Kamis, 07 Agustus 2014

Rumah Awan : 5 - Yoga



YOGA

Nasi goreng lezat buatan Nenek rasanya jadi nggak lezat lagi. Piring di sebelah gue masih banyak terisi nasi goreng, tapi orangnya sudah pergi.
“Kek, Nek, Faya ke sekolah dulu,”
Lama gue ngunyah nasi goreng yang biasanya akan ludes hanya dalam hitungan detik. Faya beneran gila. Dia selalu nggak mau menghargai Kakek Nenek. Ok, dia sopan di depan mereka, tapi tetap saja semaunya sendiri, egois. Dia nggak pernah mikir hal lain selain dirinya sendiri. Kok bisa gue punya adek kayak dia?
Suapan terakhir nasi goreng ini rasanya sudah nggak muat lagi di perut. Padahal perut gue ini bener-bener mirip gentong, semua makanan bisa masuk. Tapi untungnya gue nggak gendut-gendut.
Nenek kembali ke meja makan. “Lho, Faya tidak habis sarapannya?” 
Gue bisa melihat seraut kekecewaan di wajah Nenek. Nasi goreng spesial buatannya ternyata nggak spesial buat Faya.
“Faya nanti ada pelajaran olahraga Nek, jadi nggak bisa makan banyak.” ujar gue menghibur. “Dia takut ntar perutnya sakit  kalau dipake lari.”
Nenek hanya tersenyum mendengar alasan gue.
“Tamunya siapa, Nek?” gue alihkan pembicaraan pada tamu yang baru saja berkunjung pagi-pagi gini.
“Teman lama Kakek, teman SMA. Katanya mau ada reuni.” Kata Nenek sambil meneruskan sarapannya. “Kamu kuliahnya agak siangan, khan?”
Gue mengangguk.
“Ntar tolong bawain rajutan pesanannya Bu Siti yang rumahnya dekat kampus kamu itu ya?” pinta Nenek.
Gue mengangguk lagi dan kembali ke kamar yang bercat hitam.
Hitam itu sangat aneh. Penuh teka-teki yang bisa membuat orang lupa pada banyak hal saat sedang berusaha memecahkannya. Itu kata orang yang pernah gue liat di TV waktu SD dulu. Waktu itu gue sama sekali nggak tahu apa maksudnya tapi gue selalu ingat kata-kata itu. Dan gue sangat suka warna hitam. Walaupun sampai sekarang gue sama sekali tidak tahu teka-teki yang ada pada warna hitam.
Gue sendiri yang ngecat saat pertama nempatin kamar ini, kira-kira tiga tahun yang lalu. Tapi tidak semua gue cat hitam. Ntar jadi nggak bisa bedain mana siang mana malem lagi kalau semua dicat hitam. Apalagi di kamar gue yang berantakan ini nggak ada jendelanya.
Dari keempat dinding kamar, yang dua gue cat hitam sedangkan yang lain gue cat putih, berselang-seling. Biar kamar gue sedikit cerah. Dulu malah gue kepikiran pingin ngecat pola catur, tapi nggak jadi karena gue males. Pasti bakal butuh waktu yang lama buat ngecat.
Rasanya nyaman menghempaskan tubuh yang sudah kenyang seperti ini di atas kasur. Kasur gue berantakan banget dan ya lumayan bau karena udah berbulan-bulan sepreinya belum gue ganti. Untung Nenek nggak tau. Nenek jarang masuk ke dalam kamar ini.
Gue mandang langit-langit kamar. Ada lambang hitam putih yang saling bertaut membentuk lingkaran. Simbol yin dan yang. Bukan gue yang ngecat itu, gue nggak bisa, jadi gue nyuruh tukang cat yang udah biasa ngecat saja.
Jadi inget, bokap gue dulu kalau lagi suntuk juga selalu menengadahkan kepalanya melihat ke atas, ke atap rumah, langit, daun pohon atau apapun. Waktu kecil, gue nggak ngerti arti ataupun guna kebiasaannya itu, sampai sekarang gue masih belum begitu ngerti. Tapi gue bisa sedikit melupakan pikiran yang memberatkan dan merenungkannya sekaligus mencari jalan keluarnya kalau ngelakuin itu. Kalau kepala lagi puyeng, gue sering melakukan hal yang sama. Apa dia juga masih sering ngelakuin itu?
Bokap sama Nyokap, gimana kabar mereka?
Gue mendengar suara ring tone hp gue berbunyi, suara klakson truk.  Segera gue samber hp yang semalam perasaan gue taruh di kasur tapi setelah gue cari nggak ada, ternyata malah ada di atas meja belajar gue yang udah beralih fungsi menjadi meja serbaguna yang pantes dijadiin rumah tikus itu.
“Halo?” jawab gue yang langsung duduk di kursi tanpa melihat dulu nama si penelepon.
“Bos kemarin kata anak-anak nyari gue ya?” dari suaranya sudah pasti ini Rendy.
Gue mengangguk. Rendy pasti nggak bisa liat.
“Ada apa Bos?”
Rendy, anak buah gue yang paling setia dan penurut tapi tolol.
“Lo hari ni ada kuliah nggak?” gue ngalihin mata gue ke jam meja berbentuk Mickey Mouse hadiah dari Faya waktu ultah gue yang kesembilan. Jam 7.05.
Kedengarannya Rendy lagi buka-buka buku.
Jangan-jangan, “Ren, lo nggak hafal jadwal kuliah lo ya?” tanya gue males sambil memainkan pensil yang panjangnya tinggal setengah di meja.
Rendy tertawa sedikit malu. “Hari ni cuman jam 3-4 doang Bos.” Dia melaporkan hasil pencariannya. Sama, gue juga nggak hafal sebenarnya. Kalau nggak ada si Sisil yang SMS gue tiap pagi kasih tau jadwal kuliah, gue juga nggak bakal tau kalau hari ini gue masuk mulai jam ketiga.
“Gue ada kerjaan buat lo, tapi nggak ada yang boleh tau.”
“Apaan tuh Bos?” tanya Rendy segera dengan semangat.
Gue bicara pelan, mantap. “Mata-matain adek gue.”
Nggak ada suara. Rendy diam. Lama.
 “Ren, lo masih hidup apa udah mati?”
“Beneran tuh Bos?” tanya Rendy ragu.
“Iya,”
“Adek Bos?”
“Iya.”
“Yang masih SMA itu, khan?”
“Iya!”
“Tapi beneran adek Bos sendiri?”
“IYA, MONYET!!!”
Abis udah kesabaran gue menghadapi anak ini.  “Pokoknya ikutin kemana aja dia pergi!”
“I, iya Bos.” Ujar Rendy. Dari suaranya kayaknya dia masih tidak percaya dengan perintah gue berusan. “Mulai hari ini ya?”
Spontan gue menepuk jidat. Gue nggak perlu jawab pertanyaan konyol ini.
“Nanti abis kuliah gue langsung cabut ke SMA adeknya Bos.” Ujar Rendy cepat. Takut gue marahin lagi kayaknya.
Tok tok.
“Yoga, ini rajutan yang mesti kamu bawa nanti,”
Waduh, Nenek kok ke sini. Kamar gue lagi berantakan banget. Setelah matiin hp, gue berjalan cepat ke arah pintu biar Nenek nggak perlu masuk ke dalam.
Telat.
Nenek langsung terdiam melihat kondisi kamar gue yang bagi Nenek bisa dibilang amat sangat memprihatinkan sekali. Nenek bahkan sampai tidak tersenyum seperti biasanya. Gua hanya senyum-senyum nggak jelas dan menampakkan wajah minta belas kasihan saat Nenek menoleh ke arah gue. Biasanya gue bisa nyembunyiin kondisi kamar, tapi hari ini gue ketangkap basah.
Gue langsung kena omel. Nenek paling nggak suka sama yang namanya kotor dan ketidakrapian. Kalau Nenek liat ada benda yang kotor ataupun berantakan sedikit saja, pasti bakal marah. Yang sering kena marah tentu saja gue. Karena memang gue orang yang paling tidak peduli kebersihan, kerapian dan semua tentang hal nggak jelas itu di rumah ini.
Nenek menunjuk kasur gue lalu lemari gue yang separuh pintunya terbuka, sialnya baju gue yang juga berantakan jelas kelihatan banget, kemudian lantai dan yang terakhir meja belajar. Gue dikomando agar merapikannya sekarang juga dan didepannya. Dengan terpaksa gue merapikan semua yang tadi ditunjuk Nenek. Padahal gue masih pingin santai-santai dulu di kamar sebelum kuliah.
