BINTANG
“Sory, jendelanya terbuka,” kalimat
pertama yang langsung meluncur ketika melihat jendela berselambu putih ini
terbuka.
Ayu yang dari tadi gue lihat sedang
melamun dan terus menatap ke depan menoleh cepat. Pipinya basah dan matanya
merah.
“Hey, kenapa menangis?”
Ayu menunduk cepat, secepat menoleh
tadi. Tanpa permisi, gue langsung masuk lewat jendela yang berukuran tidak
terlalu besar tapi masih bisa gue lewatin. Ayu mengelap pipinya yang basah
dengan tangan kirinya yang bebas, tangan kanannya membawa gelas.
Gue langsung duduk di sebelahnya.
Ini pertama kalinya gue melihatnya menangis.
“Hei, kamu kenapa?” tanya gue
menyentuh lembut pundaknya. Dia masih menunduk terdiam. “Kamu sakit?”
Ayu tetap tidak mau menjawab
pertanyaan gue. Gue bersandar ke sofa dan diam. Sepertinya Ayu tidak ingin
diganggu dulu. Gue hanya bisa diam menunggunya menenangkan diri terlebih dulu.
Setelah sekitar lima menit kami duduk dalam diam, gue yakin itu sudah cukup
membuatnya lebih tenang, gue mulai bicara.
“Maaf, aku tadi masuk lewat
jendela,”
“Iya,” jawabnya pelan.
“Ayu, kamu belum mandi ya?” tanya
gue karena dia masih memakai piyama putihnya. “Bau. Seperti kambing yang belum
mandi seabad.” Goda gue sambil menutup hidung dengan tangan dan bertingkah
seolah gue ingin jauh-jauh darinya. Gue harap dia sedikit terhibur.
Dia tersenyum. “Maaf ya,” dia
berdiri menuju dapur. “Saya mandi dulu,”
“Mau dimandiin nggak?” goda gue
lagi. Dia hanya tersenyum lalu pergi.
Gue bukan tipe orang yang pintar
bergurau. Lintang pernah berkata kalau gue itu tipe orang terlalu serius.
Katanya ketika gue melontarkan gurauan, muka gue tetep serius dan akhirnya gurauan gue malah terasa garing. Dulu Stary
juga bilang kalau selera humor gue payah.
Tapi Ayu selalu tersenyum.
Gue sendirian duduk di sofa putih
nyaman ini sambil mengamati rumah mungil Ayu yang bernuansa putih, simple dan
nyaman. Perabot yang ada di rumah ini tidak terlalu banyak. Letak rumah Ayu ini
ada tepat di samping Rumah Awan. Tak banyak yang tahu, gue yakin Lintang juga
tidak tahu.
Samar, suara shower terdengar
lembut tapi ada kesan sedih. Seperti suara tangis yang mewakili perasaan
pemiliknya. Gue selalu beranggapan kalau Ayu itu perempuan yang tegar. Gue
jarang, bahkan hampir tidak pernah, melihatnya sedih, kecuali kalau dia ingat
Ibunya. Tapi hari ini Ayu berbeda. Apa yang sedang menganggu pikirannya?
Gue jadi teringat Ibu Ayu. Gue
langsung mendongak ke belakang dan melihat foto besar Ayu yang masih remaja
bersama Ibunya. Seorang perempuan yang sudah berumur dengan raut wajah penuh
kasih sayang memeluk gadis cantik berseragam abu-abu putih yang duduk
disampingnya. Ibu itu adalah orang yang paling berarti bagi Ayu.
Gue juga berharap suatu saat nanti
bisa berarti baginya.
Ponsel gue di saku celana bergetar.
Telepon dari Teguh.
“Ada apa?”
“Tadi anak geng timur ngeroyok anak
geng kita.” Bukan suara Teguh. “Teguh masuk rumah sakit, ini Farid.”
“Rumah sakit?” gue tidak kaget,
sudah terbiasa. “Bagaimana ceritanya?”
Farid menceritakan semua kejadian
yang baru saja terjadi itu. Hari ini gue tidak ada kuliah, jadi gue tidak ke
kampus. Gue tidak bisa membantu yang lainnya. Menurut Farid, yang menghajar
Teguh adalah ketua geng timur sendiri, Yoga.
Yoga, anak akuntansi yang bisa
dibilang anak yang bodoh, selalu bertindak tanpa pikir panjang, hanya
mengandalkan otot. Gue hanya sekali bertemu dia dan kesan gue tentangnya
langsung jelek. Sampai kapanpun gue tidak boleh kalah dengan orang sebodoh itu.
“OK, gue segera ke rumah sakit.”
Gue mematikan hp lalu mengambil
notes kecil catatan nomor telepon milik Ayu di meja telepon yang ada di sebelah
sofa dan menulis pesan pada Ayu kalau gue harus segera pergi. Kemudian gue
keluar lewat jendela seperti saat masuk tadi. Masuk ke mobil Honda Jazz hitam
gue dan segera melajukan mobil menuju rumah sakit.
Setiba di rumah sakit yang tadi
diberi tahu Farid, gue langsung naik lift menuju lantai empat. Rumah sakit
berlantai enam ini dulu juga tempat kakak gue satu-satunya dirawat, Stary.
Stary anak yang cerdas dan cantik.
Kuliah jurusan kedokteran dan sedang pergi magang saat kecelakaan itu terjadi.
Tabrak lari yang sampai sekarang belum diketahui siapa pelakunya.
“Bintang!” gue menoleh ke belakang.
Fadli yang tubuhnya lumayan subur berlari kecil. Rasanya ada gempa bumi kecil
akibat langkah kakinya itu.
“Gimana keadaan Teguh?” tanyanya
tersengal-sengal.
Gue menggelengkan kepala.
“Udah mati??” teriaknya histeris.
Gue langsung menepuk pundaknya.
“Gue belum bilang apa-apa,” protes gue agak sebal melihat reaksinya tadi. Fadli
ini memang orang yang tidak sabaran. “Gue tidak tahu, gue belum lihat dia
langsung, gue juga bru saja datang, tapi kata Farid lumayan parah.”
“Ya ampun!” Fadli menepuk keningnya
lalu kami berjalan menuju kamarnya.
Di kamar yang diperuntukkan empat
pasien itu hanya terisi dua pasien yang letaknya berhadapan. Pasien lainnya
ternyata seorang anak SMA yang tiga hari lalu keracunan akibat makan makanan
kaleng yang sudah kadaluarsa. Kata Mamanya, anaknya membeli makanan itu di
supermarket terkenal, tapi tetap saja ada yang kadaluarsa. Ternyata nama besar
tidak menjamin kualitas. Gue turut prihatin dengan musibah yang menimpanya.
Setelah berbincang-bincang sedikit
dengan Mama anak SMA tadi, baru gue melihat keadaan Farid. Ada sekitar sebelas
anak yang mengitarinya, jadi gue memberi waktu dulu sebentar agar mereka bisa
ngobrol sebentar dengan Teguh.
Tak berapa lama kemudian, beberapa
anak memberi jalan supaya gue bisa mendekati tempat tidurnya dan Farid yang
sedari tadi duduk di sebelah tempat tidur Teguh, memberikan kursinya untuk gue.
Gue lihat Teguh dari ujung kaki hingga kepalanya. Mahasiswa tingkat dua itu
hidungnya patah. Tangan kirinya keseleo dan banyak luka lainnya. Tubuhnya
banyak dibalut perban dan saat ini dia masih pingsan.
“Kurang ajar banget tuh geng
timur!” teriak Fadli setelah beberapa saat bengong melihat keadaan Teguh. Yang
lain mengiyakan pendapatnya.
“Yang lainnya gimana?” tanya Rio,
yang baru saja datang dengan membawa sekotak kue brownies yang langsung menjadi
santapan lezat anak-anak. Kalau melihat makanan, rasa sedih mereka melihat
keadaan Teguh langsung lenyap begitu saja. Dasar otak udang.
“Ada tiga yang ketangkep satpam
kampus, anak geng timur juga ada yang ketangkep, cuma dua.” Jelas Farid yang
duduk dilantai, menyandarkan tubuhnya pada dinding rumah sakit yang putih.
“Yang lainnya paling pada pulang, mereka nggak kena amuk separah Teguh.”
“Kapan nih kita balas dendam ke
mereka, hah?” tanya Hadi dengan mulut yang penuh brownies.
