BINTANG
Rumah Awan terlihat sepi. Mungkin
karena sudah sore. Gue lihat Ayu masih ada di meja kerjanya. Dia terlihat
berkutat dengan lembaran file-file yang gue nggak tahu apa isinya. Mukanya
terlihat serius, tapi tetap terlihat begitu menawan. Cepat, kaki gue melangkah
menghampirinya.
“Bintang,” Ayu terkejut melihat gue
duduk begitu saja didepannya. “Kamu kenapa ke sini?”
“Kok tanya gitu? Aku nggak boleh
main ke sini?”
“Bukan gitu, tapi..” wajahnya
terlihat masih kaget.
Gue memutar muta memperhatikan
keadaan sekitar. “Lintang mana?” gue tidak menemukan sosok Lintang di manapun
gue di tempat ini. Yang ada hanya dua perempuan tengah baya yang ngobrol di
bawah pohon. Di mana Lintang? Apa mungkin di toilet?
“Lintang sudah pulang,”
“Sudah pulang?” Ayu mengangguk.
“Sendirian?” kenapa Lintang pulang sebelum gue jemput?
“Bintang, tenang saja,” Ayu meraih
tangan gue. Hal yang jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah dilakukannya.
“Sepertinya dia tidak pulang sendirian.” Katanya. “Tadi dia ngobrol sama temannya
dan sepertinya dia pulang bersama temannya itu.”
Teman? Teman yang mana? Nana?
“Cewek?”
“Bukan, cowok,”
Cowok? Lintang tidak pernah cerita
punya teman dekat cowok yang bisa dia ajak pulang bersama, yang diceritakannya
hanya Nana dan beberapa teman cewek sekelasnya.
“Bintang, Lintang itu anak baik,
jadi wajar saja kalau dia punya banyak teman, jangan pernah berpikir kalau
temannya hanya Nana.” Ujar Ayu seperti dapat membaca pikiran gue. Gue hanya
cemas kalau terjadi apa-apa padanya. Dia tidak pernah pulang sendirian. Paling
nggak gue yang jemput, Mama, atau Nana. Apa dia bisa pulang sendiri?
“Bintang, biarkan dia tumbuh
dewasa.” Ayu berkata tegas, tatapan matanya menyiratkan kesungguhan. Gue hanya
khawatir pada Lintang. Jalanan bukan tempat yang aman seperti rumah. Gue tidak
mau mengalami kepahitan karena kehilangan saudara gue untuk kedua kalinya.
Mata Ayu masih terus menatap gue
dengan yakin. Sepertinya gue harus menuruti Ayu kali ini. Gue tarik nafas
panjang mencoba menenangkan diri meski bayangan Stary yang penuh darah akibat
tabrak lari terus terlintas di pikiran gue.
“Baik kali ini aku mengalah demi
kamu. Itu tadi tentang Lintang, sekarang aku ingin bertanya tentang kita,”
begitu mendengar kalimat gue barusan, Ayu langsung menarik tangannya. “Ayu, aku
sungguh-sungguh dengan perkataanku waktu itu,”
Gue lihat reaksinya setelah bahasan
obrolan kami berubah menjadi aksi penembakan gue dulu yang ditolaknya. Matanya
menatap tangannya yang saling bertangkup di atas meja.
“Yu, aku suka kamu,”
Ayu tidak melihatku, matanya tetap
menatap tangannya. Dia menghela nafas sebentar lalu berkata, “Bintang, sudah
saya bilang saya tidak bisa sama kamu,”
“Tapi apa alasannya?”
“Karena saya lebih tua dari kamu.”
Gue tersenyum masam, alasan yang
sama seperti yang dulu ia katakan ketika menolak gue. Gue tidak pernah percaya
pada alasan yang baru saja dikatakannya. “Yu, please, aku tahu kamu bukan orang
yang punya pemikiran sedangkal itu.”
“Kamu bisa cari perempuan yang
lebih baik untuk kamu, Bintang,” Ayu mengambil tas tangannya lalu pergi
meninggalkan gue yang masih menunggunya memberikan alasan yang sesungguhnya.
“Ayu!” gue berteriak memanggil
namanya berharap dia akan menghentikan langkahnya, tapi dia sama sekali tidak
bergeming dan terus melangkahkan kakinya.
