Kamis, 28 Agustus 2014

Rumah Awan : 6 Bintang



BINTANG

“Sory, jendelanya terbuka,” kalimat pertama yang langsung meluncur ketika melihat jendela berselambu putih ini terbuka.
Ayu yang dari tadi gue lihat sedang melamun dan terus menatap ke depan menoleh cepat. Pipinya basah dan matanya merah.
“Hey, kenapa menangis?”
Ayu menunduk cepat, secepat menoleh tadi. Tanpa permisi, gue langsung masuk lewat jendela yang berukuran tidak terlalu besar tapi masih bisa gue lewatin. Ayu mengelap pipinya yang basah dengan tangan kirinya yang bebas, tangan kanannya membawa gelas.
Gue langsung duduk di sebelahnya. Ini pertama kalinya gue melihatnya menangis.
“Hei, kamu kenapa?” tanya gue menyentuh lembut pundaknya. Dia masih menunduk terdiam. “Kamu sakit?”
Ayu tetap tidak mau menjawab pertanyaan gue. Gue bersandar ke sofa dan diam. Sepertinya Ayu tidak ingin diganggu dulu. Gue hanya bisa diam menunggunya menenangkan diri terlebih dulu. Setelah sekitar lima menit kami duduk dalam diam, gue yakin itu sudah cukup membuatnya lebih tenang, gue mulai bicara.
“Maaf, aku tadi masuk lewat jendela,”
“Iya,” jawabnya pelan.
“Ayu, kamu belum mandi ya?” tanya gue karena dia masih memakai piyama putihnya. “Bau. Seperti kambing yang belum mandi seabad.” Goda gue sambil menutup hidung dengan tangan dan bertingkah seolah gue ingin jauh-jauh darinya. Gue harap dia sedikit terhibur.
Dia tersenyum. “Maaf ya,” dia berdiri menuju dapur. “Saya mandi dulu,”
“Mau dimandiin nggak?” goda gue lagi. Dia hanya tersenyum lalu pergi. 
Gue bukan tipe orang yang pintar bergurau. Lintang pernah berkata kalau gue itu tipe orang terlalu serius. Katanya ketika gue melontarkan gurauan, muka gue tetep serius dan akhirnya  gurauan gue malah terasa garing. Dulu Stary juga bilang kalau selera humor gue payah.
Tapi Ayu selalu tersenyum.
Gue sendirian duduk di sofa putih nyaman ini sambil mengamati rumah mungil Ayu yang bernuansa putih, simple dan nyaman. Perabot yang ada di rumah ini tidak terlalu banyak. Letak rumah Ayu ini ada tepat di samping Rumah Awan. Tak banyak yang tahu, gue yakin Lintang juga tidak tahu.
Samar, suara shower terdengar lembut tapi ada kesan sedih. Seperti suara tangis yang mewakili perasaan pemiliknya. Gue selalu beranggapan kalau Ayu itu perempuan yang tegar. Gue jarang, bahkan hampir tidak pernah, melihatnya sedih, kecuali kalau dia ingat Ibunya. Tapi hari ini Ayu berbeda. Apa yang sedang menganggu pikirannya?
Gue jadi teringat Ibu Ayu. Gue langsung mendongak ke belakang dan melihat foto besar Ayu yang masih remaja bersama Ibunya. Seorang perempuan yang sudah berumur dengan raut wajah penuh kasih sayang memeluk gadis cantik berseragam abu-abu putih yang duduk disampingnya. Ibu itu adalah orang yang paling berarti bagi Ayu.
Gue juga berharap suatu saat nanti bisa berarti baginya.
Ponsel gue di saku celana bergetar. Telepon dari Teguh.
“Ada apa?”
“Tadi anak geng timur ngeroyok anak geng kita.” Bukan suara Teguh. “Teguh masuk rumah sakit, ini Farid.”
“Rumah sakit?” gue tidak kaget, sudah terbiasa. “Bagaimana ceritanya?”
Farid menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi itu. Hari ini gue tidak ada kuliah, jadi gue tidak ke kampus. Gue tidak bisa membantu yang lainnya. Menurut Farid, yang menghajar Teguh adalah ketua geng timur sendiri, Yoga.
Yoga, anak akuntansi yang bisa dibilang anak yang bodoh, selalu bertindak tanpa pikir panjang, hanya mengandalkan otot. Gue hanya sekali bertemu dia dan kesan gue tentangnya langsung jelek. Sampai kapanpun gue tidak boleh kalah dengan orang sebodoh itu.
“OK, gue segera ke rumah sakit.”
Gue mematikan hp lalu mengambil notes kecil catatan nomor telepon milik Ayu di meja telepon yang ada di sebelah sofa dan menulis pesan pada Ayu kalau gue harus segera pergi. Kemudian gue keluar lewat jendela seperti saat masuk tadi. Masuk ke mobil Honda Jazz hitam gue dan segera melajukan mobil menuju rumah sakit.
Setiba di rumah sakit yang tadi diberi tahu Farid, gue langsung naik lift menuju lantai empat. Rumah sakit berlantai enam ini dulu juga tempat kakak gue satu-satunya dirawat, Stary.
Stary anak yang cerdas dan cantik. Kuliah jurusan kedokteran dan sedang pergi magang saat kecelakaan itu terjadi. Tabrak lari yang sampai sekarang belum diketahui siapa pelakunya.
“Bintang!” gue menoleh ke belakang. Fadli yang tubuhnya lumayan subur berlari kecil. Rasanya ada gempa bumi kecil akibat langkah kakinya itu.
“Gimana keadaan Teguh?” tanyanya tersengal-sengal.
Gue menggelengkan kepala.
“Udah mati??” teriaknya histeris.
Gue langsung menepuk pundaknya. “Gue belum bilang apa-apa,” protes gue agak sebal melihat reaksinya tadi. Fadli ini memang orang yang tidak sabaran. “Gue tidak tahu, gue belum lihat dia langsung, gue juga bru saja datang, tapi kata Farid lumayan parah.”
“Ya ampun!” Fadli menepuk keningnya lalu kami berjalan menuju kamarnya.
Di kamar yang diperuntukkan empat pasien itu hanya terisi dua pasien yang letaknya berhadapan. Pasien lainnya ternyata seorang anak SMA yang tiga hari lalu keracunan akibat makan makanan kaleng yang sudah kadaluarsa. Kata Mamanya, anaknya membeli makanan itu di supermarket terkenal, tapi tetap saja ada yang kadaluarsa. Ternyata nama besar tidak menjamin kualitas. Gue turut prihatin dengan musibah yang menimpanya.
Setelah berbincang-bincang sedikit dengan Mama anak SMA tadi, baru gue melihat keadaan Farid. Ada sekitar sebelas anak yang mengitarinya, jadi gue memberi waktu dulu sebentar agar mereka bisa ngobrol sebentar dengan Teguh.
Tak berapa lama kemudian, beberapa anak memberi jalan supaya gue bisa mendekati tempat tidurnya dan Farid yang sedari tadi duduk di sebelah tempat tidur Teguh, memberikan kursinya untuk gue. Gue lihat Teguh dari ujung kaki hingga kepalanya. Mahasiswa tingkat dua itu hidungnya patah. Tangan kirinya keseleo dan banyak luka lainnya. Tubuhnya banyak dibalut perban dan saat ini dia masih pingsan.
“Kurang ajar banget tuh geng timur!” teriak Fadli setelah beberapa saat bengong melihat keadaan Teguh. Yang lain mengiyakan pendapatnya.
“Yang lainnya gimana?” tanya Rio, yang baru saja datang dengan membawa sekotak kue brownies yang langsung menjadi santapan lezat anak-anak. Kalau melihat makanan, rasa sedih mereka melihat keadaan Teguh langsung lenyap begitu saja. Dasar otak udang.
“Ada tiga yang ketangkep satpam kampus, anak geng timur juga ada yang ketangkep, cuma dua.” Jelas Farid yang duduk dilantai, menyandarkan tubuhnya pada dinding rumah sakit yang putih. “Yang lainnya paling pada pulang, mereka nggak kena amuk separah Teguh.”
“Kapan nih kita balas dendam ke mereka, hah?” tanya Hadi dengan mulut yang penuh brownies.
“Sekarang aja!” usul Fadli cepat, mulutnya juga penuh brownies.
“Tapi sekarang kita khan lagi makan brownies,” ujar Farid tersenyum, dia menggoda Fadli. Semua yang ada di sini juga tahu kalau Fadli itu selalu ambil keputusan tanpa pikir panjang dan bisa dibilang lumayan bodoh. Tapi dia langsung pintar kalau membahas makanan.
“I, iya ya,” kata Fadli pelan. “Kapan-kapan aja deh.” Dia meneruskan acara makan browniesnya.
“Kenapa hanya Teguh yang lukanya paling parah kayak gini?” tanya Rio lagi.
Farid berpikir sebentar, mengingat peristiwa tadi. “Gue nggak tau. Tadi pas gue gabung, udah banyak yang digebukin dan hanya Teguh yang dihajar Yoga. Yang lain nggak bantu dia sama sekali. Terus pas gue masih mau ngajar si Yoga, satpam-satpam itu dateng dan gue bawa kabur aja Teguh yang udah nggak sadar.” Jelas Farid.
Hanya Teguh. Dia itu termasuk anak yang cerewet dan semaunya sendiri. Dia sering cari gara-gara, bahkan dengan teman satu gengnya sendiri.
“Apa lo tahu akar perkelahian tadi?” akhirnya gue bersuara. Semuanya diam, tak ada satupun jawaban. Jadi, rupanya tak ada seorangpun yang tahu penyebabnya.
“Gue nggak tau. Tadi tiba-tiba aja mereka udah ngeroyok anggota kita.” Jawaban Farid tidak berguna. Tidak mungkin kejadian itu terjadi tanpa ada penyebabnya. Belakangan ini sering terjadi cekcok antara geng barat dan timur. Pasti ada sesuatu dan gue yakin  Teguh pasti ada hubungannya.
“Cari tahu penyebab semua ini.” Perintah gue tegas. Gue tidak menyebutkan siapa yang harus pergi mencari. Tapi Farid dengan sendirinya berdiri dan bersama Rio pergi keluar.
“Serahin ke kita-kita saja.” Ujar Farid mantap.
“Gue ikut, gue ikut!” Fadli mengikuti mereka berdua keluar kamar.
“Fadli!” Panggil gue sesaat setelah dia keluar kamar. Dia langsung kembali ke dalam dengan muka penuh tanya. “Lo di sinisaja  jaga Teguh, biar mereka berdua yang pergi.” Muka penuh tanyanya tadi langsung berubah jadi cemberut.
“Tenang saja, kami temenin kok.” Rahmad menariknya mendekati tempat tidur Teguh.
“Moga aja dia nggak mati,” gumam Fadli pelan. “Kayak yang dulu-dulu,”
“Semoga,” Rahmad membenarkan. “Si bandar sabu Yudi, mahasiswa bloon Momon, rocker Dodi,” Rahmad diam sebentar. “Bisa gawat kalo semua nuduh kita yang bunuh mereka padahal nggak.”
“Iya, tapi....” kata Fadli. “Sekarang gue laper! Ke kantin yuk?”
Rahmad memukul keningnya sendiri. Dasar Fadli aneh. Setelah ini pasti Fadli hanya akan membicarakan masalah makanan. Gue melihat jam tangan biru di tangan kiri. Sudah waktunya pergi.  “Gue pergi dulu.” Gue pamitan kepada yang lain lalu pergi.
            Saatnya menjemput Lintang.
            Sejak Stary pergi, Mama jadi sering berpikiran buruk dan tidak tenang. Mama juga kadang menganggap kalau Stary masih ada di dunia ini dan menjadi anaknya yang manis. Sekarang, Lintang lah yang jadi korban kegelisahan Mama tapi Lintang terus memberontak hingga sering berakhir dengan pertengkaran. Kata Mama, sekarang Lintang anak perempuan satu-satunya, jadi Lintang harus di jaga baik-baik dan bisa berprestasi cemerlang seperti Stary. Namun menurutku cara Mama salah.