“Sekarang aja!” usul Fadli cepat,
mulutnya juga penuh brownies.
“Tapi sekarang kita khan lagi makan
brownies,” ujar Farid tersenyum, dia menggoda Fadli. Semua yang ada di sini
juga tahu kalau Fadli itu selalu ambil keputusan tanpa pikir panjang dan bisa
dibilang lumayan bodoh. Tapi dia langsung pintar kalau membahas makanan.
“I, iya ya,” kata Fadli pelan.
“Kapan-kapan aja deh.” Dia meneruskan acara makan browniesnya.
“Kenapa hanya Teguh yang lukanya
paling parah kayak gini?” tanya Rio lagi.
Farid berpikir sebentar, mengingat
peristiwa tadi. “Gue nggak tau. Tadi pas gue gabung, udah banyak yang digebukin
dan hanya Teguh yang dihajar Yoga. Yang lain nggak bantu dia sama sekali. Terus
pas gue masih mau ngajar si Yoga, satpam-satpam itu dateng dan gue bawa kabur
aja Teguh yang udah nggak sadar.” Jelas Farid.
Hanya Teguh. Dia itu termasuk anak
yang cerewet dan semaunya sendiri. Dia sering cari gara-gara, bahkan dengan
teman satu gengnya sendiri.
“Apa lo tahu akar perkelahian
tadi?” akhirnya gue bersuara. Semuanya diam, tak ada satupun jawaban. Jadi,
rupanya tak ada seorangpun yang tahu penyebabnya.
“Gue nggak tau. Tadi tiba-tiba aja
mereka udah ngeroyok anggota kita.” Jawaban Farid tidak berguna. Tidak mungkin
kejadian itu terjadi tanpa ada penyebabnya. Belakangan ini sering terjadi
cekcok antara geng barat dan timur. Pasti ada sesuatu dan gue yakin Teguh pasti ada hubungannya.
“Cari tahu penyebab semua ini.” Perintah
gue tegas. Gue tidak menyebutkan siapa yang harus pergi mencari. Tapi Farid
dengan sendirinya berdiri dan bersama Rio pergi keluar.
“Serahin ke kita-kita saja.” Ujar
Farid mantap.
“Gue ikut, gue ikut!” Fadli
mengikuti mereka berdua keluar kamar.
“Fadli!” Panggil gue sesaat setelah
dia keluar kamar. Dia langsung kembali ke dalam dengan muka penuh tanya. “Lo di
sinisaja jaga Teguh, biar mereka berdua
yang pergi.” Muka penuh tanyanya tadi langsung berubah jadi cemberut.
“Tenang saja, kami temenin kok.”
Rahmad menariknya mendekati tempat tidur Teguh.
“Moga aja dia nggak mati,” gumam
Fadli pelan. “Kayak yang dulu-dulu,”
“Semoga,” Rahmad membenarkan. “Si
bandar sabu Yudi, mahasiswa bloon Momon, rocker Dodi,” Rahmad diam sebentar.
“Bisa gawat kalo semua nuduh kita yang bunuh mereka padahal nggak.”
“Iya, tapi....” kata Fadli.
“Sekarang gue laper! Ke kantin yuk?”
Rahmad memukul keningnya sendiri.
Dasar Fadli aneh. Setelah ini pasti Fadli hanya akan membicarakan masalah
makanan. Gue melihat jam tangan biru di tangan kiri. Sudah waktunya pergi. “Gue pergi dulu.” Gue pamitan kepada yang
lain lalu pergi.
Saatnya
menjemput Lintang.
Sejak
Stary pergi, Mama jadi sering berpikiran buruk dan tidak tenang. Mama juga
kadang menganggap kalau Stary masih ada di dunia ini dan menjadi anaknya yang
manis. Sekarang, Lintang lah yang jadi korban kegelisahan Mama tapi Lintang
terus memberontak hingga sering berakhir dengan pertengkaran. Kata Mama,
sekarang Lintang anak perempuan satu-satunya, jadi Lintang harus di jaga baik-baik
dan bisa berprestasi cemerlang seperti Stary. Namun menurutku cara Mama salah.