========
Suasanya kampus yang ramai sama
sekali tidak bisa mengalihkan pikiran gue dari alasan yang dikatakan Ayu tadi.
Gue sudah berkali-kali mendengarnya tapi gue juga tidak pernah mempercayainya .
“Tang, mau bakpao?” Fadli menawari gue bakpao yang
ada di piring di depannya. Mulutnya yang tembem bertambah besar karena dia
memasukkan hampir setengah bagian dari bakpaonya sekaligus. Dia asyik makan
bakpao dari tadi dan baru menawari gue sekarang saat bakpaonya tinggal tiga.
“Nggak, makasih,” gue menyandarkan
punggung gue di kaca perpustakaan kampus. Perpustakaan ini adalah salah satu
tempat favorit gue karena keistimewaannya yang berbeda dari bangunan lainnya
yang ada di kampus ini. Perpustakaan ini berdindingkan kaca, jadi dapat
terlihat dengan jelas segala aktivitas yang ada di dalamjika dilihat dari luar
sini dan begitu pula sebaliknya. Apabila musim penghujan datang dan bunga-bunga
yang ada di kampus ini mengembang, gue pasti selalu menyiapkan waktu meskipun
sejenak untuk menikmati pemandangan itu dari dalam perpustakaan tanpa harus
terkena hujan.
Gue menghela nafas, lagi, entah
untuk yang keberapa kalinya.
Gue teringat kembali kejadian di
Rumah Awan. Gue benar-benar suka, sayang padanya. apa yang harus gue lakukan
agar dia mau menerima gue? Gue tahu dari dulu kalau dia lebih tua dari gue tapi
sekalipun tidak pernah gue mempedulikan perbedaan umur kami itu.
Saat ini pola pikir manusia lebih realistis.
Banyak hal yang dulunya tabu menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan
manusia belakangan ini. Dulu memang tidak umum seorang laki-laki memiliki pacar
atau wanita istimewa yang lebih tua, umumnya seorang lelaki akan memilih wanita
yang lebih muda darinya, tapi sekarang
hal seperti itu wajar. Umur tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan
kebahagiaan seseorang. Asal kita nyaman dan bahagia dengan seseorang, umur
tidak lagi menjadi persoalan. Entah mengapa Ayu bisa mengatakan alasan yang
konyol seperti itu. Itu hanyalah pemikiran orang berotak udang seperti Yoga.
Gue tahu pasti Ayu bukan tipe orang
seperti itu. Yang gue tahu Ayu adalah orang yang berpikiran luas dan terbuka.
Dia bukan tipe orang yang menghakimi orang lain secara sepihak tanpa mengetahui
dahulu alasan dibelakangnya. Terkadang kami juga memiliki perbedaan pendapat
namun kami selalu mencari jalan tengah agar tidak terjadi pertengkaran antara
kami. Memang hubungan kami sudah cukup dekat tapi dia selalu membantahnya. Gue
bukannya terlalu percaya diri atau apa, tapi gue yakin dia punya perasaan yang
sama di lubuk hatinya. Lagipula, mata tidak bisa bohong, gue bisa lihat dari
matanya.
Gue tidak berkata banyak lagi.
Banyak hal istimewa yang gue temukan dari diri Ayu yang membuat rasa sayang ini
tumbuh hanya untuknya.
“Kabarnya Teguh gimana?” tanya gue ke Rio yang
duduk di sebelah gue untuk mengalihkan pikiran.
Rio yang tadinya mengetik sesuatu
di laptopnya menghentikan jarinya lalu menjawab,“Katanya kemarin dia sudah
pulang, tangannya juga udah mendingan.”
“Terus hasil pencarian lo dulu sama
Farid gimana?”
“Pencarian yang mana?” tanya Fadli
memakan bakpao terakhirnya.
Rio melihat Fadli makan dengan
rakusnya lalu melihat piring bakpao. “Heh! Kok lo abisin sih? Gue yang beli aja
belum sempet makan!” protes Rio melihat bakpaonya habis.
Ini pembicaraan yang tidak penting.
“Abis lo dari tadi ngetik terus,
khan bakpaonya jadi nggak enak kalo dingin,”
“Bintang lo tawarin, kenapa gue
nggak, gendut!”
“Lo diem aja.”
“Tapi itu khan bakpao gue, karung
sampah!”
“Salah sendiri nggak lo makan!”
“STOP!” bentak gue. Mereka berdua
langsung terdiam dengan wajah marah. Gue tidak peduli dengan urusan bakpao
mereka. Pembicaraan mereka sangat tidak gue butuhkan sekarang, hanya membuang
waktu.
“Pencarian lo gimana?” tanya gue
lagi ke Rio.
Dia menutup laptopnya lalu menunjuk
ke arah Teguh dan Farid yang berjalan mendekat. “Lo jangan naik darah ya, tapi
si Teguh yang udah mulai cari gara-gara duluan.”
“Teguh lagi rupanya.” ujar gue
manggut-manggut. Teguh selalu mencari masalah dan sekarang dia berhasil
mencoreng nama geng barat di mata semua orang. Sekarang orang akan beranggapan
kalau geng baratlah yang selama ini selalu memulai pertengkaran. Kejadian ini
pasti menguntungkan Yoga dan merendahkan gue. Sekarang jadi tambah sulit untuk
bergerak dan mengusai daerah anak geng timur.
“Tapi gue nggak tau apa yang udah
dia lakuin.” Tambah Rio.
“Paling-paling dia menggoda cewek
anak geng timur.” Komentar Fadli.
Tapi gue rasa itu bukan yang
dilakukan Teguh. Teguh butuh pelajaran. Gue butuh pelampiasan.
Lalu gue melihat sosok Teguh
berjalan mendekat. Masih ada perban membalut keningnya. Untunglah gue tidak
perlu mencarinya, dia datang sendiri.
“Tang, sorry gue udah..”
BUK!
Gue potong kalimat Teguh yang sudah
di depan gue dengan satu hadiah tonjokan di wajahnya. Dia terhuyung dan
mulutnya berdarah. Matanya melebar, dia terlihat tidak percaya dengan tindakan
gue barusan.
“Tang, udah gue bilang jangan naik
darah!” Rio berdiri dan memegangi gue yang sudah beranjak maju.”Kita bicarain
ini baik-baik!”
Gue menghiraukan Rio dan melepaskan
diri darinya. Farid dan Fadli hanya diam. Mereka sudah tahu sepak terjang gue.
Ini bukan pertama kalinya Teguh melakukan kesalahan fatal. Gue tidak
segan-segan lagi menghajarnya hingga tangan ini terasa lelah. Semua yang ada
disekitar gue melihat acara ini dengan penuh ketertarikan. Mungkin Rio, Farid
dan Fadli mengira gue marah karena Teguh. Memang, gue marah padanya, tapi gue
juga butuh pelampiasan akibat alasan
penolakan yang tidak masuk akal itu.
Gue tidak peduli apapun lagi.
“Lo harus belajar ngendaliin diri!”
kata gue mengakhiri hiburan ini. “Rid, bawa dia ke rumah sakit.” Gue melap
keringat yang mengalir di dahi kemudian kembali duduk diantara Rio dan Fadli
seperti tadi.
Farid, dibantu beberapa anak geng
barat lainnya, segera memapah Teguh pergi.
“Kasian Teguh,” komentar Fadli
pelan.
“Lo kenapa sih, Tang?” Rio menoleh
ke gue. “Kita bisa ngelakuin itu nanti saat nggak ada orang lain yang lihat!”
“Sorry, gue udah nggak tahan dengan
ulah cerobohnya.” Kata gue. “Gue nggak mau orang seperti dia jadi hama bagi
geng.”
“Kalo gitu, sekarang kita ke kantin
aja yuk?” kata Fadli. Gue tertawa pelan mendengarnya. Fadli berusaha
menghangatkan suasana dengan makanan. Caranya itu selalu membuat gue tertawa.
Gue yang kaku ini hanya bisa tertawa jika mendengar candaan Stary, celotehan
Lintang, kegugupan Ayu saat gue goda, muka Papa ketika melihat Mama
menggosongkan masakannya serta kebodohan Fadli yang selalu tidak tepat
waktu.