MBAK AYU
Bintang mengatakannya lagi.
Bintang mengatakan lagi kalau dia
suka saya. Saya tidak tahu harus memberi alasan apalagi padanya agar dia tidak
mengatakannya lagi.
Semalam, dia menelepon saya
berkali-kali tapi saya hiraukan. Saya bingung harus menghadapinya. Bukannya
saya tidak suka dia, tapi saya memutuskan untuk tidak memikirkan hal yang
berkaitan dengan rasa suka saat ini. Saya hanya ingin menemukan keluarga saya
di Bali. Saya ingin bertemu orangtua kandung saya.
Marsha semalam juga telepon. Dia
menangis karena baru saja putus dengan pacarnya yang dari Jepang, Kota. Marsha
bilang Kota suka minum minuman beralkohol hingga mabuk. Dia baru sadar kalau
orang Jepang kebanyakan memang suka minum sake ataupun minuman beralkohol
lainnya sementara Marsha tidak suka punya pacar pemabuk.
“Sial banget nasibku,” katanya
sesenggukan.
“Bukan jodoh mungkin,” hibur saya.
“Mungkin,”
Setelah membersihkan rumah, saya
segera pergi ke Rumah Awan yang letaknya tepat di sebelah rumah saya. Di sana
sudah ada Dani yang membawa lukisan di tangan kirinya.
“Dan, itu punya siapa?” tanya saya
begitu melihat lukisan yang ternyata rusak itu. Kanvasnya sobek tepat di tengah
dan sangat kotor.
Dani mengangkatnya sedikit. “Tadi
ada di pojokan sana,” dia menunjuk tempat di mana Lintang melukis kemarin.
“Tadi diatasnya ada dua anak kucing, kayaknya mereka nyakarin lukisan ini,”
“Mungkin itu lukisan Lintang,
jangan dibuang ya, letakkan di gudang saja,” Dani mengacungkan jempol tangannya
lalu pergi ke gudang.
“Kemarin Lintang ke sini?” tanya
Dani begitu kembali dari gudang.
“Iya, lumayan lama, pulangnya
sorean,”
“Tumben banget tuh bocah!” komentar
Dani. “Mbak, apa bener Mbak mau ke Bali?” tanyanya.
“Iya Dan, Mbak ada kepentingan di
sana,” jawab saya. Dulu saya memang pernah memberitahunya tentang niat saya
pergi ke Bali itu.
“Terus tempat ini gimana dong?”
tanyanya lagi dengan nada sedikit kecewa.
Saya tersenyum padanya. Mungkin
Dani pikir jika saya pergi maka tempat ini akan ditutup. Rasanya senang kalau
tempat yang kita buat memiliki arti untuk orang lain.
“Sebenarnya saya akan membicarakan
tentang ini denganmu hari ini, tapi kamu sudah mulai duluan. Ayo, duduk dulu,”
kata saya padanya yang dari tadi berdiri di depan saya. Dia menyeret kursi kayu
di depan saya perlahan lalu duduk. “Dani, saya memiliki keinginan yang
egois,tapi saya harap kamu mau mengabulkannya.”
Dani hanya diam, keningnya
mengkerut. “Saya ingin kamu mengelola tempat ini,” lanjut saya.
“Maksudnya, gue yang ngurus tempat
ini?”
“Iya, kamu mengurus tempat ini,
semua hal tentang tempat ini. Dengan kata lain kamu jadi pemiliknya.”
“Hah!” mulut Dani terbuka lebar.
“Apa gue nggak salah denger?” dia menggaruk-garuk kupingnya yang ada banyak
tindikannya. “Kok gue jadi pemiliknya sih? Trus lo gimana?”
“Saya akan baik-baik saja. Saya
yakin kamu bisa jaga tempat ini.”
“Tapi ini khan punya lo yang lo
buat susah payah.”
“Iya, tapi saya harus pergi,”
Dani sekarang menggaruk-garuk
kepalanya yang sedikit gondrong dengan cepat. Wajahnya terlihat gugup. “Lo
nggak butuh apa-apa lagi dari tempat ini?” tanyanya lambat. “Lo..lo..lo nggak
butuh duit dari sini?” tanyanya lagi barhati-hati.
“Saya tidak butuh uang dari tempat
ini Dan, yang saya butuh hanya eksistensi tempat ini,” jelas saya. “Saya hanya
tidak ingin tempat ini terlupakan.”
“Lo nggak butuh duit buat ke Bali
dan hidup di sana?”
Saya tertawa sebentar. Dani
bertanya dengan wajah polos seperti anak kecil. “Saya sudah mempersiapkan
semuanya dari dulu, saya sudah ada tabungan untuk ke sana dan hidup di sana.
Lagipula, saya khan bisa cari kerja di sana,”
“Tapi, ini khan..”
“Sudahlah Dan, kamu mau tidak
mengabulkan keinginan saya?” tanya saya tegas. Kalau tidak segera dipastikan,
saya tidak akan lega.
Dani diam. Sepertinya dia sedang
berpikir. “Apa gue boleh jawab minggu depan?”
“Sayang sekali, tidak boleh. Saya
harus segera siap-siap pergi.”
Sepuluh menit berlalu. Saya terus
memperhatikan Dani yang bingung memikirkannya. Saya harap dia mau melakukannya.
Saya tahu dia sangat suka seni dan terlahir di dunia seni tapi untuk itu dia
harus rela tidak diakui keluarganya karena keluarga besarnya bergerak di bidang
politik. Sejak saat itu dia hidup susah seorang diri mencari uang untuk
membiayai hidup dan kuliahnya. Perjuangan yang mirip dengan Ibu. Jalan hidupnya
juga mirip Lintang yang dipaksa Mamanya untuk jadi dokter. Untungnya Lintang
masih belum separah Dani dan saya harap tidak seperti itu akhirnya.
“Ba, baiklah kalo gitu,” kata Dani
pelan. Wajahnya sampai berkeringat.
“Terima kasih.” Saya tersenyum.
”Mulai hari ini kamu jadi pemilik Rumah Awan, selamat ya,” saya menjabat
tangannya yang dingin. Dani menerima jabatan tangan saya dengan kuat dan
sedikit gemetar.
“Semua arsip Rumah Awan ada di
sini,” saya menunjuk map-map yang ada di atas meja. “Sebagian masih di rumah,
belum saya cek, kalau sudah selesai saya berikan ke kamu.” Saya ambil tas
tangannya saya.
“Mbak mau ke mana?” tanya Dani.
“Saya mau pulang saja, rasanya mau
flu,”
“Tapi, boleh tanya satu hal lagi?”
Dani bertanya lagi. Wajahnya memerah. Saya mengangguk “Sorry, ini mungkin
pribadi, tapi apa Mbak nggak sebaiknya memberitahu Bintang?”
Senyum saya lenyap. Dani juga tahu
kalau saya tidak memberi tahu Bintang soal ini. Dani sudah dewasa dan saya
tidak bisa mengelak kalau dia dapat melihat ada sesuatu diantara saya dan Bintang.
“Tolong jangan beri tahu dia
tentang semua ini.”
Saya tidak tahu lagi apa yang harus
saya lakukan. Ibu, semoga apa yang saya lakukan ini benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar