi!”
 “Udahlah Lin, ngladenin Faya pasti tidak ada habisnya.” Kata Nana cuek menatap lurus ke depan. “Kalau nggak kutarik tadi pasti kalian bakal jambak-jambakan kayak minggu lalu.”
Jadi ingat peristiwa minggu lalu. Kami ribut, parah banget ributnya, karena Faya pikir aku halangi jalannya pas dia mau pergi ke ruang guru. Hal yang simple banget. Ah, tidak usah diingat lagi. Spontan, kutepuk jidatku sendiri. “Ya ampun! Harusnya tadi kufoto wajahnya, trus dipajang di mading. Pasti lucu.” aku tertawa sendiri membayangkan reaksi Faya kalau hal itu benar-benar terjadi. Pasti dia malu setengah mati.
“Aduh Lintang, jangan mikir yang aneh-aneh deh.”
“Biarin aja! Sapa dulu yang ngajak musuhan!” kataku sewot.
Di kantin aku dan Nana langsung memesan bakso versi jumbo. Ternyata adu mulut dengan Faya, meski cuma sebentar, bener-bener menguras tenagaku. Lebih melelahkan dibanding saat ujian tadi.
“Ntar kamu pasti ujiannya dapat bagus lagi deh.” ujar Nana sambil mengunyah baksonya.
Aku hanya tersenyum senang mendengarnya. Well, bukannya sombong, tapi otakku ini lumayan encer daripada teman-temanku. Aku bisa menyerap pelajaran dengan cepat dengan mudah.
Beda dengan Nana. Dia agak lambat dalam pelajaran tapi hebat banget masalah makan. Kami berdua sudah sekelas sejak kelas satu, sama Faya juga. Kami dulu satu kelas tapi mulai kelas tiga kami sudah di kelas yang berbeda.
Aku tidak tahu kenapa sejak kelas satu dulu Faya sudah tidak suka padaku, padahal aku tidak melakukan apa-apa padanya. Hari pertama MOS aku berkenalan dengan anak seluruh kelas dan juga  dengan Faya.
Waktu itu aku kaget sekali. Dia sama sekali tidak ramah seperti yang lain. Tanganku yang terulur ingin mengenalkan diri saja ditolaknya mentah-mentah. Nah, siapa yang tidak kaget coba? Kenal saja belum tapi sudah dimusuhin. Aku hanya ingin kenalan, memangnya aku salah? Tanyaku waktu itu pada teman-teman yang lain, tapi tentu saja mereka bilang aku tidak salah apa-apa. Mereka juga bingung melihat tingkahnya.
Lalu ketika hari pertama pelajaran dimulai dia tidak kehabisan buku paket Bahasa Indonesia yang dipinjam dari perpustakaan untuk mengerjakan tugas dan aku mencoba menawarkan bukuku padanya, tapi ditolak mentah-mentah lagi. Dia lebih suka tidak mengikuti pelajaran dan pergi ke kantin daripada berbagi buku denganku. Sejak hari itu kami tidak pernah bicara sebagai seorang teman. Aku sudah mencoba baik sama dia, berteman dengannya, tapi dia tetap saja menganggap aku musuhnya. Lalu, suatu waktu, sengaja atau tidak, ketika pelajaran olah raga dia jegal aku sampai kakiku terkilir. Habis sudah kesabaranku. Mulai hari itu juga dia jadi musuhku!
Padahal akan lebih bagus kalau kami bisa berteman. Aku tidak pernah ingin punya musuh.
“Eh, Na, katanya nanti jam terakhir kosong ya?” tanyaku setelah bakso dimulutku habis. Lho? Nana yang duduk di sebelahku tiba-tiba menghilang? Perasaan baru saja dia masih ada di sebelahku.
Kuputar kepalaku ke segala arah dan diantara murid yang berjibun tidak keruan di kantin ini akhirnya kutemukan juga sosok mungil Nana, di samping gerobak baksonya Pak Tejo. Pasti pesan bakso lagi. Nafsu makan Nana gede banget, sekali makan bisa sampai 3 mangkuk! Wow, tapi untungnya  badannya tetep saja kecil mungil kayak kurcaci. Enak banget ya, bisa makan banyak tapi tidak bisa gendut.
Nana kembali dengan semangkok bakso yang masih mengeluarkan asap hangatnya. “Sori Lin, masih laper, hehe.” senyumnya lebar banget. “Ntar jam terakhir kosong lho.”
Topiknya pas banget. “Beneran?” tanyaku penuh harap.