Hah...nasib…
=========
Sekarang gue lagi duduk-duduk di depan kelas sambil menggerak-gerakkan tangan nggak jelas. Rasanya gue capek banget. Ternyata merapikan kamar lebih melelahkan daripada nggebukin pecundang dari geng barat. Joni yang duduk di sebelah gue dari tadi sibuk mendengarkan musik dari mp3 playernya,
Rajutan Nenek udah gue anterin ke rumahnya Bu Siti. Nggak tau kenapa, Ibu itu seneng banget pas lihat gue datang. Itu ibu-ibu yang maunya gue panggil tante langsung nyeret gue masuk  ke dalam rumahnya yang serba warna ungu dan nyubit pipi gue berulang kali. Dan dia juga sempet ngajak gue sarapan yang jelas gue tolak. Orang itu nggak normal! Apa dia itu tante-tante kesepian? Ih, merinding gue bayanginnya! Gue ogah lagi  ke sana!
“Hey, men!” Tio datang dan meninju lengan gue. “Tampang lo kusut banget, kenapa?”
            Gue tinju dia balik dan dia duduk di sebelah gue. “Tampang lo cerah banget, kenapa?” tanya gue balik.
“Ye! Nih anak, ditanya malah balik nanya!” Tio menjitak kepala gue. “Lo tadi dari mana, gue lihat tadi lo keluar dari rumah orang deket kampus. Lo nggak ngerampok, khan?”
“Lo tau aja.” Gue  gerak-gerakin tangan gue ke segala arah, rasanya masih pegel. Tio menghindar saat tangan gue hampir kena kepalanya. “Gue tadi nganter rajutan Nenek ke rumah temennya.”
Tio tersenyum mendengar penjelasan gue barusan. “Lo tuh cucu paling manis sedunia tau nggak.” katanya dan sekarang dia tertawa. “Gue mau lho punya cucu kayak lo ntar. Udah baek, manis dan lucuu banget!”
“Diem lo!” gue injek kakinya kesal. “Temen Nenek gue tadi kayaknya tante-tante kesepian deh. Rumahya norak, di mana-mana warna ungu. Yang cat rumahnya, sofanya, mejanya juga. Gila nggak tuh!” kata gue keras biar nggak kalah sama tawa Tio. Tapi dia malah tertawa lebih keras lagi. Nggak lucu!
“Lo tau nggak, kata orang ungu itu warna janda. Jangan-jangan tante girang itu memang udah nggak punya suami, dia jablai dan pengen lo belai!” Tio bicara genit sekali menirukan banci lalu terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya.
Gue langsung nyerbu dia dengan tonjokan di lengannya. “Anjing lo! Mending gue kasih ke lo aja, lo khan playboy cap buaya!”
Sebelum Tio membalasnya, tiba-tiba teman sekelas gue, Farid, datang dengan nafas ngos-ngosan. “Ga, mereka, anak geng barat cari ribut!” katanya agak terputus-putus sambil ngelap keringat di pelipisnya.
Gue ingin langsung ke tempat kejadian tapi gue biarin dia jelasin masalahnya dulu.
“Tadi pas temen kita lagi jalan mau ke lab kimia, anak geng barat njegal dia sampai jatuh dan parahnya makalah anak sekelasnya jatuh di kubangan air!” dia mengatur nafasnya sebentar lalu berkata lagi. “Dia bilang mulai sekarang daerah itu punya geng barat! Padahal itu khan daerah kita!!”
Panas juga gue dengernya. Gue ngelempar gitu aja tas gue dan berlari pergi diikuti Tio dan juga Joni.
“Di depan kantin, Ga!” teriak Joni dari belakang memberi tahu lokasinya.
Anak geng barat itu harus mampus! Enak banget bilang itu daerah mereka!
Pas gue dateng sudah ada banyak yang berkelahi. Beberapa anak mengeroyok seorang cowok berambut panjang yang diikat. Pasti dia anjing pecundang itu!
“Minggir!” teriak gue dan anak yang lain langsung mendorong cowok itu ke arah gue yang langsung gue beri hadiah tonjokan dahsyat tepat di ulu hatinya. Cowok itu berteriak kesakitan dan terjatuh. Kemudian temennya dari geng barat banyak yang datang  membantu cowok anjing itu tapi langsung dihadang anak buah gue. Gue angkat anjing  yang wajahnya udah penuh darah dan hidungnya patah. Hasil karya anak buah gue. Nggak gue biarin dia balas nonjok gue dan gue semakin membabi buta. Tanpa ragu gue hadiahi lagi dia dengan banyak tonjokan, tendangan dan pukulan sampai dia tidak bisa berdiri.
“BERHENTI!!”
Sialan!!
