Rabu, 04 Februari 2015

Benang Merah dengan Studio Ghibli


Halooo....long time no see 😄😄 
Rasanya sudah lama sekali tidak nulis d blog ini hehe kangeennn
Kali ini aku akan cerita tentang benang merah antara aku dengan studio anime favoritku yang tak lain adalah Studio Ghibli hehe..
Ceritanya Januari kemaren keponakanku maen ke Tokyo sama teman-temannya, trus dia ada satu hati free dan maen bareng aku. 
Kebetulan keponakan satu itu seorang ilustrator dan suka banget sama Studio Ghibli juga. Dia ingin sekali melihat seperti apa kantor Studio Ghibli. Jadi aku antar dia ke Higashi Koganei, tempat kantor itu. Dia senang sekali dan beberapa kali foto di depannya. Sebenarnya aku tahu orang Jepang tidak suka hal seperti itu, tapi melihat dia senang sekali aku tidak mau membuatnya sedih meskipun akhirnya kami diusir secara halus si hehe..
Setelah itu aku ajak dia pergi k Koganei Koen ( Taman Koganei). Taman itu terkenal sebagai salah satu tempat melihat bunga sakura (Hanami). Di taman itu juga ada museum, namanya Edo-Tokyo Open Air Architectural Museum. Ceritanya di museum itu guru besar Miyazaki Hayao mendapat inspirasi dan menggambar sketsa untuk anime keren Spirited Away. Udah pada lihat khaann 😊😊
Beruntung sekali di sana pas ada pameran karya Studio Ghibli dan sudah bisa di pastiin keponakanku sueneng gila hihihi...
Nah ini aku kasih beberapa foto waktu itu

Ini poster pamerannya.

Beruntung lagi yellow plumnya pas lagi mekar. Cantikkk seperti sakura tapi warnanya kuning. Kalau bunga ini wangi, sakura tidak begitu berbau.
Nah kalo d bawah ini baru tempat Miyazaki Hayao mendapat insipirasi buat anime Spirited Away.


Lalu ini ada kereta yang dipakai di jaman edo, dalamnya mirip sama kereta yang ada di Spirited Away.


Rasanya senaaang sekali waktu itu.
Semoga lain kali bisa ada momen benang merah lagi. Bertemu sang master Miyazaki Hayao misalnya hehe ngarep banget... 😝
Ok deh sampai sini dulu sharenya..
See u next time 
Byeeeee

Kamis, 08 Januari 2015

Rumah Awan 14 : Lintang



LINTANG

Kemarin memang hari tersialku dan kuharap, hari ini tidak seperti kemarin.. Pagi ribut sama Mama dan Kak Bintang nyebelin banget. Di sekolah aku ribut lagi sama Faya. Bahkan di Rumah Awan pun, tempat yang paling enak untuk menenangkan diri, aku juga mengalami kesialan. Ada cowok yang rese banget! Dia sudah mengotori kaos kesukaanku dan juga merusak lukisanku yang aku buat dengan serius. Lalu, begitu sampai rumah, aku dimarahi habis-habisan sama Mama. Aku dapat hukuman tidak dapat uang jajan bulan ini dan yang paling parah, aku tidak boleh main ke Rumah Awan!!!
Dari mana sih Mama tahu aku sering main ke sana? Pasti dulu sebelum pergi Kak Stary kasih tahu Mama kalau aku suka main ke sana.
“Na, udah minta tanda tangan buat surat izin study tour belum?” tanyaku pada Nana yang asyik menyalin alias menyontek PR matematikaku.
“Belom,” jawabnya sambil terus menulis. “Bukannya batas waktu ngumpulinnya masih lama? Sampe hari pertama UAS, minggu depan khan?””
“Iya sih.” kataku sambil memperhatikan teman-teman yang asik ngobrol di luar. “Na, minggu depan udah ujian semester, cepet banget ya.”
“Iya, aku belum siap mental nih, Lin.”
Di depan kelasku ada taman sekolah yang dikelilingi deretan kelas satu, dua, tiga serta ruang guru yang membentuk persegi. Beberapa anak terlihat larut dalam obrolan seru mereka. Salah satu dari mereka ada Tino dan juga Andi, mantan ketua OSIS SMA Erlangga.
“Na, si Andi kenal  Tino ya?”
“Iya, emang kamu nggak tau?”
“Nggak.” jawabku. Tino baru saja memukul lengan Andi cukup keras.
“Lho, kok tiba-tiba nanyain Tino? Mulai naksir ya?” Nana tersenyum jahil.
“Ngaco!”
“Kamu tuh ke mana aja sih Lin?” Nana menatapku. “Masa gitu aja nggak tau, mereka khan sudah temenan dari kelas satu.”
“Ooh...”
Ngomongin soal Tino dan Andi membuatku teringat soal cowok kemarin. Dia mengikutiku berjalan sampai rumah. Salah satu kebiasaan burukku yang ingin banget aku hilangin adalah linglung saat aku sedih atau bingung seperti kemarin. Aku bisa seperti orang mabuk yang tidak sadar diri dan melakukan hal-hal diluar keinginanku jika sudah seperti itu. Cukup merepotkan juga.
Apa yang kulakukan sampai dia mengikutiku terus? Semoga bukan hal yang aneh. Di saat linglung seperti kemarin aku sulit mengendalikan diri.
Tapi aku masih ingat dia bilang akan ganti kaos Winnie the Poohku, kalau perlu dia ganti sebanyak sepuluh, dan juga lukisanku. Aku yakin dia tidak akan melakukan itu. Dia pasti mengatakan itu hanya untuk membuatku berhenti menangis.
“Na, tadi pagi aku udah ijin kalo ntar pulang sekolah aku mau main ke rumahmu, ntar kalo ditelepon Mama ato Kak Bintang bilang aja aku di rumahmu ya?” kataku.
“Lho, terus kamu mau ke mana?”  Nana membalikkan bukuku, dia sudah nyalin setengah halaman.
“Ke Rumah Awan.”
“Katanya nggak boleh ke sana?”
“Biarin. Pokoknya aku pingin ke sana hari ini.”
“Tumben kamu tidak nurut Mamamu?” Nana menoleh padaku. “Lagipula tumben juga Mamamu kasih ijin padahal kamu lagi kena hukuman.”
“Aku merengek terus ke Mama, berjam-jam! Mungkin mama capek dengarnya terus kasih ijin.” aku tersenyum.
Nana ikut tersenyum. “Kok kamu ngotot banget maen ke sana?”
“Pengen aja.”
Nana meletakkan pensilnya lalu sedikit menggeser tubuhnya agar berhadapan denganku. “Lin, kamu kena hama apaan sih?”
“Hah? Hama? Emang aku padi apa, kena hama ulat.”  protesku.
“Hehehe..” Nana tertawa. “Bukan gitu Lin, tumben aja kamu nggak nurut Mamamu.” katanya setelah berhenti tertawa.
Keliatan banget ya kalau aku selalu nurutin Mama?
Aku narik nafas panjang. “Semalam aku mikir banyak, lalu aku putusin aku akan ngelakuin hal yang memang bener-bener dari hatiku, bukan paksaan dari orang lain, termasuk Mama.”
Nana manggut-manggut. Entah apa yang dia pikirkan, mukanya datar tanpa ekspresi.
“Aku nggak mau terus-terusan dikendaliin Mama dengan semua keinginannya agar aku jadi seperfect Kak Stary. Aku khan tidak mau jadi kayak dia.”
Nana tersenyum menggoda. “Jadi, udah mau pacaran dong?” lalu dia menunjuk Tino yang sedang mendribel bola basket. “Dulu kamu nggak boleh pacaran sama Mamamu, trus sekarang khan beda, kenapa nggak nyoba pacaran sama Tino aja?”
Kok tiba-tiba jadi bahas masalah cowok?
“Nggak ah.”
“Loh, kenapa? Dia khan suka banget ma kamu, cakep lagi.” Nana memuji Tino.
“Aku nggak suka Tino, Nana.” aku mencubit tangannya, dia mengaduh keras.
“Kamu khan udah kelas tiga Lin, masa nggak mau pacaran?”
Aku mencubitnya lagi, Nana hanya tertawa. “Udah sana terusin nyalin peernya.”  
Nana terus tertawa dan lupa kalau dia belum selesai menyontek PRku. Dia merubah wajahnya jadi lebih serius. “Tapi kenapa harus ke Rumah Awan, main aja beneran ke rumahku.” tawar Nana. “Ntar kalo ketahuan khan bisa gawat.”
“Biarin aja, aku nggak peduli.” kataku setengah teriak, senang karena entah kenapa aku mendapat semangat menantang bahaya. “Oh ya, aku juga bilang kalo kamu ntar yang nganterin aku pulang. Jadi nanti kalau ditanyain kamu bilang aja gitu ke mereka, Na.”
“Iya.” Nana sudah kembali sibuk menyalin PRku.
“Satu lagi Na, ntar kamu nganterin aku ke Rumah Awan dulu ya?”
“Nih anak banyak banget sih mintanya.” ujar Nana pura-pura kesal. “Tapi kalo buat kamu apa sih yang nggak.”
“Dasar.” Kami berdua tertawa.
Bel tanda istirahat habis berbunyi. Bel ini membuat Nana jadi uring-uringan. Soalnya, dia belum selesai menyontek PR matematikaku, dan sebentar lagi Pak Imron yang terkenal ontime itu pasti datang ke kelas. Nana menulis dengan cepat. Satu soal logaritma, yang kebetulan sulit, yang harusnya dikerjakan dalam enam baris hanya ditulisnya dalam tiga baris. Nana sepertinya tidak peduli asal bisa cepat selesai.
Sesaat sebelum Pak Imron masuk kelas, Tino masuk duluan. Dengan sengaja dia lewat di depanku, lalu memamerkan senyum terlebarnya.
“Lin, si Tino mulai caper tuh.”
Aku menoleh kaget ke Nana. Perasaan tadi masih sibuk. “Udah selesai Na?”
“Hehe, udah dong!” dia nyengir senang. Liat saja kalo Pak Imron tau PRnya, dia pasti tidak bisa sebahagia ini.
Benar saja, Pak Imron menyuruh Nana mengerjakannya di depan setelah mengetahui kecurangannya. Nana langsung pucat, ketakutan, aku jadi tidak tega melihatnya.
“Hiks..hiks... Aku malu banget Lin!”
Sekarang, aku dan Nana sudah ada di mobilnya, kami dalam perjalanan meluncur ke Rumah Awan. Nana terus menangis dari tadi, matanya sampai  merah. Aku mengelus-ngelus rambutnya. Tadi dia cukup lama berdiri di depan kelas, mencoba menjawab soal logaritma yang ada di PR kami, tapi dia tidak bisa. Hasilnya, dia kena marah Pak Imron karena ketahuan mencontek. Nana yang memang takut pada Pak Imron nangis di depan kelas. Dulu aku pernah tanya Nana, apa yang ditakutkannya dari Pak Imron, perasaan orangnya baik, bukan tipe guru  killer juga. Ternyata dia takut sama alis lebatnya Pak Imron. Aku langsung tertawa sampai perutku sakit waktu itu.
“Iya, udah ntar aku cukurin alisnya Pak Imron ya?” hiburku sekenanya.
Nana yang tadi meluk aku langsung melepaskan diri. “Aku malu Lin, bukannya takut sama Pak Imron.” dia menghapus air matanya dengan kasar.
“Iya, iya, udah jangan nangis lagi.”
“Kalo tahu gini kemarin aku pasti ngerjain peer sendiri.”
“Nah, gitu dong. Harusnya kamu memang ngerjain PR sendiri.”
“Tapi aku nggak bisa, sulit banget...” air matanya keluar lagi. Ya ampun, semoga cepat sampai Rumah Awan. Nana kalo nangis minimal dua jam baru berhenti.
“Na, udah nyampe nih, aku turun dulu ya?” kataku melepas tanganku yang dipegangnya kuat. Tadi dia sandaran di bahuku dan terus memegang tanganku. Kayak aku pacarnya saja.
Nana mengangguk. “Da dah...!” aku melambaikan tangan lalu mobil jemputan Nana pergi.
Aku sangat kaget begitu membalikkan badan aku melihat cowok yang kemarin sedang duduk di tangga gapura Rumah Awan. Hampir saja aku teriak melihatnya. Sedang apa dia di sini? Baru kali ini aku lihat ada orang duduk di situ, menghalangi jalan masuk. Kejadian tidak mengenakkan kemarin langsung memenuhi kepalaku. Lalu aku mengatur nafas agar tenang, tidak boleh emosi.
“Permisi, aku mau lewat.” kataku. Dia tetap duduk dan malah terus melihatku. Hiiii! Matanya serem! Dia pasti mau balas dendam padaku. Tapi balas dendam apaan? Kemarin aku khan tidak ngapa-ngapain dia? Malah dia yang merugikanku.
“Gue nggak nemuin kaos kayak punya lo.” katanya.
Aku hanya diam, bingung.
“Lo beli kaos itu di mana? Ntar gue beliin di tempat lo beli.”
Ah! Aku tahu sekarang, dia kemarin janji akan mengganti kaos dan lukisanku. Ya ampun, kok bisa lupa sih.
“Aku nggak tau belinya di mana,” kataku. “Papa yang beliin.” tambahku cepat.
“Terus, gue harus gimana biar lo hapus foto gue dari HP lo dan nggak lo laporin ke om lo yang polisi itu?” cowok itu berdiri. “Gue nggak bisa gantiin kaos sama lukisan lo.”
Oh....itu alasannya kenapa kenapa dia tiba-tiba ada di sini. Padahal aku tidak berpikiran sejauh itu kemarin. Aku hanya becanda soal polisi itu. Aku tidak punya om atau saudara yang kerja di kepolisian. Dia serius menanggapi candaanku. Sepertinya dia tidak tahu kebenarannya.
Hem... Bisa dimanfaatin nih hehe...
Tiba-tiba ide usil muncul kepalaku. “Ganti dong, kamu khan harus tanggung jawab.”
“Tapi gue nggak nemuin kaos kayak punya lo.”
“Cari lagi, toko baju ada banyak, masa udah kamu datengin semuanya?”
“Gue juga udah minta tolong temen-temen gue, lagian masa gue harus keliling Indonesia buat nyari kaos lo?”
“Pokoknya aku tidak mau tahu, kamu harus ganti.” seruku. “Ah, lukisanku juga.
“Gue mau ganti, tapi gimana?” mukanya terlihat agak kesal. “Lagian lukisan lo gimana gantinya?”
Benar juga.  Bagaimana caranya?
“Karena kamu udah di sini, kamu harus ngelukis apa yang kulukis kemarin.” Aku jadi ingin tertawa melihat reaksinya. Mulutnya terbuka lebar lalu membuka menutup seperti ikan mas di rumah Nenek.
“Gue nggak bisa ngelukis, yang lain aja.” tawarnya.
Aku ngeluarin HP. “Yaudah kalo tidak mau, jam segini Omku lagi di kantor polisi lo.” kataku cuek sambil memencet HP. Dia gelagapan, maju ke depan untuk menyambar HPku tapi aku lebih cepat menghindar lalu memasukkannya ke saku rok seragam. “Mau tidak?” tanganku masih di dalam saku.
Dia mengacak-acak rambutnya lalu teriak marah. “Terserah lo.”
Aku tersenyum dengan penuh kemenangan. “Ayo, masuk ke dalam.” aku masuk ke dalam Rumah Awan, dia mengikutiku.
“Kamu tunggu di sana.” tunjukku ke pojokan, di bawah pohon bunga kamboja putih, tempat aku melukis kemarin.
Aku mengamati seluruh isi Rumah Awan, mencari Mbak Ayu tapi tidak ada. Lalu aku menghampiri Dani yang duduk di depan Awan, dia mengamati Awan dengan tenang. Rupanya bukan hanya aku saja yang suka memandangi awan seperti ini. “Dan, Mbak Ayu ke mana?” tanyaku sambil ikut melihat Awan.
Dani menoleh padaku lalu duduk di tempat yang biasanya dipakai Mbak Ayu untuk bekerja. “Katanya tadi lagi nggak enak badan trus pulang.”
“Oh...”  Aku manggut-manggut paham. “Eh, Dan, kemarin ada lukisan ketinggalan di pojok sana nggak?” aku menunjuk tempat di mana cowok tadi sedang duduk dengan santainya di bawah. Apa tidak takut jinsnya kotor?
“Tadi pagi ada sih, tapi udah sobek-sobek.”
“Sobek-sobek?” perasaan kemarin masih utuh waktu  aku tinggal.
“Iya, gue nemuin dua kucing di atasnya.”
“Kerjaan kucing pasti. Terus lukisan itu sekarang di mana?” tanyaku.
“Di gudang.” jawab Dani menunjuk arah gudang dengan dagunya.
“Makasih Dan.” aku pergi mengambil lukisanku yang rusak parah. Kuamati dengan seksama, ada banyak bekas cakaran kucing dan lubang besar di tengah. Parah....
Setelah mengambil peralatan lukis aku segera menghampiri cowok tadi. Aku memberikan semua peralatan itu juga lukisanku ke tangannya.
Dia mengangkat dan mengamati lukisanku kemarin dengan muka jijik. “Apaan nih?” katanya. “Jelek banget.”
“Itu lukisanku kemarin.”
“Terus?”
“Kamu harus gambar persis kayak itu.” aku duduk di depannya.
“Gue nggak bisa niru lukisan jelek kayak gini. Lagian gue nggak bisa ngelukis. Pegang kuas aja nggak pernah.” dia berdiri. Mungkin maksudnya yang jelek adalah kondisi kanvasnya, tapi aku merasa di hina mendengarnya. Seumur hidup belum pernah ada yang bilang gambar atau lukisanku jelek.
“Udah, jangan protes, cepet kerjain!” bentakku lalu mengambil botol air mineral yang ada di tasku.
Aku meminum airku sementara cowok itu mulai melakukan tugasnya. Meskipun terlihat ogah-ogahan dia tetap melakukannya. Bagus.
Ah....Rasanya segaaar sekali minum air putih di saat cuaca panas seperti ini.
Aku memperhatikan cowok itu. Dia terlihat kesulitan melakukannya. Caranya memegang kuas aneh dan terlihat tidak nyaman, seperti anak kecil yang baru belajar nulis. Lalu saat dia mencet cat minyak ke palet, tangannya langsung terkena cat karena dia terlalu kuat  mencetnya. Tingkahnya saat melukis juga  sangat lucu. Keliatan sekali  kalu dia jarang, atau bahkan tidak pernah melukis seperti yang dia katakan tadi.
Melihatnya seperti itu membuatku, tanpa sadar, tertawa sampai perutku sakit, apalagi saat tangannya yang terkena cat menyentuh bagian bawah hidungnya. Sekarang dia punya kumis warna merah. Belum apa-apa sudah kayak seperti ini, gimana nantinya.
“Kenapa lo ketawa!?” bentaknya.
Aku tidak bisa menjawab karena aku sibuk megangi perutku yang sakit. Dia itu aneh sekali, belum tahu apa yang akan dia lukis tapi dia sudah mencetin semua cat warna ke palet. Dia sok sekali, dia bertingkah seperti seorang pelukis profesional. Lagipula, tidak semua warna itu dipakai lagi. Dia meletakkan paletnya di tanah, mengambil batu-batu kecil dan membentangkan lukisan rusakku. Diletakkanya batu-betu kecil tadi diatasnya sehingga dapat terlihat apa yang terlukis di lukisan itu.
Sepertinya dia sedikit kaget. Yang kulukis adalah langit malam saat bulan purnama yang penuh bintang, tapi masih setengah jadi. Jadi lukisanku terlihat aneh, hanya ada warna hitam dan bulan yang juga belum jadi, bintangnya belum kulukis sama sekali. Mungkin dia bingung lukisan apa itu atau bagaimana dia harus melukis lukisan seperti itu.
Dia menoleh ke arahku. “Lukisan apa ini? Gimana caranya ngelukisnya?” Dugaanku benar. Aku hanya tersenyum dan mengangkat bahu. Dia menepuk dahinya, warna hitam membekas, lalu menghela nafas panjang. Dia sudah menerima takdirnya hari ini untuk menjadi seorang pelukis. Lucu sekali.
Saat cowok itu melukis, aku hanya diam sambil mendengarkan musik dari i-pod. Dia tidak bisa diam, ada saja yang dia keluhkan, komentari bahkan berteriak marah. Tadi ada burung yang tidak sengaja, atau mungkin malah sengaja buang kotoran tepat di atas kanvasnya. Dia langsung marah dan mengomel.
”Burung sialan! Nggak tau apa gue lagi sibuk!”
Ya jelas saja omelannya tidak berpengaruh pada burung itu. Apa dia pikir dengan begitu burung itu akan minta maaf padanya? Yang terjadi malah burung itu langsung berkicau merdu. Aku hanya tertawa melihat kejadian itu. Dia lucu sekali.
“Jangan ketawa!” teriaknya.  Langsung saja kuberi dia hadiah tatapan paling sebalku.
“Hei, lo sebenarnya ngelukis apa sih? Apa jangan-jangan lukisan lo ini belum jadi?” tanyanya saat aku membaca buku matematika, sambil terus mendengarkan musik. Aku mendongakkan kepala dan langsung tertawa keras sekali, paling keras hari ini.
“Lo kenapa sih?!”
Tentu saja aku langsung tertawa, siapapun juga akan tertawa. Bayangkan saja, mukanya penuh cat dengan berbagai warna. Sama sekali tidak indah, tapi lucu!
“Kamu liat aja sendiri di cermin.” kataku sambil menghapus air mataku yang  keluar.
“Lukisan lo belum jadi ato emang kayak gini?” tanyanya dengan suara keras.
 Aku melepas earphoneku lalu melihat kanvasnya. Hasilnya bisa dibilang jelek. Tidak perlu kujelasin seperti apa jeleknya, karena aku tidak suka melihatnya. Bagiku lukisan itu jelek, aku tidak suka lukisan jelek.
“Udah, segitu juga udah cukup.” aku memasukkan buku matematika dan i-podku ke dalam tas lalu berdiri. “Kamu beresin semuanya lalu balikin ke orang itu.” aku tunjuk Dani yang masih ada di tempat Mbak Ayu, di samping Awan.  “Lukisannya titipin juga ke dia, namanya Dani, bilang saja dari cewek yang mau manggil dia kakak tapi tidak boleh. Besok aku ambil.”
“Jadi gimana, hutangku udah lunas?” tanyanya berharap.
Aku menggeleng dan berkata, “Tentu saja belum, kamu belum ganti kaosku.”
Wajahnya  kecewa. “Terus?”
“Besok ke sini lagi.”