Nana mengangguk dan memainkan garpu yang ada baksonya. “Iya, kata anak IA3 Bu Ratna lagi sakit dan nggak ada tugas.” katanya penuh semangat.
“Beneran?” tanyaku lagi penuh harap.
“Iya!”
Kami berdua bersorak kegirangan seperti anak kecil dapat barbie baru. Seluruh isi kantin langsung memperhatikan, kami diam dan tertawa cekikikan tanpa suara.
“Lin, ternyata kamu masih normal juga ya, kayak anak-anak biasanya.”
Keningku berkerut. “Maksudnya?”
Nana menggeser mangkok kosong kedua dari depannya. “Biasanya anak pinter tuh nggak suka lho kalau jam kosong atau nggak ada PR. Mereka jadi nggak punya sesuatu untuk dinikmati, tidak ada hal yang nyenengin mereka gitu deh. Pasti bagi mereka dunia seperti mau kiamat. Mungkin seperti nggak bisa makan seminggu penuh. Kalo gitu sih pasti aku nggak mau! Bla bla bla”
Nana masih terus mengoceh hal yang tidak jelas. Nih anak memang lugu, polos atau malah bego sih? “Ya nggak sampe segitu kali, Na.”
Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang ke rumah. Ini adalah kesempatan untuk main ke Rumah Awan. Setelah menelepon Kak Bintang dan mengatakan kalau nanti pulang sekolah tidak perlu dijemput, dengan diantar Nana aku segera meluncur ke Rumah Awan. Seperti biasa, Nana tidak mau kuajak, dia hanya mau mengantarku saja.
Nana belum pernah masuk ke dalam Rumah Awan. Jika ditanya kenapa tidak mau ikut masuk alasannya pasti sama, “Bukan aku banget sih.”.
Padahal Rumah Awan adalah tempat yang sangat menyenangkan.
Rumah Awan itu adalah sanggar lukis milik Mbak Ayu  yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolahku. Tempatnya tidak terlalu luas tapi nyaman. Dulu aku tahu tempat itu dari Kak Stary. Waktu kelas dua SMP aku diajak ke sana dan aku langsung jatuh cinta pada tempat itu. Untuk alasan yang satu ini aku bener-bener berterima kasih pada Kak Stary. Jarak dari sekolah hanya sekitar 15 menit, kadang aku jalan kaki ke sana.
“Makasih, Na.” Kataku saat turun dari mobil. Nana tersenyum dan melambaikan tangannya.
Aku langsung menarik nafas panjang menghirup aroma Rumah Awan yang khas ini. Campuran antara cat lukis, bunga kamboja dan asap dupa. Tempat ini di desain ala rumah Bali, karena memang Mbak Ayu itu berasal dari Bali. Pintu masuknya seperti gapura kecil berwarna cerah dengan empat anak tangga dan ukiran khas Bali. Pokoknya mirip rumah-rumah khas di Pulau Bali. Begitu masuk senyumku langsung mengembang. Serasa ada di Pulau Bali beneran.
 Kulihat beberapa orang tengah sibuk melukis di tempat yang berbeda-beda. Di bawah pohon kamboja, di samping tempat Mbak Ayu sembahyang, dan ada juga yang sibuk melukis di dekat rumah mirip joglo yang ada  di tengah Rumah Awan. Aku kenal beberapa dari mereka. Salah satunya Dani yang ada di dekat gerbang Rumah Awan. Kuhampiri dia sebentar. Dia sedang melukis seorang remaja cowok yang duduk di halte bus dan bermain gitar. Remaja cowok itu terlihat kesepian.
“Hai Dan.”
Dani tidak menoleh dan terus melukis. “Hai Lin. Kok sudah pulang?”
“Gurunya lagi sakit.” jawabku sambil terus memperhatikan gerakan tangannya yang lues menggoreskan cat minyat ke kanvas. Dani ini mahasiswa seni rupa yang juga aktif ikut mengurus Rumah Awan membantu Mbak Ayu. Tubuhnya kecil, jangkung dengan banyak tindikan di kupingnya. Mama selalu menyuruhku memanggil orang yang lebih tua dengan panggilan yang sopan. Kakak, Mbak, Mas, Tante, Oom, atau Kakek Nenek, lebih sopan lebih baik katanya. Tapi Dani ini tidak mau dipanggil Kak Dani, katanya biar lebih akrab. Aku sih oke aja, asal tidak ketahuan Mama. Dani orangnya asyik, ramah dan baik banget.
“Mbak Ayu di dalem?” tanyaku.
