Minggu, 27 Juli 2014

Rumah Awan : 4 - Mbak Ayu



MBAK AYU

Pagi ini masih sama kelabunya seperti kemarin.
Tapi menyenangkan, begitu membuka mata, awanlah yang pertama terlihat. Itu karena saya tidak tidur di kamar, melainkan di balkon kamar. Saya memang sengaja tidur di balkon kamar. Banyak yang bertanya, begitu tahu saya sering tidur di balkon, apakah tidak takut atau kedinginan? Tentu saja dingin, tapi tidak takut. Tidak ada yang saya takuti selain Tuhan di dunia ini.
Tapi, siapakah Tuhan saya?
Nama saya Luh Ayu Apah Pertiwi. Luh berarti saya anak pertama perempuan, Ayu karena katanya saya ayu dengan kata lain cantik. Apah yang berarti zat cair dan Pertiwi berarti zat padat. Jadi singkatnya saya anak perempuan pertama keluarga saya yang keturunan Bali, cantik, yang tercipta dari zat cair yaitu darah dan zat padat berupa tulang dan daging.
Setelah beristirahat sebentar, saya segera beranjak ke dapur dan membuat teh. Saya mempunyai anemia yang cukup parah, jadi kalau begitu membuka mata langsung berdiri, pasti pusing.
Dapur yang jadi satu ruangan dengan meja makan dan sofa putih tempat tamu berkunjung ini tidak begitu besar. Peralatan yang ada juga tidak begitu banyak.
Kring...kring.....
Wireless berbunyi. Saya segera mengangkatnya dan duduk di sofa putih sambil membawa cangkir teh.
“Halo,”
“AYU!!”
Wireless segera saya jauhkan dari telinga karena teriakan tadi. Dari suaranya saja sudah bisa ditebak siapa yang menelepon saya pagi ini. Dia adalah Marsha, sahabat saya yang sekarang meneruskan S2 psikologinya di Sydney University.
“Aduh, jangan teriak begitu dong,” saya protes.
“Hehe, sori Yu, abis kangen banget sih sama kamu!” jawab Marsha ceria. “Gimana kabarnya?”
“Baik, tapi belakangan ini tambah sibuk.” Air teh pertama yang masuk ke dalam tenggorokan rasanya enak sekali. Seperti air hujan yang baru turun dan mengaliri sungai kering akibat kemarau. Segar. “Kamu sendiri bagaimana?”
“Very well. Baiiik banget!” saya yakin di Aussie Marsha pasti sedang bahagia sekali sampai tersenyum lebar seperti kebiasaannya kalau sedang senang. Bisa saya membayangkan senyumnya itu.
“Ada sesuatu yang menyenangkan ya?” pasti pertanyaan ini sudah ditunggu Marsha.
“Hehe, tahu aja.” Marsha pasti tersenyum.
Marsha selalu harus ditanya dahulu agar mau cerita. “Apakah sesuatu yang menyenangkan itu?” tanya saya perlahan seperti narator di Teletubbies.
“Percaya nggak, I have new boyfriend!” senyum Marsha pasti sangat lebar.
Senyum juga langsung menghiasi wajah saya. “Wah, selamat ya!”
Lalu Marsha cerita banyak tentang pacar barunya yang katanya orang Jepang yang bekerja di salah satu perusahaan periklanan di Sydney. Namanya Kotarou Inoue. Marsha memanggilnya Kota. Kota orangnya tinggi dan lumayan berotot, cerdas, lucu, dan memiliki selera humor yang bagus. Tipe lelaki kesukaan Marsha. Dari dulu Marsha suka orang yang lucu dan memiliki selera humor yang bagus.
Mereka berkenalan ketika ada pesta pembukaan sebuah restoran Cina di dekat apartemen Marsha. Kota adalah teman dari teman sekelas Marsha. Mereka berkenalan dan berbincang sebentar. Ternyata mereka saling merasa cocok lalu memutuskan untuk pergi keluar kapan-kapan. Mereka juga sempat bertukar nomor telepon genggam.
Sejak saat itu mereka sering keluar bersama dan semalam mereka resmi pacaran. Kato membawa Marsha ke restoran Cina tempat mereka pertama kali bertemu yang diberi nama Peking Duck, karena menu utamanya memang Peking Duck. Di sana Kato menyanyikan lagu-lagu cinta seperti lagu Terpanah Asmara-nya Bunga Citra Lestari, lalu Bila Aku Jatuh Cinta milik Nidji, Makhluk Tuhan Paling Sexy-nya Mulan Jameela dan Sempurna milik Andra and the Backbound.
Kota menyanyikan semua lagu itu dalam bahasa Indonesia yang sangat jelek dan tidak lancar. Pantas saja, dia sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. Marsha tidak berhenti tertawa saat Kota menyanyikan lagu Makhluk Tuhan Paling Sexy, desahan ah ah dan ih ih-nya sangat lucu. Saya juga langsung tertawa mendengar Marsha menirukan desahan Kota ala Mulan Jameela itu.
Lalu Marsha merasa sangat senang saat Kota menyanyikan Sempurna. Kota yang memang bisa memainkan gitar bernyanyi dengan penuh penghayatan diiringi gitar yang ia petik sendiri. Meski Marsha tahu semua kata yang diucapkan Kota salah dan tidak bermakna, seperti kau menjadi ko, bahkan baris pertama Sempurna yang berbunyi ‘kau begitu sempurna’ menjadi ‘ko bakiku zenburuna’, ia merasa sangat senang dan bahagia. Yang diherankannya hanya satu, darimana Kota bisa tahu semua lagu itu? Dan kapan dia belajar menyanyikan semua itu?
Teh yang ada di cangkir telah habis tapi rasanya tenggorokan ini masih haus. Jadi, dengan masih terus menempelkan wireless di telinga, saya beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Lebih baik air putih saja. Cangkir saya letakkan begitu saja di meja lalu mengambil air putih.
   “By the way, kamu lagi sibuk apaan?” tanya Marsha setelah panjang lebar cerita tentang Kota.
“Tidak sibuk apa-apa, masih sama seperti biasanya,” saya meneguk air putih. “Mengurus Rumah Awan.”
“Kamu beneran nggak papa sendirian terus di rumah?” ada nada khawatir di suara Marsha.
Saya tersenyum senang karena masih ada yang peduli pada saya. “Tidak apa-apa Marsha, malah enak tidak ada yang mengganggu.”
“Bocah statistik itu masih sering ganggu kamu?”
“Ya seperti biasanya,” saya menghempaskan tubuh ke sofa putih lagi. “Tapi sudah dua hari ini dia tidak datang.”
Sepertinya saya dapat mendengar Marsha menghembuskan nafas panjang. “Ayu, apa benar kamu akan berhubungan dengan anak kecil itu? Apa kamu tidak mau cari yang lebih tua saja? Paling nggak yang lebih dewasa.”
Saya diam.
“Lagian, Ayu, katamu dulu kamu masih harus nemuin keluargamu dulu baru ngurusin yang namanya cowok,”
“Iya,” jawab saya lemas. “Kemarin, Pak Agung sudah menemukan sedikit petunjuk. Tapi tentang keluarga Ibu.” Marsha pasti tahu yang saya maksud Ibu itu adalah Ibu Sri. Orang yang sudah merawat saya sejak bayi.
“Pak Agung? Detektif yang kamu sewa itu?”
“Iya.”
            “Lho, tapi kamu khan cari keluargamu, bukan keluarga Bu Sri?”
“Tapi nanti kita bisa tahu alamat mereka dari keluarga Ibu. Mana mungkin Ibu tidak memberi tahu keluarganya tentang alamatnya bekerja, khan?”
“Iya sih...”
“Tapi kadang, sempat terlintas satu pikiran untuk tetap tinggal di sini dan tidak perlu mencari mereka.”
“Apa maksudmu?” suara Marsha sedikit kaget. “Itu khan keinginanmu sejak dulu.”
“Iya.”
“Pasti kamu udah kena pengaruh bocah itu!”
