Jumat, 07 November 2014

Rumah Awan : 13 Mbak Ayu



MBAK AYU

Bintang mengatakannya lagi.
Bintang mengatakan lagi kalau dia suka saya. Saya tidak tahu harus memberi alasan apalagi padanya agar dia tidak mengatakannya lagi.
Semalam, dia menelepon saya berkali-kali tapi saya hiraukan. Saya bingung harus menghadapinya. Bukannya saya tidak suka dia, tapi saya memutuskan untuk tidak memikirkan hal yang berkaitan dengan rasa suka saat ini. Saya hanya ingin menemukan keluarga saya di Bali. Saya ingin bertemu orangtua kandung saya.
Marsha semalam juga telepon. Dia menangis karena baru saja putus dengan pacarnya yang dari Jepang, Kota. Marsha bilang Kota suka minum minuman beralkohol hingga mabuk. Dia baru sadar kalau orang Jepang kebanyakan memang suka minum sake ataupun minuman beralkohol lainnya sementara Marsha tidak suka punya pacar pemabuk.
“Sial banget nasibku,” katanya sesenggukan.
“Bukan jodoh mungkin,” hibur saya.
“Mungkin,”
Setelah membersihkan rumah, saya segera pergi ke Rumah Awan yang letaknya tepat di sebelah rumah saya. Di sana sudah ada Dani yang membawa lukisan di tangan kirinya.
“Dan, itu punya siapa?” tanya saya begitu melihat lukisan yang ternyata rusak itu. Kanvasnya sobek tepat di tengah dan sangat kotor.
Dani mengangkatnya sedikit. “Tadi ada di pojokan sana,” dia menunjuk tempat di mana Lintang melukis kemarin. “Tadi diatasnya ada dua anak kucing, kayaknya mereka nyakarin lukisan ini,”
“Mungkin itu lukisan Lintang, jangan dibuang ya, letakkan di gudang saja,” Dani mengacungkan jempol tangannya lalu pergi ke gudang.
“Kemarin Lintang ke sini?” tanya Dani begitu kembali dari gudang.
“Iya, lumayan lama, pulangnya sorean,”
“Tumben banget tuh bocah!” komentar Dani. “Mbak, apa bener Mbak mau ke Bali?” tanyanya.
“Iya Dan, Mbak ada kepentingan di sana,” jawab saya. Dulu saya memang pernah memberitahunya tentang niat saya pergi ke Bali itu.
“Terus tempat ini gimana dong?” tanyanya lagi dengan nada sedikit kecewa.
Saya tersenyum padanya. Mungkin Dani pikir jika saya pergi maka tempat ini akan ditutup. Rasanya senang kalau tempat yang kita buat memiliki arti untuk orang lain.  
“Sebenarnya saya akan membicarakan tentang ini denganmu hari ini, tapi kamu sudah mulai duluan. Ayo, duduk dulu,” kata saya padanya yang dari tadi berdiri di depan saya. Dia menyeret kursi kayu di depan saya perlahan lalu duduk. “Dani, saya memiliki keinginan yang egois,tapi saya harap kamu mau mengabulkannya.”
Dani hanya diam, keningnya mengkerut. “Saya ingin kamu mengelola tempat ini,” lanjut saya.
“Maksudnya, gue yang ngurus tempat ini?”
“Iya, kamu mengurus tempat ini, semua hal tentang tempat ini. Dengan kata lain kamu jadi pemiliknya.”
“Hah!” mulut Dani terbuka lebar. “Apa gue nggak salah denger?” dia menggaruk-garuk kupingnya yang ada banyak tindikannya. “Kok gue jadi pemiliknya sih? Trus lo gimana?”
“Saya akan baik-baik saja. Saya yakin kamu bisa jaga tempat ini.”
“Tapi ini khan punya lo yang lo buat susah payah.”
“Iya, tapi saya harus pergi,”
Dani sekarang menggaruk-garuk kepalanya yang sedikit gondrong dengan cepat. Wajahnya terlihat gugup. “Lo nggak butuh apa-apa lagi dari tempat ini?” tanyanya lambat. “Lo..lo..lo nggak butuh duit dari sini?” tanyanya lagi barhati-hati.
“Saya tidak butuh uang dari tempat ini Dan, yang saya butuh hanya eksistensi tempat ini,” jelas saya. “Saya hanya tidak ingin tempat ini terlupakan.”
“Lo nggak butuh duit buat ke Bali dan hidup di sana?”
Saya tertawa sebentar. Dani bertanya dengan wajah polos seperti anak kecil. “Saya sudah mempersiapkan semuanya dari dulu, saya sudah ada tabungan untuk ke sana dan hidup di sana. Lagipula, saya khan bisa cari kerja di sana,”
“Tapi, ini khan..”
“Sudahlah Dan, kamu mau tidak mengabulkan keinginan saya?” tanya saya tegas. Kalau tidak segera dipastikan, saya tidak akan lega.
Dani diam. Sepertinya dia sedang berpikir. “Apa gue boleh jawab minggu depan?”
“Sayang sekali, tidak boleh. Saya harus segera siap-siap pergi.”
Sepuluh menit berlalu. Saya terus memperhatikan Dani yang bingung memikirkannya. Saya harap dia mau melakukannya. Saya tahu dia sangat suka seni dan terlahir di dunia seni tapi untuk itu dia harus rela tidak diakui keluarganya karena keluarga besarnya bergerak di bidang politik. Sejak saat itu dia hidup susah seorang diri mencari uang untuk membiayai hidup dan kuliahnya. Perjuangan yang mirip dengan Ibu. Jalan hidupnya juga mirip Lintang yang dipaksa Mamanya untuk jadi dokter. Untungnya Lintang masih belum separah Dani dan saya harap tidak seperti itu akhirnya.
“Ba, baiklah kalo gitu,” kata Dani pelan. Wajahnya sampai berkeringat.
“Terima kasih.” Saya tersenyum. ”Mulai hari ini kamu jadi pemilik Rumah Awan, selamat ya,” saya menjabat tangannya yang dingin. Dani menerima jabatan tangan saya dengan kuat dan sedikit gemetar.
“Semua arsip Rumah Awan ada di sini,” saya menunjuk map-map yang ada di atas meja. “Sebagian masih di rumah, belum saya cek, kalau sudah selesai saya berikan ke kamu.” Saya ambil tas tangannya saya.
“Mbak mau ke mana?” tanya Dani.
“Saya mau pulang saja, rasanya mau flu,”
“Tapi, boleh tanya satu hal lagi?” Dani bertanya lagi. Wajahnya memerah. Saya mengangguk “Sorry, ini mungkin pribadi, tapi apa Mbak nggak sebaiknya memberitahu Bintang?”
Senyum saya lenyap. Dani juga tahu kalau saya tidak memberi tahu Bintang soal ini. Dani sudah dewasa dan saya tidak bisa mengelak kalau dia dapat melihat ada sesuatu diantara saya dan Bintang.
“Tolong jangan beri tahu dia tentang semua ini.”
Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Ibu, semoga apa yang saya lakukan ini benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar