Kamis, 28 Agustus 2014

when one of my dreams comes true...

       Salah satu mimpiku adalah mengunjungi negeri matahari terbit yang tak lain adalah Jepang. Aku sudah suka tentang Jepang dari kecil. Mulai kenal yang namanya Jepang dari anime Doraemon, Sailor Moon, terus pas SMP dikasih majalah yang bahas soal anime sama Kakakku. Kebetulan juga Kakak suka Jepang, suka maen game RPG dari Jepang, jadi obrolan kami nyambung. Jadi kangen dia T.T
       Semakin gede aku semakin ingin menginjakkan kaki di negara yang cantik itu. Aku berusaha dari belajar bahasa Jepang, masuk jurusan bahasa Jepang waktu kuliah, sampai ikut seleksi untuk dapat beasiswa ke Jepang. Sayang sekali aku gagal dalam semua seleksi itu. Satu pengalaman yang paling bikin sedih ketika aku lolos salah satu seleksi beasiswa dan dinyatakan oke tapi ternyata aku tidak jadi berangkat. Semua syarat dari bikin pasport, bikin surat dll yang ribetnya minta ampun di kampus, sampai nangis-nangis, sudah aku lakukan tapi karena ada salah paham antara dosen d kampus dengan pihak universitas yang memberiku beasiswa aku tidak jadi berangkat. 
       Waktu itu karena terlalu kaget, sumpek, marah, aku sampai tidak bisa nangis. Padahal teman-teman, semuanya, sudah mengucapkan selamat padaku namun apa boleh buat, aku tidak jadi berangkat.
Semua kegagalan itu tidak membuat keinginanku untuk pergi ke Jepang pudar begitu saja. Mimpi itu akan jadi nyata, aku yakin sekali. Dalam doa mimmpi itu kusampaikan pada Yang Kuasa. Suatu hari aku menemukan cara untuk bisa pergi ke Jepang dan akhirnya dengan bantuan orang tuaku, aku bisa melihat, merasakan mimpiku jadi nyata. 
      Terima kasih Tuhan, terima kasih sekali pada orang tuaku juga. Aku bisa merasakan ini semua berkat kalian. Love you...

Rumah Awan : 6 Bintang



BINTANG

“Sory, jendelanya terbuka,” kalimat pertama yang langsung meluncur ketika melihat jendela berselambu putih ini terbuka.
Ayu yang dari tadi gue lihat sedang melamun dan terus menatap ke depan menoleh cepat. Pipinya basah dan matanya merah.
“Hey, kenapa menangis?”
Ayu menunduk cepat, secepat menoleh tadi. Tanpa permisi, gue langsung masuk lewat jendela yang berukuran tidak terlalu besar tapi masih bisa gue lewatin. Ayu mengelap pipinya yang basah dengan tangan kirinya yang bebas, tangan kanannya membawa gelas.
Gue langsung duduk di sebelahnya. Ini pertama kalinya gue melihatnya menangis.
“Hei, kamu kenapa?” tanya gue menyentuh lembut pundaknya. Dia masih menunduk terdiam. “Kamu sakit?”
Ayu tetap tidak mau menjawab pertanyaan gue. Gue bersandar ke sofa dan diam. Sepertinya Ayu tidak ingin diganggu dulu. Gue hanya bisa diam menunggunya menenangkan diri terlebih dulu. Setelah sekitar lima menit kami duduk dalam diam, gue yakin itu sudah cukup membuatnya lebih tenang, gue mulai bicara.
“Maaf, aku tadi masuk lewat jendela,”
“Iya,” jawabnya pelan.
“Ayu, kamu belum mandi ya?” tanya gue karena dia masih memakai piyama putihnya. “Bau. Seperti kambing yang belum mandi seabad.” Goda gue sambil menutup hidung dengan tangan dan bertingkah seolah gue ingin jauh-jauh darinya. Gue harap dia sedikit terhibur.
Dia tersenyum. “Maaf ya,” dia berdiri menuju dapur. “Saya mandi dulu,”
“Mau dimandiin nggak?” goda gue lagi. Dia hanya tersenyum lalu pergi. 
Gue bukan tipe orang yang pintar bergurau. Lintang pernah berkata kalau gue itu tipe orang terlalu serius. Katanya ketika gue melontarkan gurauan, muka gue tetep serius dan akhirnya  gurauan gue malah terasa garing. Dulu Stary juga bilang kalau selera humor gue payah.
Tapi Ayu selalu tersenyum.