Setelah ngobrol sebentar dengan Marsha rasanya pikiran tambah berat. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Di tembok belakang saya duduk terpajang foto yang lumayan besar. Foto saya saat SMA bersama Ibu.
Ibu atau Bu Sri adalah orang yang merawat saya sejak bayi. Saya asli keturunan keluarga Bali yang mungkin bisa dibilang agak kolot. Saya tidak tahu pasti sebenarnya, karena itu hanya dugaan saya. Keluarga saya waktu itu menganggap anak laki-laki adalah berkah sedangkan anak perempuan adalah musibah. Saya tidak tahu mengapa begitu. Tapi dari seluruh cerita Ibu saat saya  masih kecil, seluruh cucu Kakek saya adalah laki-laki dan beliau senang sekali. Tapi, ayah saya, yang merupakan anak terakhir Kakek memberi kabar kalau istrinya telah melahirkan anak kembar. Laki-laki dan perempuan.
Dengan memakai alasan adat jawa kalau anak kembar laki-laki dan perempuan harus dipisahkan sampai dewasa agar dapat terus bartahan hidup, Kakek mengirim saya berdua hanya dengan Ibu ke kota ini. Jauh sekali dari Bali. Saat itu saya masih bayi merah. Kakek berkata bahwa nanti ketika saya berusia sekitar sepuluh tahun Beliau akan mengambil saya kembali. Beliau juga mengatakan bahwa biaya hidup kami akan ditanggungnya.
Ibu hanya mendapat uang lima pulu ribu saat pergi dari rumah. Saat dalam perjalanan pun terjadi sebuah perampokan yang mermbuat pengantar kami meninggal. Untung kami bisa kabur dan tidak dapat mengabari keluarga saya di Bali. Ibu lupa mencatat alamat rumah saya di Bali. Sejak saat itu Ibu berusaha keras mencari uang untuk membiayai hidup kami dan juga sekolah saya karena komunikasi dengan keluarga saya di Bali terputus sehingga uang kiriman dari rumah pun tidak ada.
Saya sayang sekali Ibu.
Tapi, dua tahun lalu, begitu saya dapat mendirikan Rumah Awan, Ibu meninggal akibat serangan jantung.
Akhirnya saya benar-benar sendiri di dunia ini.
Lalu saya berkenalan dengan Marsha dan menjadi sahabatnya. Saat Marsha memutuskan meneruskan studinya ke Australia, saya merasa kesepian lagi meskipun kami sering berhubungan lewat telepon ataupun email. Kadang juga chating.
Tak lama setelah Marsha pergi, dia datang. Dia yang mendapat julukan Bocah Statistik dari Marsha itu cukup merubah saya. Dan jujur, dia perlahan telah merubah pendirian saya tentang jalan hidup yang telah saya pilih. Tentang semua hal yang selama ini saya anut serta pendirian saya.
Air mata saya menetes dengan tiba-tiba. Memikirkan semua yang telah terjadi di hidup ini sangat menyakitkan. Selalu sakit.
Saya benci seperti ini. Saya benci menjadi orang cengeng. Saya selalu menangis dan menjadi lebih sering menangis sejak Ibu pergi.
Saya ingin pergi menemukan keluarga saya dan bertanya mengapa mereka membuang saya. Saya juga ingin mengenal mereka dan mereka juga mengenal saya. Bahkan kadang ada pikiran untuk marah dan mengolok-olok mereka.
Tapi setiap melihat senyumnya hati saya selalu goyah. Saya jadi tidak ingin pergi meninggalkan tempat ini, rasanya saya jadi lupa apa tujuan hidup saya. Mungkin Marsha benar, dia telah mempengaruhi saya.
“Sori, jendelanya terbuka.” kata sebuah suara jadi jendela dekat pintu masuk yang tak jauh di sebelah saya. Saya segera menoleh pada suara yang familiar itu.
“Hey, kenapa menangis?”

Selasa, 22 Juli 2014

Rumah Awan : 3 - Faya



FAYA

Kringg..!!!
Sudah jam empat pagi. Rasanya baru dua jam gue tidur. Gue buka mata lebar-lebar, memandang langit-langit kamar yang putih bersih lalu menggeliat sebentar. Sudah waktunya bangun.
Air pagi ini masih sangat dingin seperti kemarin. Begitu menyentuh muka, rasanya segar sekali, gue basuh muka berkali-kali. Itu obat agar gue nggak ngantuk lagi. Ingat, buku-buku sudah menunggu.
Setelah matiin jam beker yang ternyata terus bunyi pas gue tinggal ke kamar mandi, gue hidupin lampu belajar dan memakai kacamata berframe hitam tipis. Saatnya belajar. Di notes kecil warna merah milik gue tertulis nanti ada pelajaran matematika bab matriks, biologi dan olah raga. Sekarang yang perlu dipelajari adalah matriks. Biologi bisa dibaca waktu sarapan sedangkan olah raga tidak perlu ngapa-ngapain, paling-paling  hanya lari keliling lapangan seperti biasanya trus maen voli.
Minggu lalu gue sudah baca sedikit tentang matriks, tidak terlalu sulit, lebih mudah dari logaritma. I atau identitas matriks, rumusnya (10 01)= berordo 2x2=1. Setelah  baca materi gue coba ngerjain soal yang ada. Minggu lalu soal itu belum tersentuh.
Di lantai bawah terdengar suara pintu terbuka. Mungkin Nenek sudah bangun. Masih jam 4.36. Lalu terdengar pula suara perabotan dapur seperti panci yang sepertinya diletakkan di atas kompor dengan agak keras. Nenek pasti mau bikin sarapan. Apa nggak kepagian?
Jika A adalah matriks berordo 2x2 dan memenuhi A(12 33)=(25  0-6) maka detA=....  Soal nomor 3 ini sama persis polanya dengan contoh soal. Gampang, gue bisa. Gue hitung secermat mungkin dan hasilnya detA=4.  Masih ada 12 soal lagi yang harus gue kerjain.
Sambil terus ngerjain soal gue denger Kakek juga sudah bangun. Suara langkah kaki yang diseret seperti ini hanya Kakek saja yang punya di rumah ini. Terdengar pelan tapi tegas, mirip karakter Kakek. Kalo Yoga pasti belum bangun.
Jam 6 gue udah selesai mandi dan siap berangkat ke sekolah. Semua perlengkapan untuk sekolah hari ini juga sudah lengkap di dalam tas selempangan merah gue. Tapi sebelum berangkat, sudah tradisi, gue harus sarapan bareng  keluarga.
Di bawah, di meja makan, sudah tersedia nasi goreng hangat lengkap dengan tahu tempe dan telur mata sapi. Hmm, baunya enak. Kakek masih dengan sarung kotak-kotak hijaunya, terlihat serius membaca koran hari ini. Gue toleh sebentar sebelum duduk di kursi di depan Kakek, ternyata masalah politik lagi. Kakek selalu ngikutin perkembangan politik di Indonesia. Apa bagusnya dunia yang penuh kebohongan itu? Gue nggak tertarik sama sekali.
“Faya, mau makan sama telur?” tanya Nenek sambil ngambilin gue piring.
Gue terima piring dari Nenek. “Sama tempe aja Nek, ntar Faya ambil sendiri, Nenek udah sarapan?” tanya gue. Nenek gue itu kalem banget dan selalu senyum. Meski sudah keriput tapi masih keliatan kalo dulu mudanya Nenek itu cantik. Nenek yang juga pintar merajut ini biasa menerima pesanan rajutan. Salah satu hasil rajutannya berupa sweater cokelat yang sekarang dipakai Nenek. Kelihatannya hangat.
“Yoga! Ayo sarapan!” panggil Kakek masih tetap membaca koran.
Suapan nasi goreng pertama gue rasain dan seperti biasana, enak banget. Tradisi di rumah gue yang hanya ada gue, Yoga, Kakek dan Nenek ini sarapan tidak pernah berupa roti tawar dan selai seperti keluarga lainnya. Kami masih memegang tradisi bangsa yang selalu makan nasi.
Yoga keluar kamar dengan muka berantakan saat gue ngeluarin buku biologi. Dia menguap lebar-lebar lalu langsung duduk di sebelah gue dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Pasti baru bangun, dasar pemalas.  Nenek, yang duduk di depan Yoga, mengambilkan sarapan untuknya dengan porsi yang banyak lengkap dengan tahu tempe juga telur mata sapi. Yoga sangat rakus.
Yoga mengangkat kepalanya lagi begitu Nenek meletakkan piring tepat didepan mukanya. Ternyata aroma nasi goreng itu membangunkannya.
“Yoga hari ini kuliah jam berapa?” tanya Nenek yang sekarang mengambil sarapan untuk dirinya sendiri.
“Jam ke3-4 Nek, agak siangan,” jawabnya lalu menyuapkan nasi goreng ke mulutnya dengan sangat lahap. “Lo kok bisa makan sambil baca?” tanyanya tiba-tiba. Gue noleh dan melihat muka herannya. Ternyata dia makan sambil ngliatin gue.
“Apa nggak ada pertanyaan lain? Itu tadi pertanyaan yang udah kesejuta kalinya.” Jawab gue cuek lalu kembali ke buku biologi.
“Masa?”
Mulut Yoga terbuka, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi batal karena bel rumah berbunyi. Nenek dengan tanggap segera melihat siapa orang yang bertamu pagi begini.
“Siapa, Nek?” tanya Kakek melipat korannya dan beranjak dari tempatnya menyusul Nenek.
Tak lama kemudian terdengar tawa dari ruang tamu. Kakek, Nenek, dan tamunya yang dari suaranya terdengar seperti seorang kakek-kakek, tertawa renyah bersama. Mungkin teman mereka.
“Ntar abis sekolah langsung pulang.”
 Gue langsung berhenti mengunyah nasi goreng mendengar kalimat Yoga barusan. “Nggak usah keluyuran ke mana-mana.” Lanjutnya sambil terus mengunyah nasi goreng.
“Bukan urusan lo.” Kata gue sambil memasukkan buku biologi ke tas.
Yoga meletakkan sendoknya dan menoleh ke arah gue. “Lo tuh sekali-kali harus nurut ma gue.”
“Buat apa?” gue udah berdiri.
“Kegiatan lo tuh nggak ada yang jelas. Lo ke mana aja tiap pulang sekolah, hah? Pulang ke rumah pasti udah sore. Ikut ekskul juga nggak.”
“Gue nggak mau nurut sama orang bego kayak lo.” Ujar gue dengan jelas sekali lalu gue pergi ninggalin Yoga yang mukanya mirip bokap kalau sedang marah. Benar-benar mirip.
Bus hari ini penuh sekali. Untung saja gue dapat tempat duduk, kalo nggak pasti gue harus desak-desakan kayak orang-orang yang lagi berdiri itu. Salah satu hal yang paling gue hindari. Orang yang duduk di sebelah gue, deket jendela, lagi asyik teleponan sama pacarnya. Dari tadi sayang-sayangan melulu. Risih juga dengarnya.
Nggak sengaja mata gue tertuju pada pemandangan yang jarang gue lihat dengan mata gue sendiri, tapi lebih sering gue lihat di TV.
Pencopetan.
Seorang cowok bertubuh jangkung, kurus, memakai baju yang kelihatannya seperti anak kuliahan, pelan-pelan membuka resleting tas seorang ibu-ibu agak montok yang berdiri tepat di depannya. Posisi yang berhimpitan seperti ini pasti sangat menguntungkannya.
Cowok itu sepertinya sudah profesional. Dia menggunakan kesempatan saat bus mengerem mendadak. Semua orang yang berdiri terhuyung ke depang dan memperkuat pegangan mereka agar tidak jatuh. Tapi tetap saja mereka semua saling dorong meski tidak sampai jatuh. Cowok itu langsung mengambil dompet ibu tadi. Dompet kecil berwarna hitam yang langsung disimpan di saku celana jinsnya. Matanya sempat melihat ke arah gue dan gue langsung buang muka agar tidak ketahuan kalau gue baru saja  melihatnya beraksi.
Di halte berikutnya, pencopet itu langsung turun. Saat berjalan di samping gue, dia tersenyum. Pasti dia tahu kalo gue liat aksinya tadi.
“Bye.” kata pencopet itu pelan disamping gue.
Gue diem aja. Gue nggak kenal siapa dia. Sebenarnya tadi gue bisa teriak kalo sedang ada pencopetan di bus. Tapi males. Selama kejadian itu nggak ganggu gue, gue nggak akan ikut-ikutan. Gue males cari gara-gara dan sok jadi pahlawan.
Sok pahlawan.
Jadi inget musuh besar gue, Lintang. Orang yang paling sok pahlawan di dunia ini. Selain itu masih  ada Yoga dan Lintang Yang Lain.
Kenapa ada banyak orang yang sok pahlawan di sekitar gue? Dan mengapa mereka selalu beranggapan kalo gue butuh pertolongan mereka? Gue bisa jalanin hidup sendiri tanpa bantuan mereka.
Kelas 1 SMA gue sekelas sama Lintang. Begitu dengar namanya gue jadi ingat Lintang Yang Lain. Ternyata mereka mirip, sama-sama sok pahlawan. Lintang mengajak kenalan seluruh anak di kelas saat MOS termasuk gue. Sebelum kenalan sama gue, dia dengan sok pahlawannya ngasih permen, yang merek permennya kalo dibaca dari belakang bunyinya gak berubah, kayak permen sugus, untuk MOS punyanya ke temen gue yang lupa bawa. Karena tindakannya itu dia dimarahi panitia MOS dan mendapat hukuman dijemur di lapangan upacara selama satu jam dengan tangan hormat ke bendera Merah Putih. Sejak saat itu, dia dianggap pahlawan anak sekelas.
Dia dengan pede ngajak gue kenalan dengan senyum lebarnya. Gue yang udah tahu dia sok pahlawan agar punya banyak temen gue cuekin. Tangannya yang terjulur itu nggak gue bales. Mungkin gue memang menyebalkan, tapi gue benci orang seperti itu, orang yang sok pahlawan.
“Lho, dompet saya mana?” Ibu montok yang kecopetan tadi mencari dompet di tasnya saat gue turun dari bus. Semua penumpang menoleh padanya dengan pandangan penasaran ingin tahu tahu apa yang terjadi.
Mungkin hari ini hari sial ibu itu.
=========
Di gerbang sekolah, gue liat Nana pergi nyamperin temen sekelas sekaligus teman sebangku gue, Andi. Oh ya, temen yang pas kelas satu yang dikasih permen sama Lintang itu ya si Nana ini. Karena kejadian itu, kayaknya si Nana jadi sahabatnya. Tapi kalo menurut gue sih, Nana malah lebih mirip pembantunya. Ke manapun Lintang pergi, Nana pasti ngekor kayak dia itu ekor permanen Lintang.
Saat melewati Nana dan Andi, gue sempet denger Nana muji Lintang. Dia dapat nilai bagus lagi dalam ujian dadakan Bahasa Indonesia kemarin lusa, dia dapat 89. Nana dan Andi yang tidak menyadari keberadaan gue terus ngobrolin Lintang sampe gue udah nggak bisa denger suara mereka lagi.
Kemarin lusa di kelas gue juga ada ujian dadakan Bahasa Indonesia. Gue nggak yakin bisa dapat bagus. Malamnya gue nggak belajar Bahasa Indonesia, tapi harus belajar fisika. Pelajaran yang paling gue benci selain Bahasa Inggris. Kalau sampe gue dapat nilai jelek, pasti Lintang akan sangat senang dan terus mengolok-olok gue.
Gue akui, Lintang itu anak yang cerdas. Tapi gue nggak mau kalah sama dia. Di bidang apapun. Jadi gue bertekad akan menjadi orang yang lebih pintar dari dia meski otak gue nggak seencer otaknya.  Sampai kapanpun gue nggak mau kalah sama dia.
“Faya!” saat berjalan di koridor menuju kelas, seseorang manggil gue dari belakang. Ternyata Andi.
“Ada apa?”
Setelah dekat gue dia langsung ngomong. “Kata Nana, kemaren lusa kamu bikin masalah lagi ya sama Lintang?”
Ternyata Nana benar-benar pembantu setia Lintang. Gue rasa gue nggak perlu menjawabnya dan gue putusin segera pergi ke kelas.
Andi langsung menyamakan langkahnya di samping gue. “Kalian kapan mau baikan?” tanyanya tenang.
“Gue nggak ada niat buat baikan.” Jawab gue males.
“Tapi kalian udah musuhan sejak kelas satu lho.”
“Bodoh amat.”
“Tapi Faya, kalo musuhan itu nggak baik lho, bla bla bla,”
Mulai lagi deh mantan Ketua OSIS SMA Erlangga ini pidato. Mungkin para guru dulu ngajuin dia jadi calon ketua OSIS karena dia pintar pidato kayak gini. Sukanya kasih petuah yang panjang lebar sampe bikin orang yang mendengarnya ngantuk.
Jujur aja, gue nggak suka dikuliahin kayak gini. Mana dia ngomongnya kayak sama anak SD lagi! Padahal sebenarnya gue tahu tujuannya repot-repot membuat gue-Lintang baikan. Tenar.
Andi itu narsis abis dan gila popularitas. Semua orang di sekolah ini tahu gue dan Lintang musuhan dan sudah banyak orang berusaha mendamaikan kami, termasuk para guru, tapi hasilnya nihil. Karena memang gue nggak mau baikan sama dia. Mungkin menurut Andi, kalau seandainya dia bisa membuat kami baikan, dia pasti akan disanjung, dihormati dan populer karena usaha kerasnya.
“Udahlah, Ndi!” tepat di depan pintu kelas, gue berhenti di depannya yang dari tadi ngoceh tapi nggak gue dengerin. Kedua tangan gue di pinggang. “Gue nggak mau denger nasihat lo.” Andi ngeliat gue dengan wajah yang terlihat agak sakit hati. Mungkin dia nggak suka dihentikan saat ceramah. Itu berarti kata-katanya nggak berguna. “Dan please banget, ntar di kelas jangan ngajak gue ngomong.”
Saat gue masuk ke dalam kelas, gue sempet liat dia mengeluh sambil menyibakkan rambut berponinya lalu memakai kacamata berbingkai tebal ala Afgannya yang ditaruh di saku seragamnya.
Gue nggak suka dia tapi harus gue akui dia adalah mantan gue.
========
Akhirnya sekolah hari ini selesai.
Gue tetap duduk di bangku saat semua orang berebut keluar kelas dan menciptakan kegaduhan yang ceria.
“Faya, gue duluan ya!” teriak Tina, salah satu teman sekelas gue yang duduk di depan. Gue hanya tersenyum dan melambaikan tangan padanya.
Nggak sengaja gue noleh ke samping dan ternyata Andi juga masih ada di tempatnya. Gue kaget banget, sampe-sampe mata gue melotot. Dia menatap gue aneh. Nggak biasanya dia liat gue kayak gitu.
“Apa!?”
Dia tersenyum sebentar lalu pergi ninggalin gue yang penuh tanya. Dia kenapa ya? Apa dia marah gara-gara tadi pagi? Tapi dia bukan orang yang gampang marah karena hal kecil kayak tadi pagi. Bodoh amat, mau marah apa nggak emang gue pikirin.
=======
Sebuah gedung berlantai lima yang terletak di jalan kecil sehingga bus ataupun truk tidak boleh lewat, letaknya tak jauh dari sekolah, bertuliskan AT Mobil sekarang ada di depan gue. Gue nggak tepat ada di depannya, tapi gue duduk di salah satu bangku kayu milik perpustakaan yang ada di seberang jalan dari gedung itu.
Perpustakaan kota yang bernama Perpustakaan Kartini ini adalah tempat yang sering gue datangi sepulang dari sekolah sebelum pulang ke rumah. Di pangkuan gue sudah ada novel Harry Potter and the Half Blood Prince yang sebenarnya sudah gue baca berulang kali. Tadi gue ambil gitu aja dari rak buku. Gue buka sembarang novel itu dan terbuka di halaman 397.
Sebenarnya novel ini hanya alasan saja, mata gue sama sekali tak membaca huruf-huruf yang ada di halaman itu. Gue memusatkan pandangan ke gedung AT Mobil.
AT Mobil. Awan Tinggi Mobil. Tempat orang itu bekerja.
Meski samar, gue bisa liat orang sibuk bekerja di sana. Diantara mobil yang ada di show room, ada orang yang berpenampilan formal yang bicara lewat telepon genggamnya sambil berkacak pinggang. Mata gue menyipit untuk memastikan siapa orang itu. Mungkin saja gue salah lihat karena cukup banyak kendaraan yang lewat. Jarang banget bisa lihat orang itu di bawah seperti ini. Biasanya dia ada di kantornya di lantai dua.
Tapi mata gue nggak salah, orang itu adalah bokap gue.
Tak lama kemudian seorang wanita berumur tiga puluhan dengan rambut panjang digelung datang menghampirinya. Wanita itu memakai pakaian formal berwarna biru dan tersenyum lebar. Harus gue akui wanita itu cantik.
Dialah Lintang Yang Lain.
Entah apa yang mereka bicarakan sambil sesekali tersenyum. Hal itu membuat gue merasa nggakk nyaman. Rasanya kepala gue jadi panas melihatnya. Nggak tahu kenapa gue selalu sebal melihatnya. Gue ingin ke sana lalu teriak sekeras mungkin dan marah-marah ke dia, tapi itu nggak mungkin gue lakuin. Tadi pagi gue sudah sebel banget gara-gara Yoga, lalu Andi di sekolah, sekarang Lintang Yang Lain. Rasanya sekarang udah pingin meledak. Novel yang ada dipangkuan tak sadar gue pegang kuat sampai halamannya kucel. Gue alihkan pandangan ke atas. Yang terlihat hanya daun yang menutupi birunya langit. Gue tarik nafas dalam-dalam agar lebih tenang lalu melihat bokap lagi.
Mereka sudah tidak ada.
Inilah yang gue lakuin tiap hari sepulang sekolah. Melihat apa yang dilakukan bokap dan Lintang Yang Lain. Sejak cerai, gue dan Yoga tidak tinggal bersama bokap ataupun nyokap, kami milih tinggal bersama Kakek Nenek. Kami jarang bertemu mereka. Gue masih bisa liat bokap dari sini tapi kalau nyokap, gue udah nggak tahu lagi dia ada di mana. Gue juga nggak mau tahu.
“Faya, kenapa tidak baca di dalam saja?” tanya Mbak Lea, salah satu pengurus perpustakaan ini begitu masuk ke dalam halaman perpustakaan. Dia membawa tas kresek hitam agak besar dan gue dapat mencium bau soto dari dalamnya. Mungkin Mbak Lea baru membeli makan siang.
“Di sini saja Mbak, udaranya segar.” jawab gue tersenyum.
Mbak Lea berjalan mendekatiku. “Sudah makan?” Dia tersenyum. Senyum yang misterius. Orang ini masih muda, sekitar awal tiga puluhan, tapi dia aneh.
Gue menggeleng. “Belum lapar, Mbak, nanti saja.”
“Kalau gitu Mbak masuk dulu ya, mau makan siang, lapar banget.” lanjutnya sambil mengelus perutnya. Sebelum pergi, Mbak Lea sepertinya memandangku dengan aneh.
Mbak Lea sudah mengenal gue karena gue memang sering ke perpustakaan ini. Hampir setiap hari gue ke sini. Semua pengurus perpustakaan ini juga udah kenal gue. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue selalu merasa ada yang aneh pada Mbak Lea. Terutama senyumnya yang selalu misterius itu. Gue nggak pernah bisa menebak arti senyumnya itu.
Setelah Mbak Lea hilang dari pandangan, gue bingung mau ngapain lagi. Bokap juga sudah tidak terlihat lagi. Lebih baik pulang saja. Setelah memasukan novel Harry Potter ke dalam tas, gue langsung beranjak pergi.