Jumat, 31 Oktober 2014

Rumah Awan : 12 - BINTANG



BINTANG

Rumah Awan terlihat sepi. Mungkin karena sudah sore. Gue lihat Ayu masih ada di meja kerjanya. Dia terlihat berkutat dengan lembaran file-file yang gue nggak tahu apa isinya. Mukanya terlihat serius, tapi tetap terlihat begitu menawan. Cepat, kaki gue melangkah menghampirinya.
“Bintang,” Ayu terkejut melihat gue duduk begitu saja didepannya. “Kamu kenapa ke sini?”
“Kok tanya gitu? Aku nggak boleh main ke sini?”
“Bukan gitu, tapi..” wajahnya terlihat masih kaget.
Gue memutar muta memperhatikan keadaan sekitar. “Lintang mana?” gue tidak menemukan sosok Lintang di manapun gue di tempat ini. Yang ada hanya dua perempuan tengah baya yang ngobrol di bawah pohon. Di mana Lintang? Apa mungkin di toilet?
“Lintang sudah pulang,”
“Sudah pulang?” Ayu mengangguk. “Sendirian?” kenapa Lintang pulang sebelum gue jemput?
“Bintang, tenang saja,” Ayu meraih tangan gue. Hal yang jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah dilakukannya. “Sepertinya dia tidak pulang sendirian.” Katanya. “Tadi dia ngobrol sama temannya dan sepertinya dia pulang bersama temannya itu.”
Teman? Teman yang mana? Nana? “Cewek?”
“Bukan, cowok,”
Cowok? Lintang tidak pernah cerita punya teman dekat cowok yang bisa dia ajak pulang bersama, yang diceritakannya hanya Nana dan beberapa teman cewek sekelasnya.
“Bintang, Lintang itu anak baik, jadi wajar saja kalau dia punya banyak teman, jangan pernah berpikir kalau temannya hanya Nana.” Ujar Ayu seperti dapat membaca pikiran gue. Gue hanya cemas kalau terjadi apa-apa padanya. Dia tidak pernah pulang sendirian. Paling nggak gue yang jemput, Mama, atau Nana. Apa dia bisa pulang sendiri?
“Bintang, biarkan dia tumbuh dewasa.” Ayu berkata tegas, tatapan matanya menyiratkan kesungguhan. Gue hanya khawatir pada Lintang. Jalanan bukan tempat yang aman seperti rumah. Gue tidak mau mengalami kepahitan karena kehilangan saudara gue untuk kedua kalinya.
Mata Ayu masih terus menatap gue dengan yakin. Sepertinya gue harus menuruti Ayu kali ini. Gue tarik nafas panjang mencoba menenangkan diri meski bayangan Stary yang penuh darah akibat tabrak lari terus terlintas di pikiran gue.
“Baik kali ini aku mengalah demi kamu. Itu tadi tentang Lintang, sekarang aku ingin bertanya tentang kita,” begitu mendengar kalimat gue barusan, Ayu langsung menarik tangannya. “Ayu, aku sungguh-sungguh dengan perkataanku waktu itu,”
Gue lihat reaksinya setelah bahasan obrolan kami berubah menjadi aksi penembakan gue dulu yang ditolaknya. Matanya menatap tangannya yang saling bertangkup di atas meja.
“Yu, aku suka kamu,”
Ayu tidak melihatku, matanya tetap menatap tangannya. Dia menghela nafas sebentar lalu berkata, “Bintang, sudah saya bilang saya tidak bisa sama kamu,”
“Tapi apa alasannya?”
“Karena saya lebih tua dari kamu.”
Gue tersenyum masam, alasan yang sama seperti yang dulu ia katakan ketika menolak gue. Gue tidak pernah percaya pada alasan yang baru saja dikatakannya. “Yu, please, aku tahu kamu bukan orang yang punya pemikiran sedangkal itu.”
“Kamu bisa cari perempuan yang lebih baik untuk kamu, Bintang,” Ayu mengambil tas tangannya lalu pergi meninggalkan gue yang masih menunggunya memberikan alasan yang sesungguhnya.