Satpam kampus, berempat sekaligus, datang untuk menghentikan semua keributan ini. Anak buah gue masih kelihatan senang ada hiburan yang menyenangkan ini. Mereka menggebuki semua anak geng barat yang datang untuk menolong anjing tadi. Anak geng barat cari masalah di wilayah gue, jelas saja mereka masuk ke mulut Tyranosaurus yang kelaparan. Ini adalah wilayah gue, enak aja bilang ini daerah kekuasaan geng barat!
Anjing tadi kayaknya sudah pingsan. Gue lumayan puas.
“Ga, cepet kabur!” Tio menarik tangan gue kabur.
“Semua kabur!!!” gue teriak dan semua anak buah gue berlari cepat. Anak geng barat yang masih kuat langsung melarikan, kecuali anjing itu dan beberapa temannya yang sudah nggak kuat  lagi berdiri. Farid juga sempat menginjak perut anjing itu sebelum kabur.
Kami berlarian pergi mencari tempat aman. Anak-anak yang tadi di kantin dan sempat melihat pesta tadi berteriak saat satpam masuk ke kantin mengejar anak buah gue. Mereka, terutama cewek-cewek, sampai naik ke atas meja, memecahkan banyak piring juga gelas.
Gue nggak masuk ke kantin dan bisa kabur. Anak buah gue ternyata banyak juga yang tolol, lari ke dalam kantin yang malah bikin mereka mudah tertangkap. Apa mereka nggak bisa lihat satpam kampus pada punya perut segede tong sampah? Harusnya mereka tahu kalau satpam-satpam itu nggak bisa lari kenceng. Harusnya mereka cari tempat kabur yang bisa buat mereka terus lari hingga satpam-satpam itu tidak kuat lagi mengejar mereka. Kalau di kantin ruang gerak mereka pasti sempit, belum lagi kalau ternyata di sana ada anak geng barat yang dengan senang hati mau membantu satpam itu menangkap mereka.
Kayaknya mereka butuh kursus untuk kabur.
=========
Ah, akhirnya gue dateng ke tempat ini lagi.
“Pak, esnya satu! Porsi jumbo ya!”
Pak es cincau langganan gue langsung menyiapkan pesanan gue sambil memperhatikan gue yang duduk asal di pinggir trotoar, ngos-ngosan.
“Abis berantem lagi, Mas?” tanyanya sambil memasukkan es batu ke dalam gelas.
“Anak geng barat pada belagu sih, Pak!”
“Ga!” Tio yang larinya lebih lambat dari gue berteriak dari ujung jalan. Gue noleh dan dia segera menghampiri gue. “Bang, esnya satu, dibayarin Yoga.” Katanya enteng di sebelah gue.
“Enak aja lo!”
Tio hanya tersenyum sambil meluruskan kakinya yang panjang. “Tampang lo aja keren tapi kere!”
Pak es cincau mengulurkan gelas besar ke gue dan langsung gue minum sampai setengah gelas dalam sekali teguk.
“’Aus banget keliatannya,” ujar Tio masih ngos-ngosan.
“Pak, nih kere bayar sendiri, gue cuma bayar pesenan gue sama utang gue yang dulu.”
“Utang yang mana ya?” kening  pak es cincau mengkerut,  mencoba mengingat.
Es gue sudah habis waktu pak es cincau memberikan pesenan Tio yang juga langsung diminum dengan cepat. “Itu lho, Pak, cewek yang dulu beli pas Bapak mau kabur.” terang gue. “Yang namanya aneh itu lho Pak, si Noa Kleper ato apalah gue lupa.”
Pak es cincau teringat kembali tapi tadi kelihatan kikuk saat gue bilang dia mau kabur. Mungkin dia malu. Tapi dulu khan memang dia mau kabur.
“Oh, Neng itu.”
“Cewek? Cantik nggak, Ga?” Tio langsung nimbrung. Peka banget telinganya kalau dengar kata cewek. “Kenalin dong?”
“Ogah! Lo ya kalau denger yang namanya cewek aja langsung nyambung.” gue menapik tangannya yang ada di pundak gue. “Yo, mending lo ambilin tas gue aja deh, di depan kelas, gue mau bolos.”
“Gue ikut ya?”
“Terserah, udah cepet sana pergi!” gue dorong Tio berdiri.
Tio mengembalikan gelas esnya yang sudah kosong lalu membayarnya.
“Iya, bentar!” protesnya karena gue terus mendorong dia biar cepat pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar