Jumat, 14 November 2014

I Won't Give Up!!

Halo semuanyaa.....
Apa kabar?
Di sini sudah mulai dingin, bulan depan sudah masuk musim dingin. Kalau sudah seperti ini rasanya males sekali bangun pagi dan mandi hehe... Jangan ditiru ya ^^


Dulu aku pernah cerita tentang mimpi, sekarang aku juga mau cerita soal mimpiku lagi.
Aku tidak malu untuk mengatakan pada dunia bahwa aku ingin menjadi seorang penulis. 
Itu adalah mimpiku dari aku kecil.

Aku tumbuh di sebuah keluarga yang suka membaca. Bapak suka baca koran atau apapun yang berhubungan dengan otomotif. Ibu suka baca majalah, buku kesehatan juga novel seperti karya  Agatha Christie. Kakakku juga seorang bookaholic. Novel, majalah, koran, komik, dia yang paling banyak membaca di rumah kami, apapun dia baca hehe...
Kalau aku bermula dari buku anak-anak, seperti cerita bergambar Donald Bebek, Winnie the Pooh dan Doraemon. Tak lupa juga majalah Bobo. Aku ingat sekali aku dulu suka membaca cerita petualangan Paman Gober mencari harta karun dan sering diganggu Gerombolan Siberat. Sumpah, lucu hihi...
Buku yang aku baca mulai "naik pangkat", aku mulai baca komik yang ditargetkan untuk remaja, seperti Sailormoon. Ketika kelas 6 SD, aku ikut-ikutan membaca novel Harry Potter yang waktu itu lagi booming banget dan aku tersedot masuk ke dunia novel itu. Karena novel itu aku suka dunia magic dan genre fantasi. Aku juga mulai kenal mangaka Jepang yang disebut Clamp. Aku mulai jatuh cinta pada mereka ketika aku membaca manga dan melihat anime Card Captor Sakura. Sejak itu aku mengikuti karya-karya Clamp.
Clamp ini benar-benar mempengaruhi kepalaku, tentang bagaimana membuat sebuah keterkaitan antara cerita yang satu dan yang lainnya, meskipun bukan dalam karya yang sama. Aku juga melihat sisi gelap yang mereka sisipkan di karya mereka. Sebenarnya memang terlihat gelap, tapi menurutku mereka ingin menunjukkan bahwa apa yang mereka tampilkan itu, adalah hal yang benar-benar terjadi di dunia nyata.
Waktu SMP aku masih suka baca komik-komik Donald Bebek, majalah atau tabloid untuk remaja. Akhir SMP aku lebih tertarik untuk membaca novel, khususnya novel untuk remaja yang isinya tentang cinta monyet. Maklum, lagi usia puber hehe
Masuk SMA aku lebih gila lagi baca komik dan novel. Segala genre aku baca. Ketika semua temanku pergi maen bersama aku memilih untuk baca novel di rumah. Pernah juga sampai kena marah karena sharian cuma ada di kamar saja hahaha....

Aku yang seorang pembaca ini ingin menambah status sebagai seorang penulis. Jadi tidak hanya menikmati buku tapi juga ingin menciptakan buku. Ingin mengatakan pada dunia semua cerita yang sudah aku buat di kepalaku. Untuk itu aku harus menulis itu semua. Satu persatu kata, kalimat, paragraf.
Semua itu terlihat mudah namun sulit pada prakteknya. 
Aku mulai mnulis cerita remaja kelas 3 SMP, tapi hanya beberapa bagian sudah tidak aku truskan. Ini adalah salah satu penyakit seorang penulis, tidak bisa menyelesaikan sampai akhir cerita mereka. SMA aku mulai menulis lagi. Beruntung aku punya teman-teman yang juga suka mmbaca dan menulis. Bahkan salah satu temanku, sahabatku, sudah bisa menerbitkan ceritanya. Selamat ya ^^
Banyak sekali ceritaku yang putus di tengah jalan. Tapi aku terus menulis, aku tidak membuang cerita-ceritaku yang separuh jalan. Aku tidak pernah belajar bagaimana caranya untuk mnulis cerita yang baik, semua aku pelajari pelan-pelan. 

Akhirnya, ketika lulus kuliah, aku bisa menyelesaikan dua naskahku. Aku coba kirim naskahku itu ke sebuah penerbit dan beberapa penerbit lainnya namun sayang sekali aku belum beruntung. Mungkin memang kualitas menulisku kurang bagus.
Tapi aku akan terus mencoba. Aku akan belajar. Aku ingin semua orang bisa sedikit melihat dan merasakan apa yang ada di kepalaku. Seorang penulis itu berbeda. Aku ingin sekali bercerita pada dunia lewat kata-kata. Kalau kalian ingin menjadi seorang penulis pasti tahu apa yang kurasakan.

Aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan terus menulis. Ketika akan pergi ke sini, aku terkejut menemukan karya pertamaku yang aku tulis kelas 5 SD. Aku kira sudah hilang entah kemana. Waktu itu aku menulis sebuah cerita yang aku beri judul "Persahabatan" dan hanya aku tulis 3 halaman saja wkwkw...
Aku sadar kualitasku masih jauh dari kata bagus tapi aku akan terus mencoba hingga mimpiku jadi nyata. Aku pernah mimpi, aku masih ingat waktu itu tanggal 19 Maret aku bermimpi, salah satu novelku diterbitkan. Aku tersenyum seharian waktu itu. Sumpah, seperti orang gila.

Kalau berkenan, kunjungi alamat ini ya, aku mulai gabung dengan komunitas penulis di sini. Terima kasih

Aku sudah tidak takut, tidak malu untuk mengatakan pada dunia siapa aku, apa mimpiku. Semoga kalian juga sama. Apapun yang kalian impikan, kejarlah hingga kau dapat meraihnya. Meski jalan untuk itu jauh dan menyakitkan. Tuhan tidak akan melupakan hambaNya yang pantang menyerah. 

Semuanya, semangat yaaaa.... ^^

Sabtu, 08 November 2014

Japan's Surprise episode 3 : Orang Jepang = Orang Madura



Japan’s surprise episode 3

Orang Jepang = Orang Madura

Orang Jepang sama dengan orang Madura?? Yup! Mereka sama! Yang benar saja, mereka sama apanya? Jelas-jelas Jepang dan Madura itu tidak sama. Mereka sama-sama manusia? Sama-sama orang Asia? Hem.. itu juga termasuk dalam kesamaan mereka sih, tapi kali ini yang akan dibahas bukan itu. Kesamaan mereka yang mungkin akan membuat kita mengerutkan kening atau geleng-geleng kepala. Apa kalian sudah dapat ide soal apakah itu?

Aku kasih clue ya...





Bagaimana, sudah tahu apa kesamaan mereka? Betul sekali! Mereka ada kesamaan soal penyebutan warna antara hijau dan biru. Seperti yang kita tahu, orang Madura biasanya menyebut warna hijau dengan biru. Orang Jepang pun sama, menyebut warna hijau dengan biru.

Dulu waktu masih sekolah di Indonesia, aku baru tahu kalau orang Jepang menyebut apel hijau dengan sebutan 青りんご(ao ringo) yang berarti apel biru. Tuh khan, sama hehehe...  Bagi orang Jepang lampu rambu lalu lintas juga berwarna biru bukan hijau. Kalau ada di sini pasti akan sering dengar mereka bilang, “Udah biru tuh, ayo nyebrang.”

Ada satu kejadian yang bikin aku terheran-heran tentang hal ini. Ketika aku アルバイト(arubaito) atau part time di sebuah 弁当屋 (bentouya), toko bekal makanan, salah satu temanku bilang, “Ambilin nori biru itu dong,” Aku langsung mencari apa yang dia minta tapi aku tidak menemukan nori berwarna biru. Lalu aku bilang, “Mana? Gak ada tuh.” Temanku tertawa mendengar jaawabanku. “Itu khan ada di depanmu.” Ketika aku lihat ternyata benar ada nori tapi warnanya hijau. Aku hanya bisa tersenyum pasrah. Ini yang salah penglihatanku atau apaan si... perasaan orang Jepang juga tahu ada warna yang namanya biru. Ketika memilih baju atau kertas mereka juga tahu perbedaan hijau dan biru. Lalu kenapa apel, nori, lampu lalu lintas mereka sebut biru dan bukannya hijau?