Di depan sekolah Lintang, SMA Erlangga yang
dulu juga SMA gue, ada orang yang tampak familiar. Salah satu anak buah Yoga
yang setahu gue berotak udang seperti Fadli tapi gue lupa namanya. Dia
menggerak-gerakkan kepalanya ke dalam gerbang sementara tubuhnya di luar
gerbang, sepertinya sedang mencari-cari orang di dalam sekolah itu. Semoga itu
bukan untuk kepentingan gengnya. Aneh juga melihat orang seperti itu, sama saja
dengan Fadli. Kenapa di tempat kami ada orang yang mirip? Sama-sama berotak
udang.
Lintang
keluar dari gerbang bersama Nana, teman sebangku sekaligus sahabatnya. Dia
mencari-cari, gue yakin dia mencari jemputannya. Setelah menemukan gue, dia
pamitan pada Nana dan segera menuju ke sini.
“Tumben
bisa ontime.” katanya sambil memasang seatbelt.
Gue mencubit pipinya. “Wah, sopan
banget adek yang satu ini. Bilang terima kasih saja tidak.”
Lintang mengelus kepalanya. “Iya
iya, makasih Kak Bintang jelek.”
Gue mengernyit. “Cowok seganteng
Bintang dibilang jelek?” gue pura-pura marah biar dia takut terus gue bisa
nertawain dia.
“Udah deh Kak, gak usah pura-pura
marah gitu. Kakak tuh nggak pantes tahu nggak kayak gitu. Biasa aja, Lintang
ngerti kok kalo Kak Bintang itu orangnya kaku, nggak pinter bikin candaan.”
Lintang tersenyum.
Dia tahu kalau gue sedang berusaha
membuat suasana jadi sedikit ramai. Gue memang kaku. “Lewat Rumah Awan?” tanya
gue melajukan mobil.
“Yup! Seperti biasa!” jawabnya
penuh semangat. “Aku pengen liat, hari ini rame nggak ya,”
Di depan Rumah Awan gue pelanin
laju mobil dan kami, gue dan Lintang, menoleh ke dalam. Gue tidak bisa melihat
ke dalam, Ayu juga tak terlihat. Apakah dia ada di dalam? Suasanan di dalam
tidak terlalu terlihat karena memang gapuranya tidak lebar.
“Lumayan juga,” gumam Lintang pelan
sambil menempelkan tangannya ke jendela.
Lalu gue melihatnya lagi lewat kaca
spion. Cowok berotak udang anak buah si bodoh Yoga, yang tadi ada di depan
sekolah Lintang, berjalan mengendap-endap seperti pengintai di depan Rumah
Awan. Apa yang sedang di lakukannya? Gue perhatikan jalan di depannya, tidak
ada siapa-siapa kecuali seorang anak cewek berseragam abu-abu putih berambut
panjang.
Lintang merogoh saku roknya. Dia
memencet-mencet tombol di HP dan tersenyum sendiri. Mungkin ada SMS. Ketika
melewati cewek tadi, Lintang masih berkutat dengan HPnya, gue lihat dari kaca
spion belakang ternyata cewek itu juga berkacamata. Gue juga bisa lihat,
sepertinya otak udang itu terus menjaga langkahnya agar tidak ketahuan. Apa
mungkin otak udang itu benar-benar membuntuti cewek itu? Mungkin saja otak
udang itu naksir cewek itu.
“Lin, itu temenmu bukan?” tanya gue
menggerakkan kepala ke belakang. Lintang menoleh ke belakang.
“Yang mana?” tanyanya tetap menoleh
ke belakang. Matanya menelusuri jalan mencari sosok yang gue maksud.
“Yang pake seragam SMA, rambutnya
panjang,” bahaya kalau ternyata cewek itu teman Lintang, kasihan kalau jadi
korban anak buah Yoga.
Lintang menyipitkan mata,
mempertajam pandangan. “Nggak ada sapa-sapa,” katanya pelan. “Nggak ada yang
pake seragam,”
Gue kembali melihat kaca spion dan
benar, cewek tadi sudah tidak ada dan otak udang tadi berdiri dan meneliti ke
dalam perpustakaan kota yang tak jauh dari Rumah Awan.
Gue pindah gear dari dua ke tiga
dan melajukan mobil dengan cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar