MBAK AYU
Pagi ini masih sama kelabunya
seperti kemarin.
Tapi menyenangkan, begitu membuka
mata, awanlah yang pertama terlihat. Itu karena saya tidak tidur di kamar,
melainkan di balkon kamar. Saya memang sengaja tidur di balkon kamar. Banyak
yang bertanya, begitu tahu saya sering tidur di balkon, apakah tidak takut atau
kedinginan? Tentu saja dingin, tapi tidak takut. Tidak ada yang saya takuti
selain Tuhan di dunia ini.
Tapi, siapakah Tuhan saya?
Nama saya Luh Ayu Apah Pertiwi. Luh
berarti saya anak pertama perempuan, Ayu karena katanya saya ayu dengan kata
lain cantik. Apah yang berarti zat cair dan Pertiwi berarti zat padat. Jadi
singkatnya saya anak perempuan pertama keluarga saya yang keturunan Bali,
cantik, yang tercipta dari zat cair yaitu darah dan zat padat berupa tulang dan
daging.
Setelah beristirahat sebentar, saya
segera beranjak ke dapur dan membuat teh. Saya mempunyai anemia yang cukup
parah, jadi kalau begitu membuka mata langsung berdiri, pasti pusing.
Dapur yang jadi satu ruangan dengan
meja makan dan sofa putih tempat tamu berkunjung ini tidak begitu besar.
Peralatan yang ada juga tidak begitu banyak.
Kring...kring.....
Wireless berbunyi. Saya segera
mengangkatnya dan duduk di sofa putih sambil membawa cangkir teh.
“Halo,”
“AYU!!”
Wireless segera saya jauhkan dari
telinga karena teriakan tadi. Dari suaranya saja sudah bisa ditebak siapa yang
menelepon saya pagi ini. Dia adalah Marsha, sahabat saya yang sekarang
meneruskan S2 psikologinya di Sydney University.
“Aduh, jangan teriak begitu dong,”
saya protes.
“Hehe, sori Yu, abis kangen banget
sih sama kamu!” jawab Marsha ceria. “Gimana kabarnya?”
“Baik, tapi belakangan ini tambah
sibuk.” Air teh pertama yang masuk ke dalam tenggorokan rasanya enak sekali.
Seperti air hujan yang baru turun dan mengaliri sungai kering akibat kemarau.
Segar. “Kamu sendiri bagaimana?”
“Very well. Baiiik banget!” saya
yakin di Aussie Marsha pasti sedang bahagia sekali sampai tersenyum lebar
seperti kebiasaannya kalau sedang senang. Bisa saya membayangkan senyumnya itu.
“Ada sesuatu yang menyenangkan ya?”
pasti pertanyaan ini sudah ditunggu Marsha.
“Hehe, tahu aja.” Marsha pasti tersenyum.
Marsha selalu harus ditanya dahulu
agar mau cerita. “Apakah sesuatu yang menyenangkan itu?” tanya saya perlahan
seperti narator di Teletubbies.
“Percaya nggak, I have new
boyfriend!” senyum Marsha pasti sangat lebar.
Senyum juga langsung menghiasi
wajah saya. “Wah, selamat ya!”
Lalu Marsha cerita banyak tentang
pacar barunya yang katanya orang Jepang yang bekerja di salah satu perusahaan
periklanan di Sydney. Namanya Kotarou Inoue. Marsha memanggilnya Kota. Kota
orangnya tinggi dan lumayan berotot, cerdas, lucu, dan memiliki selera humor
yang bagus. Tipe lelaki kesukaan Marsha. Dari dulu Marsha suka orang yang lucu
dan memiliki selera humor yang bagus.
Mereka berkenalan ketika ada pesta
pembukaan sebuah restoran Cina di dekat apartemen Marsha. Kota adalah teman
dari teman sekelas Marsha. Mereka berkenalan dan berbincang sebentar. Ternyata
mereka saling merasa cocok lalu memutuskan untuk pergi keluar kapan-kapan.
Mereka juga sempat bertukar nomor telepon genggam.
Sejak saat itu mereka sering keluar
bersama dan semalam mereka resmi pacaran. Kato membawa Marsha ke restoran Cina
tempat mereka pertama kali bertemu yang diberi nama Peking Duck, karena menu
utamanya memang Peking Duck. Di sana Kato menyanyikan lagu-lagu cinta seperti
lagu Terpanah Asmara-nya Bunga Citra Lestari, lalu Bila Aku Jatuh Cinta milik
Nidji, Makhluk Tuhan Paling Sexy-nya Mulan Jameela dan Sempurna milik Andra and
the Backbound.
Kota menyanyikan semua lagu itu
dalam bahasa Indonesia yang sangat jelek dan tidak lancar. Pantas saja, dia
sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. Marsha tidak berhenti tertawa saat
Kota menyanyikan lagu Makhluk Tuhan Paling Sexy, desahan ah ah dan ih ih-nya
sangat lucu. Saya juga langsung tertawa mendengar Marsha menirukan desahan Kota
ala Mulan Jameela itu.
Lalu Marsha merasa sangat senang
saat Kota menyanyikan Sempurna. Kota yang memang bisa memainkan gitar bernyanyi
dengan penuh penghayatan diiringi gitar yang ia petik sendiri. Meski Marsha
tahu semua kata yang diucapkan Kota salah dan tidak bermakna, seperti kau
menjadi ko, bahkan baris pertama Sempurna yang berbunyi ‘kau begitu sempurna’
menjadi ‘ko bakiku zenburuna’, ia merasa sangat senang dan bahagia. Yang
diherankannya hanya satu, darimana Kota bisa tahu semua lagu itu? Dan kapan dia
belajar menyanyikan semua itu?
Teh yang ada di cangkir telah habis
tapi rasanya tenggorokan ini masih haus. Jadi, dengan masih terus menempelkan
wireless di telinga, saya beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Lebih baik
air putih saja. Cangkir saya letakkan begitu saja di meja lalu mengambil air
putih.
“By the way, kamu lagi sibuk apaan?” tanya Marsha setelah panjang lebar
cerita tentang Kota.
“Tidak sibuk apa-apa, masih sama
seperti biasanya,” saya meneguk air putih. “Mengurus Rumah Awan.”
“Kamu beneran nggak papa sendirian
terus di rumah?” ada nada khawatir di suara Marsha.
Saya tersenyum senang karena masih
ada yang peduli pada saya. “Tidak apa-apa Marsha, malah enak tidak ada yang
mengganggu.”
“Bocah statistik itu masih sering
ganggu kamu?”
“Ya seperti biasanya,” saya
menghempaskan tubuh ke sofa putih lagi. “Tapi sudah dua hari ini dia tidak
datang.”
Sepertinya saya dapat mendengar
Marsha menghembuskan nafas panjang. “Ayu, apa benar kamu akan berhubungan
dengan anak kecil itu? Apa kamu tidak mau cari yang lebih tua saja? Paling
nggak yang lebih dewasa.”
Saya diam.
“Lagian, Ayu, katamu dulu kamu
masih harus nemuin keluargamu dulu baru ngurusin yang namanya cowok,”
“Iya,” jawab saya lemas. “Kemarin,
Pak Agung sudah menemukan sedikit petunjuk. Tapi tentang keluarga Ibu.” Marsha
pasti tahu yang saya maksud Ibu itu adalah Ibu Sri. Orang yang sudah merawat
saya sejak bayi.
“Pak Agung? Detektif yang kamu sewa
itu?”
“Iya.”
“Lho, tapi kamu khan cari keluargamu, bukan keluarga Bu Sri?”
“Lho, tapi kamu khan cari keluargamu, bukan keluarga Bu Sri?”
“Tapi nanti kita bisa tahu alamat
mereka dari keluarga Ibu. Mana mungkin Ibu tidak memberi tahu keluarganya
tentang alamatnya bekerja, khan?”
“Iya sih...”
“Tapi kadang, sempat terlintas satu
pikiran untuk tetap tinggal di sini dan tidak perlu mencari mereka.”
“Apa maksudmu?” suara Marsha
sedikit kaget. “Itu khan keinginanmu sejak dulu.”
“Iya.”
“Pasti kamu udah kena pengaruh
bocah itu!”
Setelah ngobrol sebentar dengan
Marsha rasanya pikiran tambah berat. Saya tidak tahu apa yang harus saya
lakukan.
Di tembok belakang saya duduk
terpajang foto yang lumayan besar. Foto saya saat SMA bersama Ibu.
Ibu atau Bu Sri adalah orang yang
merawat saya sejak bayi. Saya asli keturunan keluarga Bali yang mungkin bisa
dibilang agak kolot. Saya tidak tahu pasti sebenarnya, karena itu hanya dugaan
saya. Keluarga saya waktu itu menganggap anak laki-laki adalah berkah sedangkan
anak perempuan adalah musibah. Saya tidak tahu mengapa begitu. Tapi dari
seluruh cerita Ibu saat saya masih
kecil, seluruh cucu Kakek saya adalah laki-laki dan beliau senang sekali. Tapi,
ayah saya, yang merupakan anak terakhir Kakek memberi kabar kalau istrinya
telah melahirkan anak kembar. Laki-laki dan perempuan.
Dengan memakai alasan adat jawa
kalau anak kembar laki-laki dan perempuan harus dipisahkan sampai dewasa agar
dapat terus bartahan hidup, Kakek mengirim saya berdua hanya dengan Ibu ke kota
ini. Jauh sekali dari Bali. Saat itu saya masih bayi merah. Kakek berkata bahwa
nanti ketika saya berusia sekitar sepuluh tahun Beliau akan mengambil saya
kembali. Beliau juga mengatakan bahwa biaya hidup kami akan ditanggungnya.
Ibu hanya mendapat uang lima pulu
ribu saat pergi dari rumah. Saat dalam perjalanan pun terjadi sebuah perampokan
yang mermbuat pengantar kami meninggal. Untung kami bisa kabur dan tidak dapat
mengabari keluarga saya di Bali. Ibu lupa mencatat alamat rumah saya di Bali.
Sejak saat itu Ibu berusaha keras mencari uang untuk membiayai hidup kami dan
juga sekolah saya karena komunikasi dengan keluarga saya di Bali terputus
sehingga uang kiriman dari rumah pun tidak ada.
Saya sayang sekali Ibu.
Tapi, dua tahun lalu, begitu saya
dapat mendirikan Rumah Awan, Ibu meninggal akibat serangan jantung.
Akhirnya saya benar-benar sendiri
di dunia ini.
Lalu saya berkenalan dengan Marsha
dan menjadi sahabatnya. Saat Marsha memutuskan meneruskan studinya ke
Australia, saya merasa kesepian lagi meskipun kami sering berhubungan lewat
telepon ataupun email. Kadang juga chating.
Tak lama setelah Marsha pergi, dia
datang. Dia yang mendapat julukan Bocah Statistik dari Marsha itu cukup merubah
saya. Dan jujur, dia perlahan telah merubah pendirian saya tentang jalan hidup
yang telah saya pilih. Tentang semua hal yang selama ini saya anut serta
pendirian saya.
Air mata saya menetes dengan
tiba-tiba. Memikirkan semua yang telah terjadi di hidup ini sangat menyakitkan.
Selalu sakit.
Saya benci seperti ini. Saya benci
menjadi orang cengeng. Saya selalu menangis dan menjadi lebih sering menangis
sejak Ibu pergi.
Saya ingin pergi menemukan keluarga
saya dan bertanya mengapa mereka membuang saya. Saya juga ingin mengenal mereka
dan mereka juga mengenal saya. Bahkan kadang ada pikiran untuk marah dan
mengolok-olok mereka.
Tapi setiap melihat senyumnya hati
saya selalu goyah. Saya jadi tidak ingin pergi meninggalkan tempat ini, rasanya
saya jadi lupa apa tujuan hidup saya. Mungkin Marsha benar, dia telah
mempengaruhi saya.
“Sori, jendelanya terbuka.” kata
sebuah suara jadi jendela dekat pintu masuk yang tak jauh di sebelah saya. Saya
segera menoleh pada suara yang familiar itu.
“Hey, kenapa menangis?”