Gue sendirian duduk di sofa putih nyaman ini sambil mengamati rumah mungil Ayu yang bernuansa putih, simple dan nyaman. Perabot yang ada di rumah ini tidak terlalu banyak. Letak rumah Ayu ini ada tepat di samping Rumah Awan. Tak banyak yang tahu, gue yakin Lintang juga tidak tahu.
Samar, suara shower terdengar lembut tapi ada kesan sedih. Seperti suara tangis yang mewakili perasaan pemiliknya. Gue selalu beranggapan kalau Ayu itu perempuan yang tegar. Gue jarang, bahkan hampir tidak pernah, melihatnya sedih, kecuali kalau dia ingat Ibunya. Tapi hari ini Ayu berbeda. Apa yang sedang menganggu pikirannya?
Gue jadi teringat Ibu Ayu. Gue langsung mendongak ke belakang dan melihat foto besar Ayu yang masih remaja bersama Ibunya. Seorang perempuan yang sudah berumur dengan raut wajah penuh kasih sayang memeluk gadis cantik berseragam abu-abu putih yang duduk disampingnya. Ibu itu adalah orang yang paling berarti bagi Ayu.
Gue juga berharap suatu saat nanti bisa berarti baginya.
Ponsel gue di saku celana bergetar. Telepon dari Teguh.
“Ada apa?”
“Tadi anak geng timur ngeroyok anak geng kita.” Bukan suara Teguh. “Teguh masuk rumah sakit, ini Farid.”
“Rumah sakit?” gue tidak kaget, sudah terbiasa. “Bagaimana ceritanya?”
Farid menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi itu. Hari ini gue tidak ada kuliah, jadi gue tidak ke kampus. Gue tidak bisa membantu yang lainnya. Menurut Farid, yang menghajar Teguh adalah ketua geng timur sendiri, Yoga.
Yoga, anak akuntansi yang bisa dibilang anak yang bodoh, selalu bertindak tanpa pikir panjang, hanya mengandalkan otot. Gue hanya sekali bertemu dia dan kesan gue tentangnya langsung jelek. Sampai kapanpun gue tidak boleh kalah dengan orang sebodoh itu.
“OK, gue segera ke rumah sakit.”
Gue mematikan hp lalu mengambil notes kecil catatan nomor telepon milik Ayu di meja telepon yang ada di sebelah sofa dan menulis pesan pada Ayu kalau gue harus segera pergi. Kemudian gue keluar lewat jendela seperti saat masuk tadi. Masuk ke mobil Honda Jazz hitam gue dan segera melajukan mobil menuju rumah sakit.
Setiba di rumah sakit yang tadi diberi tahu Farid, gue langsung naik lift menuju lantai empat. Rumah sakit berlantai enam ini dulu juga tempat kakak gue satu-satunya dirawat, Stary.
Stary anak yang cerdas dan cantik. Kuliah jurusan kedokteran dan sedang pergi magang saat kecelakaan itu terjadi. Tabrak lari yang sampai sekarang belum diketahui siapa pelakunya.
“Bintang!” gue menoleh ke belakang. Fadli yang tubuhnya lumayan subur berlari kecil. Rasanya ada gempa bumi kecil akibat langkah kakinya itu.
“Gimana keadaan Teguh?” tanyanya tersengal-sengal.
Gue menggelengkan kepala.
“Udah mati??” teriaknya histeris.
Gue langsung menepuk pundaknya. “Gue belum bilang apa-apa,” protes gue agak sebal melihat reaksinya tadi. Fadli ini memang orang yang tidak sabaran. “Gue tidak tahu, gue belum lihat dia langsung, gue juga bru saja datang, tapi kata Farid lumayan parah.”
“Ya ampun!” Fadli menepuk keningnya lalu kami berjalan menuju kamarnya.
Di kamar yang diperuntukkan empat pasien itu hanya terisi dua pasien yang letaknya berhadapan. Pasien lainnya ternyata seorang anak SMA yang tiga hari lalu keracunan akibat makan makanan kaleng yang sudah kadaluarsa. Kata Mamanya, anaknya membeli makanan itu di supermarket terkenal, tapi tetap saja ada yang kadaluarsa. Ternyata nama besar tidak menjamin kualitas. Gue turut prihatin dengan musibah yang menimpanya.
Setelah berbincang-bincang sedikit dengan Mama anak SMA tadi, baru gue melihat keadaan Farid. Ada sekitar sebelas anak yang mengitarinya, jadi gue memberi waktu dulu sebentar agar mereka bisa ngobrol sebentar dengan Teguh.
Tak berapa lama kemudian, beberapa anak memberi jalan supaya gue bisa mendekati tempat tidurnya dan Farid yang sedari tadi duduk di sebelah tempat tidur Teguh, memberikan kursinya untuk gue. Gue lihat Teguh dari ujung kaki hingga kepalanya. Mahasiswa tingkat dua itu hidungnya patah. Tangan kirinya keseleo dan banyak luka lainnya. Tubuhnya banyak dibalut perban dan saat ini dia masih pingsan.
“Kurang ajar banget tuh geng timur!” teriak Fadli setelah beberapa saat bengong melihat keadaan Teguh. Yang lain mengiyakan pendapatnya.
“Yang lainnya gimana?” tanya Rio, yang baru saja datang dengan membawa sekotak kue brownies yang langsung menjadi santapan lezat anak-anak. Kalau melihat makanan, rasa sedih mereka melihat keadaan Teguh langsung lenyap begitu saja. Dasar otak udang.
“Ada tiga yang ketangkep satpam kampus, anak geng timur juga ada yang ketangkep, cuma dua.” Jelas Farid yang duduk dilantai, menyandarkan tubuhnya pada dinding rumah sakit yang putih. “Yang lainnya paling pada pulang, mereka nggak kena amuk separah Teguh.”
“Kapan nih kita balas dendam ke mereka, hah?” tanya Hadi dengan mulut yang penuh brownies.
“Sekarang aja!” usul Fadli cepat, mulutnya juga penuh brownies.
“Tapi sekarang kita khan lagi makan brownies,” ujar Farid tersenyum, dia menggoda Fadli. Semua yang ada di sini juga tahu kalau Fadli itu selalu ambil keputusan tanpa pikir panjang dan bisa dibilang lumayan bodoh. Tapi dia langsung pintar kalau membahas makanan.
“I, iya ya,” kata Fadli pelan. “Kapan-kapan aja deh.” Dia meneruskan acara makan browniesnya.
“Kenapa hanya Teguh yang lukanya paling parah kayak gini?” tanya Rio lagi.
Farid berpikir sebentar, mengingat peristiwa tadi. “Gue nggak tau. Tadi pas gue gabung, udah banyak yang digebukin dan hanya Teguh yang dihajar Yoga. Yang lain nggak bantu dia sama sekali. Terus pas gue masih mau ngajar si Yoga, satpam-satpam itu dateng dan gue bawa kabur aja Teguh yang udah nggak sadar.” Jelas Farid.
Hanya Teguh. Dia itu termasuk anak yang cerewet dan semaunya sendiri. Dia sering cari gara-gara, bahkan dengan teman satu gengnya sendiri.
“Apa lo tahu akar perkelahian tadi?” akhirnya gue bersuara. Semuanya diam, tak ada satupun jawaban. Jadi, rupanya tak ada seorangpun yang tahu penyebabnya.
“Gue nggak tau. Tadi tiba-tiba aja mereka udah ngeroyok anggota kita.” Jawaban Farid tidak berguna. Tidak mungkin kejadian itu terjadi tanpa ada penyebabnya. Belakangan ini sering terjadi cekcok antara geng barat dan timur. Pasti ada sesuatu dan gue yakin  Teguh pasti ada hubungannya.
“Cari tahu penyebab semua ini.” Perintah gue tegas. Gue tidak menyebutkan siapa yang harus pergi mencari. Tapi Farid dengan sendirinya berdiri dan bersama Rio pergi keluar.
“Serahin ke kita-kita saja.” Ujar Farid mantap.
“Gue ikut, gue ikut!” Fadli mengikuti mereka berdua keluar kamar.
“Fadli!” Panggil gue sesaat setelah dia keluar kamar. Dia langsung kembali ke dalam dengan muka penuh tanya. “Lo di sinisaja  jaga Teguh, biar mereka berdua yang pergi.” Muka penuh tanyanya tadi langsung berubah jadi cemberut.
“Tenang saja, kami temenin kok.” Rahmad menariknya mendekati tempat tidur Teguh.
“Moga aja dia nggak mati,” gumam Fadli pelan. “Kayak yang dulu-dulu,”
“Semoga,” Rahmad membenarkan. “Si bandar sabu Yudi, mahasiswa bloon Momon, rocker Dodi,” Rahmad diam sebentar. “Bisa gawat kalo semua nuduh kita yang bunuh mereka padahal nggak.”
“Iya, tapi....” kata Fadli. “Sekarang gue laper! Ke kantin yuk?”
Rahmad memukul keningnya sendiri. Dasar Fadli aneh. Setelah ini pasti Fadli hanya akan membicarakan masalah makanan. Gue melihat jam tangan biru di tangan kiri. Sudah waktunya pergi.  “Gue pergi dulu.” Gue pamitan kepada yang lain lalu pergi.
            Saatnya menjemput Lintang.
            Sejak Stary pergi, Mama jadi sering berpikiran buruk dan tidak tenang. Mama juga kadang menganggap kalau Stary masih ada di dunia ini dan menjadi anaknya yang manis. Sekarang, Lintang lah yang jadi korban kegelisahan Mama tapi Lintang terus memberontak hingga sering berakhir dengan pertengkaran. Kata Mama, sekarang Lintang anak perempuan satu-satunya, jadi Lintang harus di jaga baik-baik dan bisa berprestasi cemerlang seperti Stary. Namun menurutku cara Mama salah.
             Di depan sekolah Lintang, SMA Erlangga yang dulu juga SMA gue, ada orang yang tampak familiar. Salah satu anak buah Yoga yang setahu gue berotak udang seperti Fadli tapi gue lupa namanya. Dia menggerak-gerakkan kepalanya ke dalam gerbang sementara tubuhnya di luar gerbang, sepertinya sedang mencari-cari orang di dalam sekolah itu. Semoga itu bukan untuk kepentingan gengnya. Aneh juga melihat orang seperti itu, sama saja dengan Fadli. Kenapa di tempat kami ada orang yang mirip? Sama-sama berotak udang.
            Lintang keluar dari gerbang bersama Nana, teman sebangku sekaligus sahabatnya. Dia mencari-cari, gue yakin dia mencari jemputannya. Setelah menemukan gue, dia pamitan pada Nana dan segera menuju ke sini.
            “Tumben bisa ontime.” katanya sambil memasang seatbelt.
Gue mencubit pipinya. “Wah, sopan banget adek yang satu ini. Bilang terima kasih saja tidak.”
Lintang mengelus kepalanya. “Iya iya, makasih Kak Bintang jelek.”
Gue mengernyit. “Cowok seganteng Bintang dibilang jelek?” gue pura-pura marah biar dia takut terus gue bisa nertawain dia.
“Udah deh Kak, gak usah pura-pura marah gitu. Kakak tuh nggak pantes tahu nggak kayak gitu. Biasa aja, Lintang ngerti kok kalo Kak Bintang itu orangnya kaku, nggak pinter bikin candaan.” Lintang tersenyum.
Dia tahu kalau gue sedang berusaha membuat suasana jadi sedikit ramai. Gue memang kaku. “Lewat Rumah Awan?” tanya gue melajukan mobil.
“Yup! Seperti biasa!” jawabnya penuh semangat. “Aku pengen liat, hari ini rame nggak ya,”
Di depan Rumah Awan gue pelanin laju mobil dan kami, gue dan Lintang, menoleh ke dalam. Gue tidak bisa melihat ke dalam, Ayu juga tak terlihat. Apakah dia ada di dalam? Suasanan di dalam tidak terlalu terlihat karena memang gapuranya tidak lebar.
“Lumayan juga,” gumam Lintang pelan sambil menempelkan tangannya ke jendela.
Lalu gue melihatnya lagi lewat kaca spion. Cowok berotak udang anak buah si bodoh Yoga, yang tadi ada di depan sekolah Lintang, berjalan mengendap-endap seperti pengintai di depan Rumah Awan. Apa yang sedang di lakukannya? Gue perhatikan jalan di depannya, tidak ada siapa-siapa kecuali seorang anak cewek berseragam abu-abu putih berambut panjang.
Lintang merogoh saku roknya. Dia memencet-mencet tombol di HP dan tersenyum sendiri. Mungkin ada SMS. Ketika melewati cewek tadi, Lintang masih berkutat dengan HPnya, gue lihat dari kaca spion belakang ternyata cewek itu juga berkacamata. Gue juga bisa lihat, sepertinya otak udang itu terus menjaga langkahnya agar tidak ketahuan. Apa mungkin otak udang itu benar-benar membuntuti cewek itu? Mungkin saja otak udang itu naksir cewek itu.
“Lin, itu temenmu bukan?” tanya gue menggerakkan kepala ke belakang. Lintang menoleh ke belakang.
“Yang mana?” tanyanya tetap menoleh ke belakang. Matanya menelusuri jalan mencari sosok yang gue maksud.
“Yang pake seragam SMA, rambutnya panjang,” bahaya kalau ternyata cewek itu teman Lintang, kasihan kalau jadi korban anak buah Yoga.
Lintang menyipitkan mata, mempertajam pandangan. “Nggak ada sapa-sapa,” katanya pelan. “Nggak ada yang pake seragam,”
Gue kembali melihat kaca spion dan benar, cewek tadi sudah tidak ada dan otak udang tadi berdiri dan meneliti ke dalam perpustakaan kota yang tak jauh dari Rumah Awan.
Gue pindah gear dari dua ke tiga dan melajukan mobil dengan cepat.

Kamis, 07 Agustus 2014

Rumah Awan : 5 - Yoga



YOGA

Nasi goreng lezat buatan Nenek rasanya jadi nggak lezat lagi. Piring di sebelah gue masih banyak terisi nasi goreng, tapi orangnya sudah pergi.
“Kek, Nek, Faya ke sekolah dulu,”
Lama gue ngunyah nasi goreng yang biasanya akan ludes hanya dalam hitungan detik. Faya beneran gila. Dia selalu nggak mau menghargai Kakek Nenek. Ok, dia sopan di depan mereka, tapi tetap saja semaunya sendiri, egois. Dia nggak pernah mikir hal lain selain dirinya sendiri. Kok bisa gue punya adek kayak dia?
Suapan terakhir nasi goreng ini rasanya sudah nggak muat lagi di perut. Padahal perut gue ini bener-bener mirip gentong, semua makanan bisa masuk. Tapi untungnya gue nggak gendut-gendut.
Nenek kembali ke meja makan. “Lho, Faya tidak habis sarapannya?” 
Gue bisa melihat seraut kekecewaan di wajah Nenek. Nasi goreng spesial buatannya ternyata nggak spesial buat Faya.
“Faya nanti ada pelajaran olahraga Nek, jadi nggak bisa makan banyak.” ujar gue menghibur. “Dia takut ntar perutnya sakit  kalau dipake lari.”
Nenek hanya tersenyum mendengar alasan gue.
“Tamunya siapa, Nek?” gue alihkan pembicaraan pada tamu yang baru saja berkunjung pagi-pagi gini.
“Teman lama Kakek, teman SMA. Katanya mau ada reuni.” Kata Nenek sambil meneruskan sarapannya. “Kamu kuliahnya agak siangan, khan?”
Gue mengangguk.
“Ntar tolong bawain rajutan pesanannya Bu Siti yang rumahnya dekat kampus kamu itu ya?” pinta Nenek.
Gue mengangguk lagi dan kembali ke kamar yang bercat hitam.
Hitam itu sangat aneh. Penuh teka-teki yang bisa membuat orang lupa pada banyak hal saat sedang berusaha memecahkannya. Itu kata orang yang pernah gue liat di TV waktu SD dulu. Waktu itu gue sama sekali nggak tahu apa maksudnya tapi gue selalu ingat kata-kata itu. Dan gue sangat suka warna hitam. Walaupun sampai sekarang gue sama sekali tidak tahu teka-teki yang ada pada warna hitam.
Gue sendiri yang ngecat saat pertama nempatin kamar ini, kira-kira tiga tahun yang lalu. Tapi tidak semua gue cat hitam. Ntar jadi nggak bisa bedain mana siang mana malem lagi kalau semua dicat hitam. Apalagi di kamar gue yang berantakan ini nggak ada jendelanya.
Dari keempat dinding kamar, yang dua gue cat hitam sedangkan yang lain gue cat putih, berselang-seling. Biar kamar gue sedikit cerah. Dulu malah gue kepikiran pingin ngecat pola catur, tapi nggak jadi karena gue males. Pasti bakal butuh waktu yang lama buat ngecat.
Rasanya nyaman menghempaskan tubuh yang sudah kenyang seperti ini di atas kasur. Kasur gue berantakan banget dan ya lumayan bau karena udah berbulan-bulan sepreinya belum gue ganti. Untung Nenek nggak tau. Nenek jarang masuk ke dalam kamar ini.
Gue mandang langit-langit kamar. Ada lambang hitam putih yang saling bertaut membentuk lingkaran. Simbol yin dan yang. Bukan gue yang ngecat itu, gue nggak bisa, jadi gue nyuruh tukang cat yang udah biasa ngecat saja.
Jadi inget, bokap gue dulu kalau lagi suntuk juga selalu menengadahkan kepalanya melihat ke atas, ke atap rumah, langit, daun pohon atau apapun. Waktu kecil, gue nggak ngerti arti ataupun guna kebiasaannya itu, sampai sekarang gue masih belum begitu ngerti. Tapi gue bisa sedikit melupakan pikiran yang memberatkan dan merenungkannya sekaligus mencari jalan keluarnya kalau ngelakuin itu. Kalau kepala lagi puyeng, gue sering melakukan hal yang sama. Apa dia juga masih sering ngelakuin itu?
Bokap sama Nyokap, gimana kabar mereka?
Gue mendengar suara ring tone hp gue berbunyi, suara klakson truk.  Segera gue samber hp yang semalam perasaan gue taruh di kasur tapi setelah gue cari nggak ada, ternyata malah ada di atas meja belajar gue yang udah beralih fungsi menjadi meja serbaguna yang pantes dijadiin rumah tikus itu.
“Halo?” jawab gue yang langsung duduk di kursi tanpa melihat dulu nama si penelepon.
“Bos kemarin kata anak-anak nyari gue ya?” dari suaranya sudah pasti ini Rendy.
Gue mengangguk. Rendy pasti nggak bisa liat.
“Ada apa Bos?”
Rendy, anak buah gue yang paling setia dan penurut tapi tolol.
“Lo hari ni ada kuliah nggak?” gue ngalihin mata gue ke jam meja berbentuk Mickey Mouse hadiah dari Faya waktu ultah gue yang kesembilan. Jam 7.05.
Kedengarannya Rendy lagi buka-buka buku.
Jangan-jangan, “Ren, lo nggak hafal jadwal kuliah lo ya?” tanya gue males sambil memainkan pensil yang panjangnya tinggal setengah di meja.
Rendy tertawa sedikit malu. “Hari ni cuman jam 3-4 doang Bos.” Dia melaporkan hasil pencariannya. Sama, gue juga nggak hafal sebenarnya. Kalau nggak ada si Sisil yang SMS gue tiap pagi kasih tau jadwal kuliah, gue juga nggak bakal tau kalau hari ini gue masuk mulai jam ketiga.
“Gue ada kerjaan buat lo, tapi nggak ada yang boleh tau.”
“Apaan tuh Bos?” tanya Rendy segera dengan semangat.
Gue bicara pelan, mantap. “Mata-matain adek gue.”
Nggak ada suara. Rendy diam. Lama.
 “Ren, lo masih hidup apa udah mati?”
“Beneran tuh Bos?” tanya Rendy ragu.
“Iya,”
“Adek Bos?”
“Iya.”
“Yang masih SMA itu, khan?”
“Iya!”
“Tapi beneran adek Bos sendiri?”
“IYA, MONYET!!!”
Abis udah kesabaran gue menghadapi anak ini.  “Pokoknya ikutin kemana aja dia pergi!”
“I, iya Bos.” Ujar Rendy. Dari suaranya kayaknya dia masih tidak percaya dengan perintah gue berusan. “Mulai hari ini ya?”
Spontan gue menepuk jidat. Gue nggak perlu jawab pertanyaan konyol ini.
“Nanti abis kuliah gue langsung cabut ke SMA adeknya Bos.” Ujar Rendy cepat. Takut gue marahin lagi kayaknya.
Tok tok.
“Yoga, ini rajutan yang mesti kamu bawa nanti,”
Waduh, Nenek kok ke sini. Kamar gue lagi berantakan banget. Setelah matiin hp, gue berjalan cepat ke arah pintu biar Nenek nggak perlu masuk ke dalam.
Telat.
Nenek langsung terdiam melihat kondisi kamar gue yang bagi Nenek bisa dibilang amat sangat memprihatinkan sekali. Nenek bahkan sampai tidak tersenyum seperti biasanya. Gua hanya senyum-senyum nggak jelas dan menampakkan wajah minta belas kasihan saat Nenek menoleh ke arah gue. Biasanya gue bisa nyembunyiin kondisi kamar, tapi hari ini gue ketangkap basah.
Gue langsung kena omel. Nenek paling nggak suka sama yang namanya kotor dan ketidakrapian. Kalau Nenek liat ada benda yang kotor ataupun berantakan sedikit saja, pasti bakal marah. Yang sering kena marah tentu saja gue. Karena memang gue orang yang paling tidak peduli kebersihan, kerapian dan semua tentang hal nggak jelas itu di rumah ini.
Nenek menunjuk kasur gue lalu lemari gue yang separuh pintunya terbuka, sialnya baju gue yang juga berantakan jelas kelihatan banget, kemudian lantai dan yang terakhir meja belajar. Gue dikomando agar merapikannya sekarang juga dan didepannya. Dengan terpaksa gue merapikan semua yang tadi ditunjuk Nenek. Padahal gue masih pingin santai-santai dulu di kamar sebelum kuliah.
Hah...nasib…
=========
Sekarang gue lagi duduk-duduk di depan kelas sambil menggerak-gerakkan tangan nggak jelas. Rasanya gue capek banget. Ternyata merapikan kamar lebih melelahkan daripada nggebukin pecundang dari geng barat. Joni yang duduk di sebelah gue dari tadi sibuk mendengarkan musik dari mp3 playernya,
Rajutan Nenek udah gue anterin ke rumahnya Bu Siti. Nggak tau kenapa, Ibu itu seneng banget pas lihat gue datang. Itu ibu-ibu yang maunya gue panggil tante langsung nyeret gue masuk  ke dalam rumahnya yang serba warna ungu dan nyubit pipi gue berulang kali. Dan dia juga sempet ngajak gue sarapan yang jelas gue tolak. Orang itu nggak normal! Apa dia itu tante-tante kesepian? Ih, merinding gue bayanginnya! Gue ogah lagi  ke sana!
“Hey, men!” Tio datang dan meninju lengan gue. “Tampang lo kusut banget, kenapa?”
            Gue tinju dia balik dan dia duduk di sebelah gue. “Tampang lo cerah banget, kenapa?” tanya gue balik.
“Ye! Nih anak, ditanya malah balik nanya!” Tio menjitak kepala gue. “Lo tadi dari mana, gue lihat tadi lo keluar dari rumah orang deket kampus. Lo nggak ngerampok, khan?”
“Lo tau aja.” Gue  gerak-gerakin tangan gue ke segala arah, rasanya masih pegel. Tio menghindar saat tangan gue hampir kena kepalanya. “Gue tadi nganter rajutan Nenek ke rumah temennya.”
Tio tersenyum mendengar penjelasan gue barusan. “Lo tuh cucu paling manis sedunia tau nggak.” katanya dan sekarang dia tertawa. “Gue mau lho punya cucu kayak lo ntar. Udah baek, manis dan lucuu banget!”
“Diem lo!” gue injek kakinya kesal. “Temen Nenek gue tadi kayaknya tante-tante kesepian deh. Rumahya norak, di mana-mana warna ungu. Yang cat rumahnya, sofanya, mejanya juga. Gila nggak tuh!” kata gue keras biar nggak kalah sama tawa Tio. Tapi dia malah tertawa lebih keras lagi. Nggak lucu!
“Lo tau nggak, kata orang ungu itu warna janda. Jangan-jangan tante girang itu memang udah nggak punya suami, dia jablai dan pengen lo belai!” Tio bicara genit sekali menirukan banci lalu terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya.
Gue langsung nyerbu dia dengan tonjokan di lengannya. “Anjing lo! Mending gue kasih ke lo aja, lo khan playboy cap buaya!”
Sebelum Tio membalasnya, tiba-tiba teman sekelas gue, Farid, datang dengan nafas ngos-ngosan. “Ga, mereka, anak geng barat cari ribut!” katanya agak terputus-putus sambil ngelap keringat di pelipisnya.
Gue ingin langsung ke tempat kejadian tapi gue biarin dia jelasin masalahnya dulu.
“Tadi pas temen kita lagi jalan mau ke lab kimia, anak geng barat njegal dia sampai jatuh dan parahnya makalah anak sekelasnya jatuh di kubangan air!” dia mengatur nafasnya sebentar lalu berkata lagi. “Dia bilang mulai sekarang daerah itu punya geng barat! Padahal itu khan daerah kita!!”
Panas juga gue dengernya. Gue ngelempar gitu aja tas gue dan berlari pergi diikuti Tio dan juga Joni.
“Di depan kantin, Ga!” teriak Joni dari belakang memberi tahu lokasinya.
Anak geng barat itu harus mampus! Enak banget bilang itu daerah mereka!
Pas gue dateng sudah ada banyak yang berkelahi. Beberapa anak mengeroyok seorang cowok berambut panjang yang diikat. Pasti dia anjing pecundang itu!
“Minggir!” teriak gue dan anak yang lain langsung mendorong cowok itu ke arah gue yang langsung gue beri hadiah tonjokan dahsyat tepat di ulu hatinya. Cowok itu berteriak kesakitan dan terjatuh. Kemudian temennya dari geng barat banyak yang datang  membantu cowok anjing itu tapi langsung dihadang anak buah gue. Gue angkat anjing  yang wajahnya udah penuh darah dan hidungnya patah. Hasil karya anak buah gue. Nggak gue biarin dia balas nonjok gue dan gue semakin membabi buta. Tanpa ragu gue hadiahi lagi dia dengan banyak tonjokan, tendangan dan pukulan sampai dia tidak bisa berdiri.
“BERHENTI!!”
Sialan!!
Satpam kampus, berempat sekaligus, datang untuk menghentikan semua keributan ini. Anak buah gue masih kelihatan senang ada hiburan yang menyenangkan ini. Mereka menggebuki semua anak geng barat yang datang untuk menolong anjing tadi. Anak geng barat cari masalah di wilayah gue, jelas saja mereka masuk ke mulut Tyranosaurus yang kelaparan. Ini adalah wilayah gue, enak aja bilang ini daerah kekuasaan geng barat!
Anjing tadi kayaknya sudah pingsan. Gue lumayan puas.
“Ga, cepet kabur!” Tio menarik tangan gue kabur.
“Semua kabur!!!” gue teriak dan semua anak buah gue berlari cepat. Anak geng barat yang masih kuat langsung melarikan, kecuali anjing itu dan beberapa temannya yang sudah nggak kuat  lagi berdiri. Farid juga sempat menginjak perut anjing itu sebelum kabur.
Kami berlarian pergi mencari tempat aman. Anak-anak yang tadi di kantin dan sempat melihat pesta tadi berteriak saat satpam masuk ke kantin mengejar anak buah gue. Mereka, terutama cewek-cewek, sampai naik ke atas meja, memecahkan banyak piring juga gelas.
Gue nggak masuk ke kantin dan bisa kabur. Anak buah gue ternyata banyak juga yang tolol, lari ke dalam kantin yang malah bikin mereka mudah tertangkap. Apa mereka nggak bisa lihat satpam kampus pada punya perut segede tong sampah? Harusnya mereka tahu kalau satpam-satpam itu nggak bisa lari kenceng. Harusnya mereka cari tempat kabur yang bisa buat mereka terus lari hingga satpam-satpam itu tidak kuat lagi mengejar mereka. Kalau di kantin ruang gerak mereka pasti sempit, belum lagi kalau ternyata di sana ada anak geng barat yang dengan senang hati mau membantu satpam itu menangkap mereka.
Kayaknya mereka butuh kursus untuk kabur.
=========
Ah, akhirnya gue dateng ke tempat ini lagi.
“Pak, esnya satu! Porsi jumbo ya!”
Pak es cincau langganan gue langsung menyiapkan pesanan gue sambil memperhatikan gue yang duduk asal di pinggir trotoar, ngos-ngosan.
“Abis berantem lagi, Mas?” tanyanya sambil memasukkan es batu ke dalam gelas.
“Anak geng barat pada belagu sih, Pak!”
“Ga!” Tio yang larinya lebih lambat dari gue berteriak dari ujung jalan. Gue noleh dan dia segera menghampiri gue. “Bang, esnya satu, dibayarin Yoga.” Katanya enteng di sebelah gue.
“Enak aja lo!”
Tio hanya tersenyum sambil meluruskan kakinya yang panjang. “Tampang lo aja keren tapi kere!”
Pak es cincau mengulurkan gelas besar ke gue dan langsung gue minum sampai setengah gelas dalam sekali teguk.
“’Aus banget keliatannya,” ujar Tio masih ngos-ngosan.
“Pak, nih kere bayar sendiri, gue cuma bayar pesenan gue sama utang gue yang dulu.”
“Utang yang mana ya?” kening  pak es cincau mengkerut,  mencoba mengingat.
Es gue sudah habis waktu pak es cincau memberikan pesenan Tio yang juga langsung diminum dengan cepat. “Itu lho, Pak, cewek yang dulu beli pas Bapak mau kabur.” terang gue. “Yang namanya aneh itu lho Pak, si Noa Kleper ato apalah gue lupa.”
Pak es cincau teringat kembali tapi tadi kelihatan kikuk saat gue bilang dia mau kabur. Mungkin dia malu. Tapi dulu khan memang dia mau kabur.
“Oh, Neng itu.”
“Cewek? Cantik nggak, Ga?” Tio langsung nimbrung. Peka banget telinganya kalau dengar kata cewek. “Kenalin dong?”
“Ogah! Lo ya kalau denger yang namanya cewek aja langsung nyambung.” gue menapik tangannya yang ada di pundak gue. “Yo, mending lo ambilin tas gue aja deh, di depan kelas, gue mau bolos.”
“Gue ikut ya?”
“Terserah, udah cepet sana pergi!” gue dorong Tio berdiri.
Tio mengembalikan gelas esnya yang sudah kosong lalu membayarnya.
“Iya, bentar!” protesnya karena gue terus mendorong dia biar cepat pergi.