    Karena ingin tahu penyebabnya aku browsing di internet dan menemukan statement ini:
Karena warna hijau oleh masyarakat Jepang dianggap warna kesialan. Sedangkan warna keberuntungan adalah merah dan putih. Jangan dikira Jepang tidak mempunyai warna hijau. Karena warna hijau tetap bisa kita temukan di Jepang namun hijau sering kali di baurkan dengan warna-warna lain. Warna “hijau” sebagai warna dasar adalah hal yang sangat tidak lazim atau aneh. Jarang sekali orang melihat sebuah kendaraan berwarna hijau, meskipun hal ini pelan-pelan mulai berubah."

            Lalu, suatu hari, aku berntanya langsung kepada guruku yang orang Jepang. Menurut beliau warna hijau adalah kosa kata baru bagi Orang Jepang. Jaman dahulu warna yang disebut dengan biru dan hijau, keduanya disebut dengan biru. Oleh karena itu orang Jepang menyebut rambu lalu lintas, nori atau apel dengan sebutan biru meskipun aslinya berwarna hijau hehe..

            Baiklah, sampai di sini dulu episode Japan’s surprise kali ini. Sampai ketemu dengan kejutan lainnya yaa.... 
           Terima kasih sudah baca ^^

Jumat, 07 November 2014

Rumah Awan : 13 Mbak Ayu



MBAK AYU

Bintang mengatakannya lagi.
Bintang mengatakan lagi kalau dia suka saya. Saya tidak tahu harus memberi alasan apalagi padanya agar dia tidak mengatakannya lagi.
Semalam, dia menelepon saya berkali-kali tapi saya hiraukan. Saya bingung harus menghadapinya. Bukannya saya tidak suka dia, tapi saya memutuskan untuk tidak memikirkan hal yang berkaitan dengan rasa suka saat ini. Saya hanya ingin menemukan keluarga saya di Bali. Saya ingin bertemu orangtua kandung saya.
Marsha semalam juga telepon. Dia menangis karena baru saja putus dengan pacarnya yang dari Jepang, Kota. Marsha bilang Kota suka minum minuman beralkohol hingga mabuk. Dia baru sadar kalau orang Jepang kebanyakan memang suka minum sake ataupun minuman beralkohol lainnya sementara Marsha tidak suka punya pacar pemabuk.
“Sial banget nasibku,” katanya sesenggukan.
“Bukan jodoh mungkin,” hibur saya.
“Mungkin,”
Setelah membersihkan rumah, saya segera pergi ke Rumah Awan yang letaknya tepat di sebelah rumah saya. Di sana sudah ada Dani yang membawa lukisan di tangan kirinya.
“Dan, itu punya siapa?” tanya saya begitu melihat lukisan yang ternyata rusak itu. Kanvasnya sobek tepat di tengah dan sangat kotor.
Dani mengangkatnya sedikit. “Tadi ada di pojokan sana,” dia menunjuk tempat di mana Lintang melukis kemarin. “Tadi diatasnya ada dua anak kucing, kayaknya mereka nyakarin lukisan ini,”
“Mungkin itu lukisan Lintang, jangan dibuang ya, letakkan di gudang saja,” Dani mengacungkan jempol tangannya lalu pergi ke gudang.
“Kemarin Lintang ke sini?” tanya Dani begitu kembali dari gudang.
“Iya, lumayan lama, pulangnya sorean,”
“Tumben banget tuh bocah!” komentar Dani. “Mbak, apa bener Mbak mau ke Bali?” tanyanya.
“Iya Dan, Mbak ada kepentingan di sana,” jawab saya. Dulu saya memang pernah memberitahunya tentang niat saya pergi ke Bali itu.
“Terus tempat ini gimana dong?” tanyanya lagi dengan nada sedikit kecewa.
Saya tersenyum padanya. Mungkin Dani pikir jika saya pergi maka tempat ini akan ditutup. Rasanya senang kalau tempat yang kita buat memiliki arti untuk orang lain.  
“Sebenarnya saya akan membicarakan tentang ini denganmu hari ini, tapi kamu sudah mulai duluan. Ayo, duduk dulu,” kata saya padanya yang dari tadi berdiri di depan saya. Dia menyeret kursi kayu di depan saya perlahan lalu duduk. “Dani, saya memiliki keinginan yang egois,tapi saya harap kamu mau mengabulkannya.”
Dani hanya diam, keningnya mengkerut. “Saya ingin kamu mengelola tempat ini,” lanjut saya.
“Maksudnya, gue yang ngurus tempat ini?”
“Iya, kamu mengurus tempat ini, semua hal tentang tempat ini. Dengan kata lain kamu jadi pemiliknya.”
“Hah!” mulut Dani terbuka lebar. “Apa gue nggak salah denger?” dia menggaruk-garuk kupingnya yang ada banyak tindikannya. “Kok gue jadi pemiliknya sih? Trus lo gimana?”
“Saya akan baik-baik saja. Saya yakin kamu bisa jaga tempat ini.”
“Tapi ini khan punya lo yang lo buat susah payah.”
“Iya, tapi saya harus pergi,”
Dani sekarang menggaruk-garuk kepalanya yang sedikit gondrong dengan cepat. Wajahnya terlihat gugup. “Lo nggak butuh apa-apa lagi dari tempat ini?” tanyanya lambat. “Lo..lo..lo nggak butuh duit dari sini?” tanyanya lagi barhati-hati.
“Saya tidak butuh uang dari tempat ini Dan, yang saya butuh hanya eksistensi tempat ini,” jelas saya. “Saya hanya tidak ingin tempat ini terlupakan.”
“Lo nggak butuh duit buat ke Bali dan hidup di sana?”
Saya tertawa sebentar. Dani bertanya dengan wajah polos seperti anak kecil. “Saya sudah mempersiapkan semuanya dari dulu, saya sudah ada tabungan untuk ke sana dan hidup di sana. Lagipula, saya khan bisa cari kerja di sana,”
“Tapi, ini khan..”
“Sudahlah Dan, kamu mau tidak mengabulkan keinginan saya?” tanya saya tegas. Kalau tidak segera dipastikan, saya tidak akan lega.
Dani diam. Sepertinya dia sedang berpikir. “Apa gue boleh jawab minggu depan?”
“Sayang sekali, tidak boleh. Saya harus segera siap-siap pergi.”
Sepuluh menit berlalu. Saya terus memperhatikan Dani yang bingung memikirkannya. Saya harap dia mau melakukannya. Saya tahu dia sangat suka seni dan terlahir di dunia seni tapi untuk itu dia harus rela tidak diakui keluarganya karena keluarga besarnya bergerak di bidang politik. Sejak saat itu dia hidup susah seorang diri mencari uang untuk membiayai hidup dan kuliahnya. Perjuangan yang mirip dengan Ibu. Jalan hidupnya juga mirip Lintang yang dipaksa Mamanya untuk jadi dokter. Untungnya Lintang masih belum separah Dani dan saya harap tidak seperti itu akhirnya.
“Ba, baiklah kalo gitu,” kata Dani pelan. Wajahnya sampai berkeringat.
“Terima kasih.” Saya tersenyum. ”Mulai hari ini kamu jadi pemilik Rumah Awan, selamat ya,” saya menjabat tangannya yang dingin. Dani menerima jabatan tangan saya dengan kuat dan sedikit gemetar.
“Semua arsip Rumah Awan ada di sini,” saya menunjuk map-map yang ada di atas meja. “Sebagian masih di rumah, belum saya cek, kalau sudah selesai saya berikan ke kamu.” Saya ambil tas tangannya saya.
“Mbak mau ke mana?” tanya Dani.
“Saya mau pulang saja, rasanya mau flu,”
“Tapi, boleh tanya satu hal lagi?” Dani bertanya lagi. Wajahnya memerah. Saya mengangguk “Sorry, ini mungkin pribadi, tapi apa Mbak nggak sebaiknya memberitahu Bintang?”
Senyum saya lenyap. Dani juga tahu kalau saya tidak memberi tahu Bintang soal ini. Dani sudah dewasa dan saya tidak bisa mengelak kalau dia dapat melihat ada sesuatu diantara saya dan Bintang.
“Tolong jangan beri tahu dia tentang semua ini.”
Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Ibu, semoga apa yang saya lakukan ini benar.

Jumat, 31 Oktober 2014

Rumah Awan : 12 - BINTANG



BINTANG

Rumah Awan terlihat sepi. Mungkin karena sudah sore. Gue lihat Ayu masih ada di meja kerjanya. Dia terlihat berkutat dengan lembaran file-file yang gue nggak tahu apa isinya. Mukanya terlihat serius, tapi tetap terlihat begitu menawan. Cepat, kaki gue melangkah menghampirinya.
“Bintang,” Ayu terkejut melihat gue duduk begitu saja didepannya. “Kamu kenapa ke sini?”
“Kok tanya gitu? Aku nggak boleh main ke sini?”
“Bukan gitu, tapi..” wajahnya terlihat masih kaget.
Gue memutar muta memperhatikan keadaan sekitar. “Lintang mana?” gue tidak menemukan sosok Lintang di manapun gue di tempat ini. Yang ada hanya dua perempuan tengah baya yang ngobrol di bawah pohon. Di mana Lintang? Apa mungkin di toilet?
“Lintang sudah pulang,”
“Sudah pulang?” Ayu mengangguk. “Sendirian?” kenapa Lintang pulang sebelum gue jemput?
“Bintang, tenang saja,” Ayu meraih tangan gue. Hal yang jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah dilakukannya. “Sepertinya dia tidak pulang sendirian.” Katanya. “Tadi dia ngobrol sama temannya dan sepertinya dia pulang bersama temannya itu.”
Teman? Teman yang mana? Nana? “Cewek?”
“Bukan, cowok,”
Cowok? Lintang tidak pernah cerita punya teman dekat cowok yang bisa dia ajak pulang bersama, yang diceritakannya hanya Nana dan beberapa teman cewek sekelasnya.
“Bintang, Lintang itu anak baik, jadi wajar saja kalau dia punya banyak teman, jangan pernah berpikir kalau temannya hanya Nana.” Ujar Ayu seperti dapat membaca pikiran gue. Gue hanya cemas kalau terjadi apa-apa padanya. Dia tidak pernah pulang sendirian. Paling nggak gue yang jemput, Mama, atau Nana. Apa dia bisa pulang sendiri?
“Bintang, biarkan dia tumbuh dewasa.” Ayu berkata tegas, tatapan matanya menyiratkan kesungguhan. Gue hanya khawatir pada Lintang. Jalanan bukan tempat yang aman seperti rumah. Gue tidak mau mengalami kepahitan karena kehilangan saudara gue untuk kedua kalinya.
Mata Ayu masih terus menatap gue dengan yakin. Sepertinya gue harus menuruti Ayu kali ini. Gue tarik nafas panjang mencoba menenangkan diri meski bayangan Stary yang penuh darah akibat tabrak lari terus terlintas di pikiran gue.
“Baik kali ini aku mengalah demi kamu. Itu tadi tentang Lintang, sekarang aku ingin bertanya tentang kita,” begitu mendengar kalimat gue barusan, Ayu langsung menarik tangannya. “Ayu, aku sungguh-sungguh dengan perkataanku waktu itu,”
Gue lihat reaksinya setelah bahasan obrolan kami berubah menjadi aksi penembakan gue dulu yang ditolaknya. Matanya menatap tangannya yang saling bertangkup di atas meja.
“Yu, aku suka kamu,”
Ayu tidak melihatku, matanya tetap menatap tangannya. Dia menghela nafas sebentar lalu berkata, “Bintang, sudah saya bilang saya tidak bisa sama kamu,”
“Tapi apa alasannya?”
“Karena saya lebih tua dari kamu.”
Gue tersenyum masam, alasan yang sama seperti yang dulu ia katakan ketika menolak gue. Gue tidak pernah percaya pada alasan yang baru saja dikatakannya. “Yu, please, aku tahu kamu bukan orang yang punya pemikiran sedangkal itu.”
“Kamu bisa cari perempuan yang lebih baik untuk kamu, Bintang,” Ayu mengambil tas tangannya lalu pergi meninggalkan gue yang masih menunggunya memberikan alasan yang sesungguhnya.
“Ayu!” gue berteriak memanggil namanya berharap dia akan menghentikan langkahnya, tapi dia sama sekali tidak bergeming dan terus melangkahkan kakinya.
========

Suasanya kampus yang ramai sama sekali tidak bisa mengalihkan pikiran gue dari alasan yang dikatakan Ayu tadi. Gue sudah berkali-kali mendengarnya tapi gue juga tidak pernah mempercayainya .
“Tang,  mau bakpao?” Fadli menawari gue bakpao yang ada di piring di depannya. Mulutnya yang tembem bertambah besar karena dia memasukkan hampir setengah bagian dari bakpaonya sekaligus. Dia asyik makan bakpao dari tadi dan baru menawari gue sekarang saat bakpaonya tinggal tiga.
“Nggak, makasih,” gue menyandarkan punggung gue di kaca perpustakaan kampus. Perpustakaan ini adalah salah satu tempat favorit gue karena keistimewaannya yang berbeda dari bangunan lainnya yang ada di kampus ini. Perpustakaan ini berdindingkan kaca, jadi dapat terlihat dengan jelas segala aktivitas yang ada di dalamjika dilihat dari luar sini dan begitu pula sebaliknya. Apabila musim penghujan datang dan bunga-bunga yang ada di kampus ini mengembang, gue pasti selalu menyiapkan waktu meskipun sejenak untuk menikmati pemandangan itu dari dalam perpustakaan tanpa harus terkena hujan.
Gue menghela nafas, lagi, entah untuk yang keberapa kalinya.
Gue teringat kembali kejadian di Rumah Awan. Gue benar-benar suka, sayang padanya. apa yang harus gue lakukan agar dia mau menerima gue? Gue tahu dari dulu kalau dia lebih tua dari gue tapi sekalipun tidak pernah gue mempedulikan perbedaan umur kami itu.
 Saat ini pola pikir manusia lebih realistis. Banyak hal yang dulunya tabu menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia belakangan ini. Dulu memang tidak umum seorang laki-laki memiliki pacar atau wanita istimewa yang lebih tua, umumnya seorang lelaki akan memilih wanita yang lebih muda darinya,  tapi sekarang hal seperti itu wajar. Umur tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan kebahagiaan seseorang. Asal kita nyaman dan bahagia dengan seseorang, umur tidak lagi menjadi persoalan. Entah mengapa Ayu bisa mengatakan alasan yang konyol seperti itu. Itu hanyalah pemikiran orang berotak udang seperti Yoga.
Gue tahu pasti Ayu bukan tipe orang seperti itu. Yang gue tahu Ayu adalah orang yang berpikiran luas dan terbuka. Dia bukan tipe orang yang menghakimi orang lain secara sepihak tanpa mengetahui dahulu alasan dibelakangnya. Terkadang kami juga memiliki perbedaan pendapat namun kami selalu mencari jalan tengah agar tidak terjadi pertengkaran antara kami. Memang hubungan kami sudah cukup dekat tapi dia selalu membantahnya. Gue bukannya terlalu percaya diri atau apa, tapi gue yakin dia punya perasaan yang sama di lubuk hatinya. Lagipula, mata tidak bisa bohong, gue bisa lihat dari matanya.
Gue tidak berkata banyak lagi. Banyak hal istimewa yang gue temukan dari diri Ayu yang membuat rasa sayang ini tumbuh hanya untuknya.
 “Kabarnya Teguh gimana?” tanya gue ke Rio yang duduk di sebelah gue untuk mengalihkan pikiran.
Rio yang tadinya mengetik sesuatu di laptopnya menghentikan jarinya lalu menjawab,“Katanya kemarin dia sudah pulang,  tangannya juga udah mendingan.”
“Terus hasil pencarian lo dulu sama Farid gimana?”
“Pencarian yang mana?” tanya Fadli memakan bakpao terakhirnya.
Rio melihat Fadli makan dengan rakusnya lalu melihat piring bakpao. “Heh! Kok lo abisin sih? Gue yang beli aja belum sempet makan!” protes Rio melihat bakpaonya habis.
Ini pembicaraan yang tidak penting.
“Abis lo dari tadi ngetik terus, khan bakpaonya jadi nggak enak kalo dingin,”
“Bintang lo tawarin, kenapa gue nggak, gendut!”
“Lo diem aja.”
“Tapi itu khan bakpao gue, karung sampah!”
“Salah sendiri nggak lo makan!”
“STOP!” bentak gue. Mereka berdua langsung terdiam dengan wajah marah. Gue tidak peduli dengan urusan bakpao mereka. Pembicaraan mereka sangat tidak gue butuhkan sekarang, hanya membuang waktu.
“Pencarian lo gimana?” tanya gue lagi ke Rio.
Dia menutup laptopnya lalu menunjuk ke arah Teguh dan Farid yang berjalan mendekat. “Lo jangan naik darah ya, tapi si Teguh yang udah mulai cari gara-gara duluan.”
“Teguh lagi rupanya.” ujar gue manggut-manggut. Teguh selalu mencari masalah dan sekarang dia berhasil mencoreng nama geng barat di mata semua orang. Sekarang orang akan beranggapan kalau geng baratlah yang selama ini selalu memulai pertengkaran. Kejadian ini pasti menguntungkan Yoga dan merendahkan gue. Sekarang jadi tambah sulit untuk bergerak dan mengusai daerah anak geng timur.
“Tapi gue nggak tau apa yang udah dia lakuin.” Tambah Rio.
“Paling-paling dia menggoda cewek anak geng timur.” Komentar Fadli.
Tapi gue rasa itu bukan yang dilakukan Teguh. Teguh butuh pelajaran. Gue butuh pelampiasan.
Lalu gue melihat sosok Teguh berjalan mendekat. Masih ada perban membalut keningnya. Untunglah gue tidak perlu mencarinya, dia datang sendiri.
“Tang, sorry gue udah..”
BUK!
Gue potong kalimat Teguh yang sudah di depan gue dengan satu hadiah tonjokan di wajahnya. Dia terhuyung dan mulutnya berdarah. Matanya melebar, dia terlihat tidak percaya dengan tindakan gue barusan.
“Tang, udah gue bilang jangan naik darah!” Rio berdiri dan memegangi gue yang sudah beranjak maju.”Kita bicarain ini baik-baik!”
Gue menghiraukan Rio dan melepaskan diri darinya. Farid dan Fadli hanya diam. Mereka sudah tahu sepak terjang gue. Ini bukan pertama kalinya Teguh melakukan kesalahan fatal. Gue tidak segan-segan lagi menghajarnya hingga tangan ini terasa lelah. Semua yang ada disekitar gue melihat acara ini dengan penuh ketertarikan. Mungkin Rio, Farid dan Fadli mengira gue marah karena Teguh. Memang, gue marah padanya, tapi gue juga butuh pelampiasan akibat alasan  penolakan yang tidak masuk akal itu. 
Gue tidak peduli apapun lagi.
“Lo harus belajar ngendaliin diri!” kata gue mengakhiri hiburan ini. “Rid, bawa dia ke rumah sakit.” Gue melap keringat yang mengalir di dahi kemudian kembali duduk diantara Rio dan Fadli seperti tadi.
Farid, dibantu beberapa anak geng barat lainnya, segera memapah Teguh pergi.
“Kasian Teguh,” komentar Fadli pelan.
“Lo kenapa sih, Tang?” Rio menoleh ke gue. “Kita bisa ngelakuin itu nanti saat nggak ada orang lain yang lihat!”
“Sorry, gue udah nggak tahan dengan ulah cerobohnya.” Kata gue. “Gue nggak mau orang seperti dia jadi hama bagi geng.”
“Kalo gitu, sekarang kita ke kantin aja yuk?” kata Fadli. Gue tertawa pelan mendengarnya. Fadli berusaha menghangatkan suasana dengan makanan. Caranya itu selalu membuat gue tertawa. Gue yang kaku ini hanya bisa tertawa jika mendengar candaan Stary, celotehan Lintang, kegugupan Ayu saat gue goda, muka Papa ketika melihat Mama menggosongkan masakannya serta kebodohan Fadli yang selalu tidak tepat waktu.