             Di depan sekolah Lintang, SMA Erlangga yang dulu juga SMA gue, ada orang yang tampak familiar. Salah satu anak buah Yoga yang setahu gue berotak udang seperti Fadli tapi gue lupa namanya. Dia menggerak-gerakkan kepalanya ke dalam gerbang sementara tubuhnya di luar gerbang, sepertinya sedang mencari-cari orang di dalam sekolah itu. Semoga itu bukan untuk kepentingan gengnya. Aneh juga melihat orang seperti itu, sama saja dengan Fadli. Kenapa di tempat kami ada orang yang mirip? Sama-sama berotak udang.
            Lintang keluar dari gerbang bersama Nana, teman sebangku sekaligus sahabatnya. Dia mencari-cari, gue yakin dia mencari jemputannya. Setelah menemukan gue, dia pamitan pada Nana dan segera menuju ke sini.
            “Tumben bisa ontime.” katanya sambil memasang seatbelt.
Gue mencubit pipinya. “Wah, sopan banget adek yang satu ini. Bilang terima kasih saja tidak.”
Lintang mengelus kepalanya. “Iya iya, makasih Kak Bintang jelek.”
Gue mengernyit. “Cowok seganteng Bintang dibilang jelek?” gue pura-pura marah biar dia takut terus gue bisa nertawain dia.
“Udah deh Kak, gak usah pura-pura marah gitu. Kakak tuh nggak pantes tahu nggak kayak gitu. Biasa aja, Lintang ngerti kok kalo Kak Bintang itu orangnya kaku, nggak pinter bikin candaan.” Lintang tersenyum.
Dia tahu kalau gue sedang berusaha membuat suasana jadi sedikit ramai. Gue memang kaku. “Lewat Rumah Awan?” tanya gue melajukan mobil.
“Yup! Seperti biasa!” jawabnya penuh semangat. “Aku pengen liat, hari ini rame nggak ya,”
Di depan Rumah Awan gue pelanin laju mobil dan kami, gue dan Lintang, menoleh ke dalam. Gue tidak bisa melihat ke dalam, Ayu juga tak terlihat. Apakah dia ada di dalam? Suasanan di dalam tidak terlalu terlihat karena memang gapuranya tidak lebar.
“Lumayan juga,” gumam Lintang pelan sambil menempelkan tangannya ke jendela.
Lalu gue melihatnya lagi lewat kaca spion. Cowok berotak udang anak buah si bodoh Yoga, yang tadi ada di depan sekolah Lintang, berjalan mengendap-endap seperti pengintai di depan Rumah Awan. Apa yang sedang di lakukannya? Gue perhatikan jalan di depannya, tidak ada siapa-siapa kecuali seorang anak cewek berseragam abu-abu putih berambut panjang.
Lintang merogoh saku roknya. Dia memencet-mencet tombol di HP dan tersenyum sendiri. Mungkin ada SMS. Ketika melewati cewek tadi, Lintang masih berkutat dengan HPnya, gue lihat dari kaca spion belakang ternyata cewek itu juga berkacamata. Gue juga bisa lihat, sepertinya otak udang itu terus menjaga langkahnya agar tidak ketahuan. Apa mungkin otak udang itu benar-benar membuntuti cewek itu? Mungkin saja otak udang itu naksir cewek itu.
“Lin, itu temenmu bukan?” tanya gue menggerakkan kepala ke belakang. Lintang menoleh ke belakang.
“Yang mana?” tanyanya tetap menoleh ke belakang. Matanya menelusuri jalan mencari sosok yang gue maksud.
“Yang pake seragam SMA, rambutnya panjang,” bahaya kalau ternyata cewek itu teman Lintang, kasihan kalau jadi korban anak buah Yoga.
Lintang menyipitkan mata, mempertajam pandangan. “Nggak ada sapa-sapa,” katanya pelan. “Nggak ada yang pake seragam,”
Gue kembali melihat kaca spion dan benar, cewek tadi sudah tidak ada dan otak udang tadi berdiri dan meneliti ke dalam perpustakaan kota yang tak jauh dari Rumah Awan.
Gue pindah gear dari dua ke tiga dan melajukan mobil dengan cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar