LINTANG
Kemarin memang hari tersialku dan
kuharap, hari ini tidak seperti kemarin.. Pagi ribut sama Mama dan Kak Bintang
nyebelin banget. Di sekolah aku ribut lagi sama Faya. Bahkan di Rumah Awan pun,
tempat yang paling enak untuk menenangkan diri, aku juga mengalami kesialan.
Ada cowok yang rese banget! Dia sudah mengotori kaos kesukaanku dan juga
merusak lukisanku yang aku buat dengan serius. Lalu, begitu sampai rumah, aku
dimarahi habis-habisan sama Mama. Aku dapat hukuman tidak dapat uang jajan
bulan ini dan yang paling parah, aku tidak boleh main ke Rumah Awan!!!
Dari mana sih Mama tahu aku sering
main ke sana? Pasti dulu sebelum pergi Kak Stary kasih tahu Mama kalau aku suka
main ke sana.
“Na, udah minta tanda tangan buat
surat izin study tour belum?” tanyaku pada Nana yang asyik menyalin alias
menyontek PR matematikaku.
“Belom,” jawabnya sambil terus
menulis. “Bukannya batas waktu ngumpulinnya masih lama? Sampe hari pertama UAS,
minggu depan khan?””
“Iya sih.” kataku sambil
memperhatikan teman-teman yang asik ngobrol di luar. “Na, minggu depan udah
ujian semester, cepet banget ya.”
“Iya, aku belum siap mental nih,
Lin.”
Di depan kelasku ada taman sekolah
yang dikelilingi deretan kelas satu, dua, tiga serta ruang guru yang membentuk
persegi. Beberapa anak terlihat larut dalam obrolan seru mereka. Salah satu
dari mereka ada Tino dan juga Andi, mantan ketua OSIS SMA Erlangga.
“Na, si Andi kenal Tino ya?”
“Iya, emang kamu nggak tau?”
“Nggak.” jawabku. Tino baru saja
memukul lengan Andi cukup keras.
“Lho, kok tiba-tiba nanyain Tino?
Mulai naksir ya?” Nana tersenyum jahil.
“Ngaco!”
“Kamu tuh ke mana aja sih Lin?”
Nana menatapku. “Masa gitu aja nggak tau, mereka khan sudah temenan dari kelas
satu.”
“Ooh...”
Ngomongin soal Tino dan Andi
membuatku teringat soal cowok kemarin. Dia mengikutiku berjalan sampai rumah.
Salah satu kebiasaan burukku yang ingin banget aku hilangin adalah linglung
saat aku sedih atau bingung seperti kemarin. Aku bisa seperti orang mabuk yang
tidak sadar diri dan melakukan hal-hal diluar keinginanku jika sudah seperti
itu. Cukup merepotkan juga.
Apa yang kulakukan sampai dia
mengikutiku terus? Semoga bukan hal yang aneh. Di saat linglung seperti kemarin
aku sulit mengendalikan diri.
Tapi aku masih ingat dia bilang
akan ganti kaos Winnie the Poohku, kalau perlu dia ganti sebanyak sepuluh, dan
juga lukisanku. Aku yakin dia tidak akan melakukan itu. Dia pasti mengatakan
itu hanya untuk membuatku berhenti menangis.
“Na, tadi pagi aku udah ijin kalo
ntar pulang sekolah aku mau main ke rumahmu, ntar kalo ditelepon Mama ato Kak
Bintang bilang aja aku di rumahmu ya?” kataku.
“Lho, terus kamu mau ke mana?” Nana membalikkan bukuku, dia sudah nyalin
setengah halaman.
“Ke Rumah Awan.”
“Katanya nggak boleh ke sana?”
“Biarin. Pokoknya aku pingin ke
sana hari ini.”
“Tumben kamu tidak nurut Mamamu?”
Nana menoleh padaku. “Lagipula tumben juga Mamamu kasih ijin padahal kamu lagi
kena hukuman.”
“Aku merengek terus ke Mama,
berjam-jam! Mungkin mama capek dengarnya terus kasih ijin.” aku tersenyum.
Nana ikut tersenyum. “Kok kamu
ngotot banget maen ke sana?”
“Pengen aja.”
Nana meletakkan pensilnya lalu
sedikit menggeser tubuhnya agar berhadapan denganku. “Lin, kamu kena hama apaan
sih?”
