YOGA
Nasi goreng lezat buatan Nenek
rasanya jadi nggak lezat lagi. Piring di sebelah gue masih banyak terisi nasi
goreng, tapi orangnya sudah pergi.
“Kek, Nek, Faya ke sekolah dulu,”
Lama gue ngunyah nasi goreng yang
biasanya akan ludes hanya dalam hitungan detik. Faya beneran gila. Dia selalu
nggak mau menghargai Kakek Nenek. Ok, dia sopan di depan mereka, tapi tetap
saja semaunya sendiri, egois. Dia nggak pernah mikir hal lain selain dirinya
sendiri. Kok bisa gue punya adek kayak dia?
Suapan terakhir nasi goreng ini
rasanya sudah nggak muat lagi di perut. Padahal perut gue ini bener-bener mirip
gentong, semua makanan bisa masuk. Tapi untungnya gue nggak gendut-gendut.
Nenek kembali ke meja makan. “Lho,
Faya tidak habis sarapannya?”
Gue bisa melihat seraut kekecewaan
di wajah Nenek. Nasi goreng spesial buatannya ternyata nggak spesial buat Faya.
“Faya nanti ada pelajaran olahraga
Nek, jadi nggak bisa makan banyak.” ujar gue menghibur. “Dia takut ntar
perutnya sakit kalau dipake lari.”
Nenek hanya tersenyum mendengar
alasan gue.
“Tamunya siapa, Nek?” gue alihkan
pembicaraan pada tamu yang baru saja berkunjung pagi-pagi gini.
“Teman lama Kakek, teman SMA.
Katanya mau ada reuni.” Kata Nenek sambil meneruskan sarapannya. “Kamu kuliahnya
agak siangan, khan?”
Gue mengangguk.
“Ntar tolong bawain rajutan
pesanannya Bu Siti yang rumahnya dekat kampus kamu itu ya?” pinta Nenek.
Gue mengangguk lagi dan kembali ke
kamar yang bercat hitam.
Hitam itu sangat aneh. Penuh
teka-teki yang bisa membuat orang lupa pada banyak hal saat sedang berusaha
memecahkannya. Itu kata orang yang pernah gue liat di TV waktu SD dulu. Waktu
itu gue sama sekali nggak tahu apa maksudnya tapi gue selalu ingat kata-kata
itu. Dan gue sangat suka warna hitam. Walaupun sampai sekarang gue sama sekali
tidak tahu teka-teki yang ada pada warna hitam.
Gue sendiri yang ngecat saat
pertama nempatin kamar ini, kira-kira tiga tahun yang lalu. Tapi tidak semua
gue cat hitam. Ntar jadi nggak bisa bedain mana siang mana malem lagi kalau
semua dicat hitam. Apalagi di kamar gue yang berantakan ini nggak ada
jendelanya.
Dari keempat dinding kamar, yang
dua gue cat hitam sedangkan yang lain gue cat putih, berselang-seling. Biar
kamar gue sedikit cerah. Dulu malah gue kepikiran pingin ngecat pola catur,
tapi nggak jadi karena gue males. Pasti bakal butuh waktu yang lama buat
ngecat.
Rasanya nyaman menghempaskan tubuh
yang sudah kenyang seperti ini di atas kasur. Kasur gue berantakan banget dan
ya lumayan bau karena udah berbulan-bulan sepreinya belum gue ganti. Untung
Nenek nggak tau. Nenek jarang masuk ke dalam kamar ini.
Gue mandang langit-langit kamar.
Ada lambang hitam putih yang saling bertaut membentuk lingkaran. Simbol yin dan
yang. Bukan gue yang ngecat itu, gue nggak bisa, jadi gue nyuruh tukang cat
yang udah biasa ngecat saja.
Jadi inget, bokap gue dulu kalau
lagi suntuk juga selalu menengadahkan kepalanya melihat ke atas, ke atap rumah,
langit, daun pohon atau apapun. Waktu kecil, gue nggak ngerti arti ataupun guna
kebiasaannya itu, sampai sekarang gue masih belum begitu ngerti. Tapi gue bisa
sedikit melupakan pikiran yang memberatkan dan merenungkannya sekaligus mencari
jalan keluarnya kalau ngelakuin itu. Kalau kepala lagi puyeng, gue sering
melakukan hal yang sama. Apa dia juga masih sering ngelakuin itu?
Bokap sama Nyokap, gimana kabar
mereka?
Gue mendengar suara ring tone hp
gue berbunyi, suara klakson truk. Segera
gue samber hp yang semalam perasaan gue taruh di kasur tapi setelah gue cari
nggak ada, ternyata malah ada di atas meja belajar gue yang udah beralih fungsi
menjadi meja serbaguna yang pantes dijadiin rumah tikus itu.
“Halo?” jawab gue yang langsung
duduk di kursi tanpa melihat dulu nama si penelepon.
“Bos kemarin kata anak-anak nyari
gue ya?” dari suaranya sudah pasti ini Rendy.
Gue mengangguk. Rendy pasti nggak
bisa liat.
“Ada apa Bos?”
Rendy, anak buah gue yang paling
setia dan penurut tapi tolol.
“Lo hari ni ada kuliah nggak?” gue
ngalihin mata gue ke jam meja berbentuk Mickey Mouse hadiah dari Faya waktu ultah
gue yang kesembilan. Jam 7.05.
Kedengarannya Rendy lagi buka-buka
buku.
Jangan-jangan, “Ren, lo nggak hafal
jadwal kuliah lo ya?” tanya gue males sambil memainkan pensil yang panjangnya
tinggal setengah di meja.
Rendy tertawa sedikit malu. “Hari
ni cuman jam 3-4 doang Bos.” Dia melaporkan hasil pencariannya. Sama, gue juga
nggak hafal sebenarnya. Kalau nggak ada si Sisil yang SMS gue tiap pagi kasih
tau jadwal kuliah, gue juga nggak bakal tau kalau hari ini gue masuk mulai jam
ketiga.
“Gue ada kerjaan buat lo, tapi
nggak ada yang boleh tau.”
“Apaan tuh Bos?” tanya Rendy segera
dengan semangat.
Gue bicara pelan, mantap.
“Mata-matain adek gue.”
Nggak ada suara. Rendy diam. Lama.
“Ren, lo masih hidup apa udah mati?”
“Beneran tuh Bos?” tanya Rendy
ragu.
“Iya,”
“Adek Bos?”
“Iya.”
“Yang masih SMA itu, khan?”
“Iya!”
“Tapi beneran adek Bos sendiri?”
“IYA, MONYET!!!”
Abis udah kesabaran gue menghadapi
anak ini. “Pokoknya ikutin kemana aja
dia pergi!”
“I, iya Bos.” Ujar Rendy. Dari
suaranya kayaknya dia masih tidak percaya dengan perintah gue berusan. “Mulai
hari ini ya?”
Spontan gue menepuk jidat. Gue
nggak perlu jawab pertanyaan konyol ini.
“Nanti abis kuliah gue langsung
cabut ke SMA adeknya Bos.” Ujar Rendy cepat. Takut gue marahin lagi kayaknya.
Tok tok.
“Yoga, ini rajutan yang mesti kamu
bawa nanti,”
Waduh, Nenek kok ke sini. Kamar gue
lagi berantakan banget. Setelah matiin hp, gue berjalan cepat ke arah pintu
biar Nenek nggak perlu masuk ke dalam.
Telat.
Nenek langsung terdiam melihat
kondisi kamar gue yang bagi Nenek bisa dibilang amat sangat memprihatinkan
sekali. Nenek bahkan sampai tidak tersenyum seperti biasanya. Gua hanya
senyum-senyum nggak jelas dan menampakkan wajah minta belas kasihan saat Nenek
menoleh ke arah gue. Biasanya gue bisa nyembunyiin kondisi kamar, tapi hari ini
gue ketangkap basah.
Gue langsung kena omel. Nenek
paling nggak suka sama yang namanya kotor dan ketidakrapian. Kalau Nenek liat
ada benda yang kotor ataupun berantakan sedikit saja, pasti bakal marah. Yang
sering kena marah tentu saja gue. Karena memang gue orang yang paling tidak
peduli kebersihan, kerapian dan semua tentang hal nggak jelas itu di rumah ini.
Nenek menunjuk kasur gue lalu
lemari gue yang separuh pintunya terbuka, sialnya baju gue yang juga berantakan
jelas kelihatan banget, kemudian lantai dan yang terakhir meja belajar. Gue
dikomando agar merapikannya sekarang juga dan didepannya. Dengan terpaksa gue
merapikan semua yang tadi ditunjuk Nenek. Padahal gue masih pingin
santai-santai dulu di kamar sebelum kuliah.
Hah...nasib…
=========
Sekarang gue lagi duduk-duduk di
depan kelas sambil menggerak-gerakkan tangan nggak jelas. Rasanya gue capek
banget. Ternyata merapikan kamar lebih melelahkan daripada nggebukin pecundang
dari geng barat. Joni yang duduk di sebelah gue dari tadi sibuk mendengarkan
musik dari mp3 playernya,
Rajutan Nenek udah gue anterin ke
rumahnya Bu Siti. Nggak tau kenapa, Ibu itu seneng banget pas lihat gue datang.
Itu ibu-ibu yang maunya gue panggil tante langsung nyeret gue masuk ke dalam rumahnya yang serba warna ungu dan
nyubit pipi gue berulang kali. Dan dia juga sempet ngajak gue sarapan yang
jelas gue tolak. Orang itu nggak normal! Apa dia itu tante-tante kesepian? Ih,
merinding gue bayanginnya! Gue ogah lagi
ke sana!
“Hey, men!” Tio datang dan meninju
lengan gue. “Tampang lo kusut banget, kenapa?”
Gue tinju dia balik dan dia
duduk di sebelah gue. “Tampang lo cerah banget, kenapa?” tanya gue balik.
“Ye! Nih anak, ditanya malah balik
nanya!” Tio menjitak kepala gue. “Lo tadi dari mana, gue lihat tadi lo keluar
dari rumah orang deket kampus. Lo nggak ngerampok, khan?”
“Lo tau aja.” Gue gerak-gerakin tangan gue ke segala arah,
rasanya masih pegel. Tio menghindar saat tangan gue hampir kena kepalanya. “Gue
tadi nganter rajutan Nenek ke rumah temennya.”
Tio tersenyum mendengar penjelasan
gue barusan. “Lo tuh cucu paling manis sedunia tau nggak.” katanya dan sekarang
dia tertawa. “Gue mau lho punya cucu kayak lo ntar. Udah baek, manis dan lucuu
banget!”
“Diem lo!” gue injek kakinya kesal.
“Temen Nenek gue tadi kayaknya tante-tante kesepian deh. Rumahya norak, di
mana-mana warna ungu. Yang cat rumahnya, sofanya, mejanya juga. Gila nggak
tuh!” kata gue keras biar nggak kalah sama tawa Tio. Tapi dia malah tertawa
lebih keras lagi. Nggak lucu!
“Lo tau nggak, kata orang ungu itu
warna janda. Jangan-jangan tante girang itu memang udah nggak punya suami, dia
jablai dan pengen lo belai!” Tio bicara genit sekali menirukan banci lalu
terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya.
Gue langsung nyerbu dia dengan
tonjokan di lengannya. “Anjing lo! Mending gue kasih ke lo aja, lo khan playboy
cap buaya!”
Sebelum Tio membalasnya, tiba-tiba
teman sekelas gue, Farid, datang dengan nafas ngos-ngosan. “Ga, mereka, anak
geng barat cari ribut!” katanya agak terputus-putus sambil ngelap keringat di
pelipisnya.
Gue ingin langsung ke tempat
kejadian tapi gue biarin dia jelasin masalahnya dulu.
“Tadi pas temen kita lagi jalan mau
ke lab kimia, anak geng barat njegal dia sampai jatuh dan parahnya makalah anak
sekelasnya jatuh di kubangan air!” dia mengatur nafasnya sebentar lalu berkata
lagi. “Dia bilang mulai sekarang daerah itu punya geng barat! Padahal itu khan
daerah kita!!”
Panas juga gue dengernya. Gue
ngelempar gitu aja tas gue dan berlari pergi diikuti Tio dan juga Joni.
“Di depan kantin, Ga!” teriak Joni
dari belakang memberi tahu lokasinya.
Anak geng barat itu harus mampus!
Enak banget bilang itu daerah mereka!
Pas gue dateng sudah ada banyak
yang berkelahi. Beberapa anak mengeroyok seorang cowok berambut panjang yang
diikat. Pasti dia anjing pecundang itu!
“Minggir!” teriak gue dan anak yang
lain langsung mendorong cowok itu ke arah gue yang langsung gue beri hadiah
tonjokan dahsyat tepat di ulu hatinya. Cowok itu berteriak kesakitan dan
terjatuh. Kemudian temennya dari geng barat banyak yang datang membantu cowok anjing itu tapi langsung
dihadang anak buah gue. Gue angkat anjing
yang wajahnya udah penuh darah dan hidungnya patah. Hasil karya anak
buah gue. Nggak gue biarin dia balas nonjok gue dan gue semakin membabi buta.
Tanpa ragu gue hadiahi lagi dia dengan banyak tonjokan, tendangan dan pukulan
sampai dia tidak bisa berdiri.
“BERHENTI!!”
Sialan!!
Satpam kampus, berempat sekaligus,
datang untuk menghentikan semua keributan ini. Anak buah gue masih kelihatan
senang ada hiburan yang menyenangkan ini. Mereka menggebuki semua anak geng
barat yang datang untuk menolong anjing tadi. Anak geng barat cari masalah di
wilayah gue, jelas saja mereka masuk ke mulut Tyranosaurus yang kelaparan. Ini
adalah wilayah gue, enak aja bilang ini daerah kekuasaan geng barat!
Anjing tadi kayaknya sudah pingsan.
Gue lumayan puas.
“Ga, cepet kabur!” Tio menarik
tangan gue kabur.
“Semua kabur!!!” gue teriak dan
semua anak buah gue berlari cepat. Anak geng barat yang masih kuat langsung
melarikan, kecuali anjing itu dan beberapa temannya yang sudah nggak kuat lagi berdiri. Farid juga sempat menginjak
perut anjing itu sebelum kabur.
Kami berlarian pergi mencari tempat
aman. Anak-anak yang tadi di kantin dan sempat melihat pesta tadi berteriak
saat satpam masuk ke kantin mengejar anak buah gue. Mereka, terutama
cewek-cewek, sampai naik ke atas meja, memecahkan banyak piring juga gelas.
Gue nggak masuk ke kantin dan bisa
kabur. Anak buah gue ternyata banyak juga yang tolol, lari ke dalam kantin yang
malah bikin mereka mudah tertangkap. Apa mereka nggak bisa lihat satpam kampus
pada punya perut segede tong sampah? Harusnya mereka tahu kalau satpam-satpam
itu nggak bisa lari kenceng. Harusnya mereka cari tempat kabur yang bisa buat
mereka terus lari hingga satpam-satpam itu tidak kuat lagi mengejar mereka.
Kalau di kantin ruang gerak mereka pasti sempit, belum lagi kalau ternyata di
sana ada anak geng barat yang dengan senang hati mau membantu satpam itu
menangkap mereka.
Kayaknya mereka butuh kursus untuk
kabur.
=========
Ah, akhirnya gue dateng ke tempat
ini lagi.
“Pak, esnya satu! Porsi jumbo ya!”
Pak es cincau langganan gue
langsung menyiapkan pesanan gue sambil memperhatikan gue yang duduk asal di
pinggir trotoar, ngos-ngosan.
“Abis berantem lagi, Mas?” tanyanya
sambil memasukkan es batu ke dalam gelas.
“Anak geng barat pada belagu sih,
Pak!”
“Ga!” Tio yang larinya lebih lambat
dari gue berteriak dari ujung jalan. Gue noleh dan dia segera menghampiri gue.
“Bang, esnya satu, dibayarin Yoga.” Katanya enteng di sebelah gue.
“Enak aja lo!”
Tio hanya tersenyum sambil
meluruskan kakinya yang panjang. “Tampang lo aja keren tapi kere!”
Pak es cincau mengulurkan gelas
besar ke gue dan langsung gue minum sampai setengah gelas dalam sekali teguk.
“’Aus banget keliatannya,” ujar Tio
masih ngos-ngosan.
“Pak, nih kere bayar sendiri, gue
cuma bayar pesenan gue sama utang gue yang dulu.”
“Utang yang mana ya?” kening pak es cincau mengkerut, mencoba mengingat.
Es gue sudah habis waktu pak es
cincau memberikan pesenan Tio yang juga langsung diminum dengan cepat. “Itu
lho, Pak, cewek yang dulu beli pas Bapak mau kabur.” terang gue. “Yang namanya
aneh itu lho Pak, si Noa Kleper ato apalah gue lupa.”
Pak es cincau teringat kembali tapi
tadi kelihatan kikuk saat gue bilang dia mau kabur. Mungkin dia malu. Tapi dulu
khan memang dia mau kabur.
“Oh, Neng itu.”
“Cewek? Cantik nggak, Ga?” Tio
langsung nimbrung. Peka banget telinganya kalau dengar kata cewek. “Kenalin
dong?”
“Ogah! Lo ya kalau denger yang
namanya cewek aja langsung nyambung.” gue menapik tangannya yang ada di pundak
gue. “Yo, mending lo ambilin tas gue aja deh, di depan kelas, gue mau bolos.”
“Gue ikut ya?”
“Terserah, udah cepet sana pergi!”
gue dorong Tio berdiri.
Tio mengembalikan gelas esnya yang
sudah kosong lalu membayarnya.
“Iya, bentar!” protesnya karena gue
terus mendorong dia biar cepat pergi.