“Ayu!” gue berteriak memanggil namanya berharap dia akan menghentikan langkahnya, tapi dia sama sekali tidak bergeming dan terus melangkahkan kakinya.
========

Suasanya kampus yang ramai sama sekali tidak bisa mengalihkan pikiran gue dari alasan yang dikatakan Ayu tadi. Gue sudah berkali-kali mendengarnya tapi gue juga tidak pernah mempercayainya .
“Tang,  mau bakpao?” Fadli menawari gue bakpao yang ada di piring di depannya. Mulutnya yang tembem bertambah besar karena dia memasukkan hampir setengah bagian dari bakpaonya sekaligus. Dia asyik makan bakpao dari tadi dan baru menawari gue sekarang saat bakpaonya tinggal tiga.
“Nggak, makasih,” gue menyandarkan punggung gue di kaca perpustakaan kampus. Perpustakaan ini adalah salah satu tempat favorit gue karena keistimewaannya yang berbeda dari bangunan lainnya yang ada di kampus ini. Perpustakaan ini berdindingkan kaca, jadi dapat terlihat dengan jelas segala aktivitas yang ada di dalamjika dilihat dari luar sini dan begitu pula sebaliknya. Apabila musim penghujan datang dan bunga-bunga yang ada di kampus ini mengembang, gue pasti selalu menyiapkan waktu meskipun sejenak untuk menikmati pemandangan itu dari dalam perpustakaan tanpa harus terkena hujan.
Gue menghela nafas, lagi, entah untuk yang keberapa kalinya.
Gue teringat kembali kejadian di Rumah Awan. Gue benar-benar suka, sayang padanya. apa yang harus gue lakukan agar dia mau menerima gue? Gue tahu dari dulu kalau dia lebih tua dari gue tapi sekalipun tidak pernah gue mempedulikan perbedaan umur kami itu.
 Saat ini pola pikir manusia lebih realistis. Banyak hal yang dulunya tabu menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia belakangan ini. Dulu memang tidak umum seorang laki-laki memiliki pacar atau wanita istimewa yang lebih tua, umumnya seorang lelaki akan memilih wanita yang lebih muda darinya,  tapi sekarang hal seperti itu wajar. Umur tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan kebahagiaan seseorang. Asal kita nyaman dan bahagia dengan seseorang, umur tidak lagi menjadi persoalan. Entah mengapa Ayu bisa mengatakan alasan yang konyol seperti itu. Itu hanyalah pemikiran orang berotak udang seperti Yoga.
Gue tahu pasti Ayu bukan tipe orang seperti itu. Yang gue tahu Ayu adalah orang yang berpikiran luas dan terbuka. Dia bukan tipe orang yang menghakimi orang lain secara sepihak tanpa mengetahui dahulu alasan dibelakangnya. Terkadang kami juga memiliki perbedaan pendapat namun kami selalu mencari jalan tengah agar tidak terjadi pertengkaran antara kami. Memang hubungan kami sudah cukup dekat tapi dia selalu membantahnya. Gue bukannya terlalu percaya diri atau apa, tapi gue yakin dia punya perasaan yang sama di lubuk hatinya. Lagipula, mata tidak bisa bohong, gue bisa lihat dari matanya.
Gue tidak berkata banyak lagi. Banyak hal istimewa yang gue temukan dari diri Ayu yang membuat rasa sayang ini tumbuh hanya untuknya.
 “Kabarnya Teguh gimana?” tanya gue ke Rio yang duduk di sebelah gue untuk mengalihkan pikiran.
Rio yang tadinya mengetik sesuatu di laptopnya menghentikan jarinya lalu menjawab,“Katanya kemarin dia sudah pulang,  tangannya juga udah mendingan.”
“Terus hasil pencarian lo dulu sama Farid gimana?”
“Pencarian yang mana?” tanya Fadli memakan bakpao terakhirnya.
Rio melihat Fadli makan dengan rakusnya lalu melihat piring bakpao. “Heh! Kok lo abisin sih? Gue yang beli aja belum sempet makan!” protes Rio melihat bakpaonya habis.
Ini pembicaraan yang tidak penting.
“Abis lo dari tadi ngetik terus, khan bakpaonya jadi nggak enak kalo dingin,”
“Bintang lo tawarin, kenapa gue nggak, gendut!”
“Lo diem aja.”
“Tapi itu khan bakpao gue, karung sampah!”
“Salah sendiri nggak lo makan!”
“STOP!” bentak gue. Mereka berdua langsung terdiam dengan wajah marah. Gue tidak peduli dengan urusan bakpao mereka. Pembicaraan mereka sangat tidak gue butuhkan sekarang, hanya membuang waktu.
“Pencarian lo gimana?” tanya gue lagi ke Rio.
Dia menutup laptopnya lalu menunjuk ke arah Teguh dan Farid yang berjalan mendekat. “Lo jangan naik darah ya, tapi si Teguh yang udah mulai cari gara-gara duluan.”
“Teguh lagi rupanya.” ujar gue manggut-manggut. Teguh selalu mencari masalah dan sekarang dia berhasil mencoreng nama geng barat di mata semua orang. Sekarang orang akan beranggapan kalau geng baratlah yang selama ini selalu memulai pertengkaran. Kejadian ini pasti menguntungkan Yoga dan merendahkan gue. Sekarang jadi tambah sulit untuk bergerak dan mengusai daerah anak geng timur.
“Tapi gue nggak tau apa yang udah dia lakuin.” Tambah Rio.
“Paling-paling dia menggoda cewek anak geng timur.” Komentar Fadli.
Tapi gue rasa itu bukan yang dilakukan Teguh. Teguh butuh pelajaran. Gue butuh pelampiasan.
Lalu gue melihat sosok Teguh berjalan mendekat. Masih ada perban membalut keningnya. Untunglah gue tidak perlu mencarinya, dia datang sendiri.
“Tang, sorry gue udah..”
BUK!
Gue potong kalimat Teguh yang sudah di depan gue dengan satu hadiah tonjokan di wajahnya. Dia terhuyung dan mulutnya berdarah. Matanya melebar, dia terlihat tidak percaya dengan tindakan gue barusan.
“Tang, udah gue bilang jangan naik darah!” Rio berdiri dan memegangi gue yang sudah beranjak maju.”Kita bicarain ini baik-baik!”
Gue menghiraukan Rio dan melepaskan diri darinya. Farid dan Fadli hanya diam. Mereka sudah tahu sepak terjang gue. Ini bukan pertama kalinya Teguh melakukan kesalahan fatal. Gue tidak segan-segan lagi menghajarnya hingga tangan ini terasa lelah. Semua yang ada disekitar gue melihat acara ini dengan penuh ketertarikan. Mungkin Rio, Farid dan Fadli mengira gue marah karena Teguh. Memang, gue marah padanya, tapi gue juga butuh pelampiasan akibat alasan  penolakan yang tidak masuk akal itu. 
Gue tidak peduli apapun lagi.
“Lo harus belajar ngendaliin diri!” kata gue mengakhiri hiburan ini. “Rid, bawa dia ke rumah sakit.” Gue melap keringat yang mengalir di dahi kemudian kembali duduk diantara Rio dan Fadli seperti tadi.
Farid, dibantu beberapa anak geng barat lainnya, segera memapah Teguh pergi.
“Kasian Teguh,” komentar Fadli pelan.
“Lo kenapa sih, Tang?” Rio menoleh ke gue. “Kita bisa ngelakuin itu nanti saat nggak ada orang lain yang lihat!”
“Sorry, gue udah nggak tahan dengan ulah cerobohnya.” Kata gue. “Gue nggak mau orang seperti dia jadi hama bagi geng.”
“Kalo gitu, sekarang kita ke kantin aja yuk?” kata Fadli. Gue tertawa pelan mendengarnya. Fadli berusaha menghangatkan suasana dengan makanan. Caranya itu selalu membuat gue tertawa. Gue yang kaku ini hanya bisa tertawa jika mendengar candaan Stary, celotehan Lintang, kegugupan Ayu saat gue goda, muka Papa ketika melihat Mama menggosongkan masakannya serta kebodohan Fadli yang selalu tidak tepat waktu.