“Hah? Hama? Emang aku padi apa,
kena hama ulat.” protesku.
“Hehehe..” Nana tertawa. “Bukan
gitu Lin, tumben aja kamu nggak nurut Mamamu.” katanya setelah berhenti
tertawa.
Keliatan banget ya kalau aku selalu
nurutin Mama?
Aku narik nafas panjang. “Semalam
aku mikir banyak, lalu aku putusin aku akan ngelakuin hal yang memang
bener-bener dari hatiku, bukan paksaan dari orang lain, termasuk Mama.”
Nana manggut-manggut. Entah apa
yang dia pikirkan, mukanya datar tanpa ekspresi.
“Aku nggak mau terus-terusan
dikendaliin Mama dengan semua keinginannya agar aku jadi seperfect Kak Stary.
Aku khan tidak mau jadi kayak dia.”
Nana tersenyum menggoda. “Jadi,
udah mau pacaran dong?” lalu dia menunjuk Tino yang sedang mendribel bola
basket. “Dulu kamu nggak boleh pacaran sama Mamamu, trus sekarang khan beda,
kenapa nggak nyoba pacaran sama Tino aja?”
Kok tiba-tiba jadi bahas masalah
cowok?
“Nggak ah.”
“Loh, kenapa? Dia khan suka banget
ma kamu, cakep lagi.” Nana memuji Tino.
“Aku nggak suka Tino, Nana.” aku
mencubit tangannya, dia mengaduh keras.
“Kamu khan udah kelas tiga Lin,
masa nggak mau pacaran?”
Aku mencubitnya lagi, Nana hanya
tertawa. “Udah sana terusin nyalin peernya.”
Nana terus tertawa dan lupa kalau
dia belum selesai menyontek PRku. Dia merubah wajahnya jadi lebih serius. “Tapi
kenapa harus ke Rumah Awan, main aja beneran ke rumahku.” tawar Nana. “Ntar
kalo ketahuan khan bisa gawat.”
“Biarin aja, aku nggak peduli.”
kataku setengah teriak, senang karena entah kenapa aku mendapat semangat
menantang bahaya. “Oh ya, aku juga bilang kalo kamu ntar yang nganterin aku
pulang. Jadi nanti kalau ditanyain kamu bilang aja gitu ke mereka, Na.”
“Iya.” Nana sudah kembali sibuk
menyalin PRku.
“Satu lagi Na, ntar kamu nganterin
aku ke Rumah Awan dulu ya?”
“Nih anak banyak banget sih
mintanya.” ujar Nana pura-pura kesal. “Tapi kalo buat kamu apa sih yang nggak.”
“Dasar.” Kami berdua tertawa.
Bel tanda istirahat habis berbunyi.
Bel ini membuat Nana jadi uring-uringan. Soalnya, dia belum selesai menyontek
PR matematikaku, dan sebentar lagi Pak Imron yang terkenal ontime itu pasti
datang ke kelas. Nana menulis dengan cepat. Satu soal logaritma, yang kebetulan
sulit, yang harusnya dikerjakan dalam enam baris hanya ditulisnya dalam tiga
baris. Nana sepertinya tidak peduli asal bisa cepat selesai.
Sesaat sebelum Pak Imron masuk
kelas, Tino masuk duluan. Dengan sengaja dia lewat di depanku, lalu memamerkan
senyum terlebarnya.
“Lin, si Tino mulai caper tuh.”
Aku menoleh kaget ke Nana. Perasaan
tadi masih sibuk. “Udah selesai Na?”
“Hehe, udah dong!” dia nyengir
senang. Liat saja kalo Pak Imron tau PRnya, dia pasti tidak bisa sebahagia ini.
Benar saja, Pak Imron menyuruh Nana
mengerjakannya di depan setelah mengetahui kecurangannya. Nana langsung pucat,
ketakutan, aku jadi tidak tega melihatnya.
“Hiks..hiks... Aku malu banget
Lin!”
Sekarang, aku dan Nana sudah ada di
mobilnya, kami dalam perjalanan meluncur ke Rumah Awan. Nana terus menangis
dari tadi, matanya sampai merah. Aku
mengelus-ngelus rambutnya. Tadi dia cukup lama berdiri di depan kelas, mencoba
menjawab soal logaritma yang ada di PR kami, tapi dia tidak bisa. Hasilnya, dia
kena marah Pak Imron karena ketahuan mencontek. Nana yang memang takut pada Pak
Imron nangis di depan kelas. Dulu aku pernah tanya Nana, apa yang ditakutkannya
dari Pak Imron, perasaan orangnya baik, bukan tipe guru killer juga. Ternyata dia takut sama alis
lebatnya Pak Imron. Aku langsung tertawa sampai perutku sakit waktu itu.
“Iya, udah ntar aku cukurin alisnya
Pak Imron ya?” hiburku sekenanya.
Nana yang tadi meluk aku langsung
melepaskan diri. “Aku malu Lin, bukannya takut sama Pak Imron.” dia menghapus
air matanya dengan kasar.
“Iya, iya, udah jangan nangis
lagi.”
“Kalo tahu gini kemarin aku pasti
ngerjain peer sendiri.”
“Nah, gitu dong. Harusnya kamu memang
ngerjain PR sendiri.”
“Tapi aku nggak bisa, sulit
banget...” air matanya keluar lagi. Ya ampun, semoga cepat sampai Rumah Awan.
Nana kalo nangis minimal dua jam baru berhenti.
“Na, udah nyampe nih, aku turun
dulu ya?” kataku melepas tanganku yang dipegangnya kuat. Tadi dia sandaran di
bahuku dan terus memegang tanganku. Kayak aku pacarnya saja.
Nana mengangguk. “Da dah...!” aku
melambaikan tangan lalu mobil jemputan Nana pergi.
Aku sangat kaget begitu membalikkan
badan aku melihat cowok yang kemarin sedang duduk di tangga gapura Rumah Awan.
Hampir saja aku teriak melihatnya. Sedang apa dia di sini? Baru kali ini aku
lihat ada orang duduk di situ, menghalangi jalan masuk. Kejadian tidak
mengenakkan kemarin langsung memenuhi kepalaku. Lalu aku mengatur nafas agar
tenang, tidak boleh emosi.
“Permisi, aku mau lewat.” kataku.
Dia tetap duduk dan malah terus melihatku. Hiiii! Matanya serem! Dia pasti mau
balas dendam padaku. Tapi balas dendam apaan? Kemarin aku khan tidak
ngapa-ngapain dia? Malah dia yang merugikanku.
“Gue nggak nemuin kaos kayak punya
lo.” katanya.
Aku hanya diam, bingung.
“Lo beli kaos itu di mana? Ntar gue
beliin di tempat lo beli.”
Ah! Aku tahu sekarang, dia kemarin
janji akan mengganti kaos dan lukisanku. Ya ampun, kok bisa lupa sih.
“Aku nggak tau belinya di mana,”
kataku. “Papa yang beliin.” tambahku cepat.
“Terus, gue harus gimana biar lo
hapus foto gue dari HP lo dan nggak lo laporin ke om lo yang polisi itu?” cowok
itu berdiri. “Gue nggak bisa gantiin kaos sama lukisan lo.”
Oh....itu alasannya kenapa kenapa
dia tiba-tiba ada di sini. Padahal aku tidak berpikiran sejauh itu kemarin. Aku
hanya becanda soal polisi itu. Aku tidak punya om atau saudara yang kerja di
kepolisian. Dia serius menanggapi candaanku. Sepertinya dia tidak tahu kebenarannya.
Hem... Bisa dimanfaatin nih hehe...
Tiba-tiba ide usil muncul kepalaku.
“Ganti dong, kamu khan harus tanggung jawab.”
“Tapi gue nggak nemuin kaos kayak
punya lo.”
“Cari lagi, toko baju ada banyak,
masa udah kamu datengin semuanya?”
“Gue juga udah minta tolong
temen-temen gue, lagian masa gue harus keliling Indonesia buat nyari kaos lo?”
“Pokoknya aku tidak mau tahu, kamu
harus ganti.” seruku. “Ah, lukisanku juga.
“Gue mau ganti, tapi gimana?”
mukanya terlihat agak kesal. “Lagian lukisan lo gimana gantinya?”
Benar juga. Bagaimana caranya?
“Karena kamu udah di sini, kamu
harus ngelukis apa yang kulukis kemarin.” Aku jadi ingin tertawa melihat
reaksinya. Mulutnya terbuka lebar lalu membuka menutup seperti ikan mas di
rumah Nenek.
“Gue nggak bisa ngelukis, yang lain
aja.” tawarnya.
Aku ngeluarin HP. “Yaudah kalo
tidak mau, jam segini Omku lagi di kantor polisi lo.” kataku cuek sambil
memencet HP. Dia gelagapan, maju ke depan untuk menyambar HPku tapi aku lebih
cepat menghindar lalu memasukkannya ke saku rok seragam. “Mau tidak?” tanganku
masih di dalam saku.
Dia mengacak-acak rambutnya lalu
teriak marah. “Terserah lo.”
Aku tersenyum dengan penuh
kemenangan. “Ayo, masuk ke dalam.” aku masuk ke dalam Rumah Awan, dia
mengikutiku.
“Kamu tunggu di sana.” tunjukku ke
pojokan, di bawah pohon bunga kamboja putih, tempat aku melukis kemarin.
Aku mengamati seluruh isi Rumah
Awan, mencari Mbak Ayu tapi tidak ada. Lalu aku menghampiri Dani yang duduk di
depan Awan, dia mengamati Awan dengan tenang. Rupanya bukan hanya aku saja yang
suka memandangi awan seperti ini. “Dan, Mbak Ayu ke mana?” tanyaku sambil ikut
melihat Awan.
Dani menoleh padaku lalu duduk di
tempat yang biasanya dipakai Mbak Ayu untuk bekerja. “Katanya tadi lagi nggak
enak badan trus pulang.”
“Oh...” Aku manggut-manggut paham. “Eh, Dan, kemarin
ada lukisan ketinggalan di pojok sana nggak?” aku menunjuk tempat di mana cowok
tadi sedang duduk dengan santainya di bawah. Apa tidak takut jinsnya kotor?
“Tadi pagi ada sih, tapi udah
sobek-sobek.”
“Sobek-sobek?” perasaan kemarin
masih utuh waktu aku tinggal.
“Iya, gue nemuin dua kucing di
atasnya.”
“Kerjaan kucing pasti. Terus
lukisan itu sekarang di mana?” tanyaku.
“Di gudang.” jawab Dani menunjuk
arah gudang dengan dagunya.
“Makasih Dan.” aku pergi mengambil
lukisanku yang rusak parah. Kuamati dengan seksama, ada banyak bekas cakaran
kucing dan lubang besar di tengah. Parah....
Setelah mengambil peralatan lukis
aku segera menghampiri cowok tadi. Aku memberikan semua peralatan itu juga
lukisanku ke tangannya.
Dia mengangkat dan mengamati
lukisanku kemarin dengan muka jijik. “Apaan nih?” katanya. “Jelek banget.”
“Itu lukisanku kemarin.”
“Terus?”
“Kamu harus gambar persis kayak
itu.” aku duduk di depannya.
“Gue nggak bisa niru lukisan jelek
kayak gini. Lagian gue nggak bisa ngelukis. Pegang kuas aja nggak pernah.” dia
berdiri. Mungkin maksudnya yang jelek adalah kondisi kanvasnya, tapi aku merasa
di hina mendengarnya. Seumur hidup belum pernah ada yang bilang gambar atau
lukisanku jelek.
“Udah, jangan protes, cepet
kerjain!” bentakku lalu mengambil botol air mineral yang ada di tasku.
Aku meminum airku sementara cowok
itu mulai melakukan tugasnya. Meskipun terlihat ogah-ogahan dia tetap
melakukannya. Bagus.
Ah....Rasanya segaaar sekali minum
air putih di saat cuaca panas seperti ini.
Aku memperhatikan cowok itu. Dia
terlihat kesulitan melakukannya. Caranya memegang kuas aneh dan terlihat tidak
nyaman, seperti anak kecil yang baru belajar nulis. Lalu saat dia mencet cat
minyak ke palet, tangannya langsung terkena cat karena dia terlalu kuat mencetnya. Tingkahnya saat melukis juga sangat lucu. Keliatan sekali kalu dia jarang, atau bahkan tidak pernah
melukis seperti yang dia katakan tadi.
Melihatnya seperti itu membuatku,
tanpa sadar, tertawa sampai perutku sakit, apalagi saat tangannya yang terkena
cat menyentuh bagian bawah hidungnya. Sekarang dia punya kumis warna merah.
Belum apa-apa sudah kayak seperti ini, gimana nantinya.
“Kenapa lo ketawa!?” bentaknya.
Aku tidak bisa menjawab karena aku
sibuk megangi perutku yang sakit. Dia itu aneh sekali, belum tahu apa yang akan
dia lukis tapi dia sudah mencetin semua cat warna ke palet. Dia sok sekali, dia
bertingkah seperti seorang pelukis profesional. Lagipula, tidak semua warna itu
dipakai lagi. Dia meletakkan paletnya di tanah, mengambil batu-batu kecil dan
membentangkan lukisan rusakku. Diletakkanya batu-betu kecil tadi diatasnya
sehingga dapat terlihat apa yang terlukis di lukisan itu.
Sepertinya dia sedikit kaget. Yang
kulukis adalah langit malam saat bulan purnama yang penuh bintang, tapi masih
setengah jadi. Jadi lukisanku terlihat aneh, hanya ada warna hitam dan bulan
yang juga belum jadi, bintangnya belum kulukis sama sekali. Mungkin dia bingung
lukisan apa itu atau bagaimana dia harus melukis lukisan seperti itu.
Dia menoleh ke arahku. “Lukisan apa
ini? Gimana caranya ngelukisnya?” Dugaanku benar. Aku hanya tersenyum dan
mengangkat bahu. Dia menepuk dahinya, warna hitam membekas, lalu menghela nafas
panjang. Dia sudah menerima takdirnya hari ini untuk menjadi seorang pelukis.
Lucu sekali.
Saat cowok itu melukis, aku hanya
diam sambil mendengarkan musik dari i-pod. Dia tidak bisa diam, ada saja yang
dia keluhkan, komentari bahkan berteriak marah. Tadi ada burung yang tidak
sengaja, atau mungkin malah sengaja buang kotoran tepat di atas kanvasnya. Dia
langsung marah dan mengomel.
”Burung sialan! Nggak tau apa gue
lagi sibuk!”
Ya jelas saja omelannya tidak
berpengaruh pada burung itu. Apa dia pikir dengan begitu burung itu akan minta
maaf padanya? Yang terjadi malah burung itu langsung berkicau merdu. Aku hanya
tertawa melihat kejadian itu. Dia lucu sekali.
“Jangan ketawa!” teriaknya. Langsung saja kuberi dia hadiah tatapan
paling sebalku.
“Hei, lo sebenarnya ngelukis apa
sih? Apa jangan-jangan lukisan lo ini belum jadi?” tanyanya saat aku membaca
buku matematika, sambil terus mendengarkan musik. Aku mendongakkan kepala dan
langsung tertawa keras sekali, paling keras hari ini.
“Lo kenapa sih?!”
Tentu saja aku langsung tertawa,
siapapun juga akan tertawa. Bayangkan saja, mukanya penuh cat dengan berbagai
warna. Sama sekali tidak indah, tapi lucu!
“Kamu liat aja sendiri di cermin.”
kataku sambil menghapus air mataku yang
keluar.
“Lukisan lo belum jadi ato emang
kayak gini?” tanyanya dengan suara keras.
Aku melepas earphoneku lalu melihat kanvasnya.
Hasilnya bisa dibilang jelek. Tidak perlu kujelasin seperti apa jeleknya,
karena aku tidak suka melihatnya. Bagiku lukisan itu jelek, aku tidak suka
lukisan jelek.
“Udah, segitu juga udah cukup.” aku
memasukkan buku matematika dan i-podku ke dalam tas lalu berdiri. “Kamu beresin
semuanya lalu balikin ke orang itu.” aku tunjuk Dani yang masih ada di tempat
Mbak Ayu, di samping Awan. “Lukisannya
titipin juga ke dia, namanya Dani, bilang saja dari cewek yang mau manggil dia
kakak tapi tidak boleh. Besok aku ambil.”
“Jadi gimana, hutangku udah lunas?”
tanyanya berharap.
Aku menggeleng dan berkata, “Tentu
saja belum, kamu belum ganti kaosku.”
Wajahnya kecewa. “Terus?”
“Besok ke
sini lagi.”