Tangan Dani berhenti mengusapkan cat di kanvas lalu menoleh padaku. “Sepertinya tadi ada tapi bentar lagi mau keluar.” Jawabnya.
“Aku ke sana dulu ya.” tunjukku pada bagian dalam Rumah Awan. Dani mengangguk pelan lalu langsung meneruskan aktivitasnya yang sempat tertunda.
Aku selalu suka tempat ini, suka sekali. Kantor Mbak Ayu ada di dalam rumah seperti joglo  dan ada juga beberapa lukisan yang di pajang di sana. Lukisan yang terletak tepat ditengah, sehingga setiap datang ke rumah ini hal pertama yang terlihat adalah lukisan bernama Awan ini, berukuran besar. Kata Mbak Ayu dulu, ukurannya kira-kira setengah dari lukisan Last Supper karya Leonardo da Vinci yang berukuran 421x903 cm.
Awan ini karya terbesar Mbak Ayu sejak sanggar ini mulai dibentuk tiga tahun yang lalu. Awan ini juga merupakan simbol sanggar ini dan dari nama lukisan ini jugalah nama Rumah Awan diambil.
Awan sangat indah. Sesuai dengan namanya, lukisan ini hanya berisi langit biru dan kumpulan awan putih. Setiap kali aku ke sini pasti sebagian besar waktu kugunakan untuk menikmati lukisan ini. Kalau memandangnya terus menerus, rasanya aku seperti bisa menembus kaca yang melindungi lukisan itu, merasakan lembutnya awan putih dan selalu membuatku merasa terbang di antara awan-awan itu. Tanpa ada seorangpun yang menggangguku. Seperti mendapatkan kebebasan tak terbatas.
 “Tidak bosan lihat Awan terus?”
Aku langsung tersadar dari lamunanku. Tanpa kusadari tanganku sudah menyentuh kaca pigora. Mungkin ini sebabnya Mbak Ayu memakai pigora yang benar-benar tepat, agar lukisannya tetap aman dari tangan manusia.
Kulihat Mbak Ayu telah berdiri di sampingku menatap Awan. Seperti biasa, Mbak Ayu terlihat sangat cantik dan dewasa. Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya hitam panjang dan  kakinya bagus sekali. Rambutnya kali ini dikepang, membuat penampilan Mbak Ayu yang memakai pakaian tradisional Bali terlihat elegan dan cantik sekali.
Kebaya putih dan jarit batik warna hitam itu sangat pas di badannya. Jujur saja, aku juga ingin cantik, dewasa dan menjadi wanita hebat sepertinya. Mbak Ayu  yang berumur 26 tahun ini benar-benar sosok wanita sempurna! Seperti angel! Perfect banget!
Tapi sayangnya masih jomblo. Apa tidak ada yang bisa melihat kesempurnaannya itu? Menurutku Kak Stary saja kalah. Apa cowok-cowok  sudah buta semua, tidak bisa melihat kesempurnaan Mbak Ayu?
Mbak Ayu sadar kuperhatikan, ia menoleh dan tersenyum padaku. “Tidak  bosen lihat Awan terus?” ulangnya.
Oh ya, tadi dia bertanya. “Nggak kok, Mbak.” jawabku akhirnya. Aku tidak akan pernah bosan melihatnya.  “Sudah kangen banget pengen liat Awan.”
“Kok sudah pulang sekolah?”
“Gurunya sakit, jadi bisa pulang cepat.”
“Mbak Ayu!” dari jauh seorang laki-laki memanggilnya. Laki-laki yang bertubuh tinggi besar itu formal sekali. Dia memakai pakaian ala kantor dengan jas hitamnya yang klimis. Penampilan yang tidak cocok dengan tempat ini. Lagipula apa tidak panas memakai baju kayak itu?
Mbak Ayu hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi panggilan tadi. “Hari ini mau melukis?” tanyanya padaku lagi.
Aku menggelengkan kepala. “Lagi malas, cuma liat-liat saja.”
“Ya sudah, kamu senang-senang saja ya, Mbak mau keluar dulu.”
Kuperhatikan Mbak Ayu keluar Rumah Awan bersama laki-laki berjas tadi. Siapa ya laki-laki itu? Apa pacarnya Mbak Ayu? Tapi orang itu terlihat sudah cukup tua, pasti sudah lima puluh tahun lebih dan sepertinya tidak cocok dengan Mbak Ayu. Ah, sudahlah, biar saja. Itu urusan Mbak Ayu.
Kualihkan pandanganku ke Awan, kusentuh kaca pigora itu lagi.
Aku ingin seperti Awan, bebas...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar